Pandemi dalam Narasi Agama dan Sains
World Health Organization
(WHO) telah menetapkan virus Corona sebagai sebuah pandemi global karena
seluruh warga dunia berpotensi terkena infeksi virus ini.
Pandemi berasal dari bahasa Yunani "Pan" yang
artinya Semua dan "Demos" yang artinya Orang. Definisi pandemi itu sendiri adalah epidemi
yang terjadi pada skala internasional karena sangat berpotensi menularkan
kepada banyak orang.
Dengan ditetapkannya virus corona sebagai pandemi global, imbauan
untuk "dirumah aja" atau "stay at home" digaungkan
ditengah pandemi ini. Bukan tanpa alasan, yaitu untuk memutus rantai penularan
dan meminimalisir penyebarannya. Pemerintah dan para tenaga medis pun mengimbau
untuk menghindari keramaian dan perkumpulan. Tidak hanya para tenaga medis yang
berjibaku dalam masalah virus corona ini.
Kaum agamawan pun berupaya memberikan
edukasi yang benar kepada masyarakat dengan pandangan-pandangan keagamaannya.
Walaupun ada sebagian pihak yang membuat narasi dengan salah kaprah menyikapi
virus ini. Misalnya, tidak takut dengan
virus karena hanya Tuhan yang patut ditakuti, atau mati itu ada ditangan Tuhan,
dan narasi-narasi semacamnya.
Sekilas, pernyataan-pernyataan tersebut benar dan bisa disepakati. Tetapi,
di dalamnya terkandung sikap kepasrahan segala hal kepada ketetapan Tuhan tanpa
adanya usaha dari manusia itu sendiri.
Tampak seperti semangat beragama, tapi menjauhkan dari esensi agama,
atau maqasid syari’ah yaitu hifz nafs.
Paradigma masyarakat menyikapi pandemi ini tergantung pandangan
keagamaannya apakah dia terbuka, konservatif, moderat, atau ekstrem. Contoh, pemerintah sudah menghimbau
masyarakat untuk tetap beribadah di rumah, tetapi tetap saja ada yang ingin
pergi ke masjid atau tempat ibadah lain.
Kalau pandangan keagamaan seseorang menyikapi hal tersebut dengan
terbuka, maka ragam narasi agama yang menyikapi pandemi corona akan
terbuka. Sebaliknya, kalau menyikapi
dengan tertutup, maka akan susah untuk menyikapinya.
Bersikap proporsional
Sikap proporsional yaitu selalu menempatkan segala sesuatu dengan
tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat.
Dalam hal beragama, memang terdapat sikap fatalisme dan juga sikap
logis rasional dalam menyikapi, memahami, dan menerima takdir Tuhan. Dalam
kondisi sekarang ini, sikap fatalisme dalam agama marak muncul adanya. Sikap
ini menjadikan manusia yang dikuasainya tidak mau memberdayakan karunia akal
yang dianugerahkan Tuhan. Pandemi corona dihadapi hanya dengan modal pemahaman
keagamaan dan keimanan yang sempit, tanpa peduli pada informasi dan saran-saran
kesehatan. Hal tersebut menyebabkan minimnya kewaspadaan seseorang terhadap
kondisi saat ini.
Adapun sikap logis rasional dalam keagamaan adalah berupaya
maksimal dalam memanfaatkan potensi akal yang diberikan oleh Tuhan agar
menemukan solusi-solusi masalah dengan mengombinasikan ajaran-ajaran agama dan
pandangan-pandangan sains secara proporsional.
Sikap ini membawa pelakunya memiliki pandangan terbuka terhadap
persoalan yang sedang dihadapi seperti sekarang ini. Dengan respon proporsional
inilah, nalar agama dan nalar sains dapat berjalan seimbang.
Sejak zaman Nabi pun sudah ada wabah penyakit menular seperti ini.
Dalam menghadapi wabah ini, Nabi mengajarkan kepada sahabat untuk tidak memasuki
wilayah yang tengah terjangkit, dan sebaliknya jika berada didalam tempat yang
terkena wabah dilarang untuk keluar. Dari sini kita semua tahu, bahwa Nabi
merupakan orang yang sangat bersikap proporsional menghadapi hal ini. Begitu juga dengan Khalifah Umar bin Khattab
yang langsung membatalkan kunjungannya ke Syam setelah adanya kabar bahwa
sedang ada wabah di Syam.
Dari sini kita dapat simpulkan, bahwa sebuah pandemi semestinya
disikapi proporsional dengan menyelaraskan keimanan di hati dan kerasionalan
akal untuk menghadapi persoalan semacam ini.
Wallahu a'lam.
Oleh: Nur Fitri Apriyanti
Related Posts
There is no other posts in this category.
Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Pandemi dalam Narasi Agama dan Sains"
Posting Komentar