Abuya Nurul Anwar merupakan pimpinan pondok pesantren Attaqwa Pusat Putra. Beliau adalah salah satu ulama masyhur se-Jabodetabek sebagai penerus perjuangan dakwah Sang Singa Karawang-Bekasi (KH. Noer Alie). Baginya perjuangan dakwah itu bukan hanya di lingkungan pesantren saja, tetapi mengabdi umat adalah salah satu jalan menuju kebahagiaan dunia maupun akhirat. Beliau lahir pada 21 April 1954 M di Desa Ujung Harapan, yang dahulu dikenal dengan nama Ujung Malang, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat.

          Melansir dari @Koran Bekasi.ID, daerah tersebut dikenal sebagai “Kampung Surga” karena dibalik hiruk pikuk kota Metropolitan Bekasi, terdapat sebuah desa yang begitu teduh. Kampung itu merupakan impian Kiai Noer Alie setelah belajar dari Makkah pada tahun 1940 M dengan mendirikan pesantren di kampung halamannya yang bertujuan memajukan umat dari keterbelakangan  yang dialami. Tekat dan keyakinan yang dimiliki beliau untuk kemajuan umat tidak akan tercapai kecuali hanya dengan melalui jalur Pendidikan. Saat itu pendidikan di kampung tersebut masih sangat tertinggal. Tidak ada satu sekolahpun disana.

Akhirnya pada tahun 1956, KH. Noer Alie berhasil mendirikan Yayasan Pembangunan Pemeliharaan Pertolongan Islam (YP3). Kemudian pada 17 Desember 1986 berganti nama menjadi Yayasan Attaqwa atau Pondok Pesantren Attaqwa dengan motto; “Benar, Pintar, dan Terampil.” Kendati demikian, berkat dedikasi sang Ayah dari Nurul Anwar, seorang Ulama Besar sekaligus Pahlawan Nasional, KH. Noer Alie. Karena Abuya Nurul Anwar  keturuan dari seorang ulama besar yang karismatik, maka beliau lah salah satu keturunan yang akan melanjutkan perjuangan sang ayah dari sisi dakwah maupun kepemimpinan.

Kehidupan semasa kecil Abuya Nurul Anwar tidak jauh beda dengan Ulama Besar Imam Jalaluddin Suyuthi (wafat 911 H), sang pengarang banyak kitab yang sampai sekarang masih dipakai sebagai rujukan oleh Ulama Kontemporer terkhusus Ulama ahli tafsir, yaitu Kitab Tafsir Jalalain dan al-Itqan Fi Ulumil Qu’ran. Ketika kecil sudah ditanamkan oleh ayahnya kecintaan terhadap ilmu. Beliau yang masih berumur kisaran dua tahun, telah dibawa mengaji oleh sang ayah di majelis Imam Ibnu Hajar Asqalani dan mendapat ijazah hadis darinya. Begitu juga dengan Syekh Muhammad Ramadhan al-Buthi (wafat 2013 M), mengatakan di dalam kitabnya Hadza Walidi, bahwa sang ayah adalah guru pertama yang mengajarkan ilmu-ilmu asas seperti; Nahu, Saraf, Balagah dan sebagainya.

Demikian pula dengan Abuya Nurul Anwar, sejak kecil sudah dipupuk oleh sang ayah, KH. Noer Ali kecintaanya terhadap disiplin ilmu. Oleh karena itu, berkat pendidikan yang bagus disertai doa yang tulus dari sang ayah, Abuya Nurul Anwar mampu menjadi seorang ulama kharismatik yang ajarannya menancap di jiwa para murid dan para pencintanya. Sejak kecil beliau hidup dilingkungan pesantren dan mudah bergaul dengan teman sebayanya, baik dari keluarga, teman atau masyarakat sekitar.


Sedangkan, perjalanan intelektualnya dimulai dari desa kelahirannya, di Madrasah Ibtidaiyah al-Huda pada tahun 1965 M. Kemudian melanjutkan ke Madrasah Menengah Attaqwa pada tahun 1971 M. Berprestasi beliau belajar disini adalah mengkhatamkan hafalan Alfiyah Ibnu Malik, sebuah nazam agung berjumlah 1002 bait yang membahas ilmu Nahwu, karya Imam Malik (w 672 H) yang berasal dari Andalusia. Dan nazam ini menjadi salah satu cabang ilmu yang akan beliau kuasai ketika akan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.

Tradisi menghafal Alfiyah sudah sejak zaman dahulu. Imam Suyuthi, Imam Zakaria al-Anshari, Imam  Abdul Wahab Sya’rani dan para ulama yang lain telah menghafal di usia yang belia. Tradisi ini pun berkembang di Indonesia, terkhusus di pondok-pondok salaf. Puluhan ribu santri menghafal setiap bait-bait Alfiyah yang tidak hanya mengandung ilmu Nahu dan Saraf, tetapi didalamnya juga terdapat falsafah kehidupan dan keteladanan. Menghafalkan sebuah nazam bertujuan untuk mengikat kaidah-kaidah dan permasalahan-permasalahan dalm sebuah ilmu. Metode itu juga cocok bagi orang yang cerdas maupun tidak cerdas. Sebagaimana yang diucapkan oleh Imam Ibnu Mu’thi, “Karena pengetahuan mereka bahwa menghafalkan nazam cocok bagi orang yang cerdas maupun tidak cerdas.” Oleh karena itu, Abuya Nurul Anwar bersungguh dalam menghafalnya dan beliau telah menghafalnya di luar kepala.

Setelah lulus dari sana, beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Damaskus, Suriah pada 1974 M. Selama menjadi mahasiswa Universitas Damaskus dan mangambil Fakultas Syariah, beliau menimba ilmu kepada ulama besar. diantaranya, Syekh Wahbah Zuhaily, Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Syekh Adib Sholeh. Setelah beberapa tahun belajar di sana, pada tahun 1974-1975 M, beliau diamanahkan menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Suriah. Karena, beliaulah diantara beberapa mahasiswa  yang paling menonjol dan berprestasi. Setelah menyelesaikan studinya di Suriah, beliau berangkat ke Mesir untuk melanjutkan study Magisternya. Namun, ketika sedang menimba ilmu di sana, beliau disuruh pulang oleh sang ayah untuk membantu mengajar serta mengelola pondok. Dikarenakan sang ayah mulai sakit-sakitan.

Setelah beberapa tahun mengajar, pada tahun 1986 M, beliau diamanahkan oleh sang ayah menjadi Pimpinan Umum Pondok Pesantren Attaqwa Putra. Tersebab beliau seorang yang amanah ketika menjadi Pimpinan Pondok, maka beliau dipercaya menjadi bagian dari jajaran Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bekasi tahun 1998 M. Pada tahun 2006 M, beliau menjadi Ketua Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIH) Attaqwa. 2 tahun setelah itu, beliau diangkat menjadi Ketua Badan Pengawas Yayasan Nurul Islam Islamic KH. Noer Alie Center Bekasi.  Kemudian pada tahun 2011 M, beliau menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Pengurus IKAA (Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa).

Setelahnya, beliau didaulat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bekasi, berdasarkan keputusan bersama. Beliau dikenal sebagai sosok ulama yang zahid dan bertakwa. Perangainya baik, jika berjanji ditepati. Menghormati tamu serta terkenal dengan kederwamanannya. Berlaku lemah lembut kepada kaum fakir dan kerap bersedekah kepada mereka. Tetangga merasa aman darinya, jika ada permasalahan, acap kali beliau membantu dengan harta dan memberikan solusinya. Tokoh yang memiliki pemikiran yang cemerlang ke depan. Orang-orang berdatangan ke rumah beliau untuk meminta nasihat dan keputusan terhadap masalah-masalah yang dihadapi.


Mengutip dari akun Facebook @Mirwan Nijan (salah satu guru di Pesantren Attaqwa Pusat Putra), Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari al-Maghfurlah Abuya KH. Nurul Anwar, diantaranya; pertama, Attaqwa adalah pesantren perjuangan yang tidak hanya fokus di satu bidang, melainkan perjuangan di banyak bidang. Kedua, pergaulilah guru yang mendidik murid-muurid agar lebih taat kepada gurunya dari pada orang tuanya. Ketiga, jangan pernah puas dengan ilmu yang didapat, karena zaman terus berkembang, jika tidak belajar maka akan ditinggal zaman. Keempat, seorang guru yang hanya fokus mengajar tanpa menambah belajar, seperti pedagang yang hanya berjualan, tetapi tidak berbelanja lagi. Dia akan bangkrut karena barang dagangannya habis tidak bertambah.

Kelima, jika menjadi seorang guru, niatkan mendidik untuk mencari berkah. Syahriah adalah hiburan bukan tujuan. Keberkahan didapatkan dari usaha dan kegiatan lainnya. Keenam, berikan contoh yang baru untuk mengajak dan mendidik masyarakat dengan contoh yang lebih mudah dipahami dan lebih ringan dalam mengikuti sebuah ajakan. Ketujuh, buatlah visi dan tujuan agar terarah dan tidak mudah goyah. Kedelapan, zikir yang paling utama adalah ibadah, terutama solat berjama’ah. Orang yang rajin jama’ahnya dijamin rezekinya oleh Allah SWT. Kesembilan, penuhi hak-hak istri. Jangan sampai terlalu fokus kepada urusan belajar, dakwah, dan usaha sampai melupakan hak istri. Kesepuluh, berkah dunia diraih dengan ridho orang tua, berkah ilmu mushahabah (berkarib dan berbakti) dengan guru, berkah rumah tangga dengan mua’syarah bil ma’ruf  (bergaul dengan baik), memenuhi hak dan kewajiban pasangan sebagai suami atau istri.

Dan beberapa peninggalan atau karya besar beliau semasa hidupnya, pertama, laboratorium fikih di dalamnya terdapat perpustakaan dan kegiatan-kegiatan seperti kajian, diskusi-diskusi, seminar-seminar, muroja’ah dan bedah buku yang semua itu berkaitan tentang permasalahan fikih. Kedua, membangun atau merenovasi masjid pondok yang menghabiskan dana sekitar 15 miliar. Ketika merenovasi masjid, beliau berpegang teguh dengan nasihat sang ayah, “Kalau ingin membangun masjid serta cepat selesai, kalian harus kompak, amanah dan jangan mengecewakan umat.”

Pada akhirnya beliau kembali ke haribaan sang Illahi pada Selasa, 27 Oktober 2020 M. Kota Bekasi ditimpa kesenduan, tapi karya serta kontribusi beliau terhadap Attaqwa dan umat telah membuat namanya akan terus terkenang. Di penghujung tulisan ini, terdapat sebuah pesan yang patut kita renungi bersama bahwa semangat menuntut ilmu seyogianya menyala kapanpun, di manapun  dan dalam kondisi bagaimanapun. Penuntut ilmu tidak mengenal keberadaanya di mana, kapan dan bagaimana, serta tidak mencukupkan diri dengan satu keilmuan saja.


Oleh: Pajarudin

Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk " Abuya KH. Nurul Anwar; Sang Kiyai Umat "

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel