Islam Moderat dan Moderasi Islam, Apa Maknanya?

 

Fakta historis merupakan salah satu bukti akurat yang sulit untuk dielakkan. Dalam sejarahnya, Islam sebagai sebuah agama telah mengalami beberapa kejadian yang begitu kompleks, termasuk di dalamnya adalah peperangan antar “saudara”. Seperti yang terjadi antara Sayidina Ali ra. dengan Muawiyah dalam perang siffin, dan Sayidina Ali ra. dengan Sayidah Aisyah ra. dalam perang Jamal. Dalam  kedua peperangan tersebut, islam sebagai identitas keagamaan mereka telah dijadikan alasan untuk truth claim (klaim kebenaran tunggal)  yang menyebabkan terjadinya peperangan tersebut.

Seperti yang dikemukakan oleh Karen Amstrong; sesosok sejarawan dalam bidang sejarah agama-agama, dalam risetnya, ia menyatakan bahwa tidak ada agama di dunia ini yang terlepas dari kekerasan. Kekerasan seakan telah mendarahdaging di dalam tubuh setiap agama. Ajaran Budha yang mempromosikan keseimbangan kosmis, Kristen yang mempromosikan cinta-kasih, dan Islam yang mempromosikan keadilan, kesemua ajaran itu pernah mengalami fase-fase pergelimangan darah yang diakibatkan oleh perang “saudara”.

Wacana ajaran Islam di atas yang terepresentasikan dalam kekerasan turut mengundang oposisi ideologi lainya yang cenderung mempromosikan kebebasan. Dulu, ideologi tersebut diilustrasikan dengan ajaran Muktazilah. Sedangkan dalam wacana transmodernisme, ideologi tersebut diilustrasikan dengan ajaran Islam liberal, sebagian golongan menyebutnya dengan gerakan neo-Muktazilah.

Kiranya, apa yang saya paparkan di atas kurang-lebih sedikit menggambarkan genealogi gerakan-gerakan Islam pra-primordial. ditengah-tengah hegemoni dualisme tersebut, ada beberapa kelompok yang turut menyuarakan islam sebagai agama yang moderat (wasathi), dalam bahasa inggris, ia sering dimaknai dengan in between (di antara), dan balance (keseimbangan/keadilan). Klaim yang satu ini seringkali diperkuat dengan ayat Alqur’an yang artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan (kamu)…” (QS. Al-Baqarah : 143)

Lalu kemudian, kita sampai pada pertanyaan, apa itu moderasi beragama? Apa itu islam yang moderat? Apakah moderat ini hanya untuk satu kelompok saja dengan menafikan kelompok lain? ataukah moderasime ini sesuatu yang plural; yang bisa mencangkup beberapa kelompok asalkan memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan?

Persoalan terkait makna moderasi atau wasathiyyah adalah persoalan interpretatif. Artinya,  para mufassir tidak menyebutkan ketentuan-ketentuan yang spesifik yang menunjukkan bahwa kelompok si A adalah kelompok yang moderat, dan yang lainnya adalah tidak. Mereka (para mufassir) hanya menyebutkan makna plural dan universal yang terkandung dalam kata wasathiyyah tersebut. Makna itu ialah keadilan,  kejujuran dan pertengahan (tidak kurang, tidak juga lebih). Sekalipun demikian—seperti apa yang telah dijelaskan oleh Prof. Quraish Shihab dalam bukunya ‘Wasathiyyah’—ketiga makna yang universal tersebut belum sepenuhnya mewakili hakikat makna wasathiyyah yang terdapat di dalam ayat Alqur’an.

Lebih jauh lagi, dengan mengutip beberapa pendapat para mufassir, Prof. Quraish menjelasakan makna wasath yang terkandung dalam ayat Al-Baqarah tersebut. Menurut Ibrahim bin Umar Al-Biqa’I dalam tafsirnya, Nazm ad-Durar, menyebutkan beberapa makna lafal wasath yang mungkin terkandung dalam lafal tersebut. Di antara maknanya adalah, perak, tanah, taman yang hijau dengan aneka tanaman, sesosok yang gagah.

Posisi wasathan/pertengahan yang dilukiskan ayat di atas bukan saja menjadikan manusia memihak ke kiri atau ke kanan, melainkan juga menjadikan seseorang dapat dilihat dari penjuru yang berbeda-beda, dan ketika itu ia berpotensi menjadi tanda atau teladan bagi semua pihak.

Berbeda dengan Al-Biqa’i, Fakhruddin Arrazi dalam tafsirnya mengemukakan beberapa makna wasath yang terkandung dalam ayat tersebut. Menurutnya, kata wasath bisa saja berarti adil, yang terbaik, yang paling baik/paling utama, dan bersifat moderat atau pertengahan antara berlebihan dan berkurangan dalam pelbagai aspek. Orang Islam tidak bersikap berlebihan sebagaimana halnya prang-orang Nasrani yang meyakini adanya anak Tuhan, ia juga tidak bersikap melecehkan sehingga membnuh nabi-nabi dan mengubah kitab-kitab suci sebagaimana halnya orang-orang Yahudi.

Meskipun lafal wasath memiliki beberapa makna, tapi menurut Arrazi makna-makna yang terdapat dalam lafal itu saling berkaitan dan berdekatan, tidak saling bertentangan. Tentu, untuk bisa bersikap moderat, kita dituntut untuk paham betul ‘dua sisi’ ekstrim yang mengharuskan kita mengambil sikap moderat. Tapi, tidak selalu sesuatu yang di tengah itu adalah yang paling utama dan yang paling baik, agaknya ada beberapa hal atau aspek yang tidak memiliki sisi pertengahan, demikian jelas Abbas Mahmud Al-Akkad.

Akhirnya, untuk mengimplementasikan nilai-nilai moderasi beragama, kita dianjurkan untuk terlebih dahulu memahami apa itu maqâshid asy-syarî’ah, fiqh al-awlawiyyât, fiqh al-muwâzanât, dan fiqh al-ma’âlât. Di dalam ajaran Islam, setidaknya kita bisa mengklasifikasinya menjadi tiga ajaran pokok; Akidah, syari’ah/pengalaman ketetapan hukum, akhlak/budi pekerti. Nah, sudahkah kita menerapkan nilai-nilai moderasi dalam tiga ajaran pokok tersebut?

 

 penulis: Rizki Romdoni

 

Related Posts

There is no other posts in this category.
Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "Islam Moderat dan Moderasi Islam, Apa Maknanya?"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel