Oleh: Nida Mayyadatin Nur
Azan isya sudah berkumandang. Rahman segera bersiap-siap untuk pergi ke masjid guna melaksanakan salat tarawih pada malam pertama bulan Ramadan. Tak lupa juga ia membantu adik nya, Rahim untuk memakai sarung dan baju koko. Umurnya yang terlampau jauh dengan sang adik, membuat Rahman seperti ayah kedua bagi rahim.
“Jaga
adikmu ya, Le,” pesan ibu kepada Rahman sebelum ia berangkat ke masjid dekat
rumah.
“Baik
bu, nanti pulang tarawih mau dibelikan pecel lele buat kita sahur nanti?” Tanya
Rahman sambil mengancingkan baju koko peninggalan ayahnya. Kebiasaan yang
dilakukan untuk mengenang sang ayah yang tiada beberapa tahun lalu.
“Iya,
belikan sepuluh bungkus. Selebihnya berikan kepada tetangga depan dan juga
pamanmu ya, Le.”
“Baik
bu, kita pamit dulu. Assalamualaikum,” ucap Rahman sambil mencium tangan dan
juga pipi sang ibu.
"Dadah
ibu, kita pamit dulu ya," sambung adiknya sambil mengikuti apa yang abangnya
lakukan.
“Waalaikumussalam,”
jawab ibu dengan senyuman indahnya yang tak terkira. Sang ibu yang hanya bisa
menyaksikan dari atas kursi rodanya, meneteskan air mata haru, seraya berdo’a
semoga kelak anak-anaknya menjadi pemuda yang soleh dan selalu menebarkan
kebaikan.
Setelah
pulang dari masjid, Rahman segera ke warung pecel lele langganan ibunya dan
memesan sepuluh bungkus dengan plastik yang terpisah, agar ia dapat dengan
mudah membagikannya nanti.
Selama
perjalanan menuju rumah, ia melihat langit dihiasi dengan bulan sabit dengan
bintang-bintang yang bertaburan.
“Ah,
sungguh indah ciptaan-Mu ya Rabb,” ucap Rahman dalam hati. Seiring ia melangkah,
tak henti-hentinya hatinya mengucapkan rasa syukur, karena bisa dipertemukan
dengan bulan yang begitu mulia ini.
Ketika sudah sampai di rumah, ia meletakkan plastik bungkusan pecel lele yang tadi sudah dibeli diatas meja makan. Karena waktu sudah menunjukkan waktu tengah malam, ia segera beranjak ke tempat tidurnya hingga sebuah suara membangunkannya.
“Abang,
ayo bangun. Mau magrib nih. Seakarang juga malam pertama Ramadan, ayo bangun.
Nanti kita tarawih biar ayah sama ibu seneng.” Sayup-sayup terdengar suara Rahim
yang memanggil. Tapi ia berpikir seperti ada yang aneh dari kalimatnya. Lantas
perlahan ia membuka mata dan mendapati secercah matahari sore yang begitu menyilaukan,
masuk melalui celah jendela kamarnya.
"Loh,
sejak kapan matahari terbit sepagi ini?" Rahman bergumam sambil menahan
kantuk yang masih menyergapnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk mencuci muka, lalu ia mengecek jam di ponselnya. Pukul 17:30 WIB. Benar, ini adalah sore hari, bukan pagi. Dan kejadian tadi hanyalah mimpi dari memori kenangan Ramadan tahun lalu.
Seperti
mengetahui kebingungan Rahman, adiknya mendekat sambil menyerahkan baju koko
peninggalan ayah. Hal itu sudah menjadi tradisi sejak ayah mereka pergi untuk
selama-lamanya; bahwa di awal pertama bulan Ramadan, mereka para lelaki akan
memakai baju koko ayahnya. Walaupun saat ini baru Rahman yang bisa
menggunakannya.
“Hayoo,
linglung kan? makanya jangan suka tidur setelah salat asar. Sudah sana mandi, biar
nanti pas salat tarawih tidak ngantuk lagi.”
“Iya,
adik sholehnya abang,” jawab Rahman dengan segenap kesadarannya.
Kemudian
adiknya teringat sesuatu dan berkata "Oh iya, tadi aku denger ucapan Pak Lurah,
kalau masjid tidak akan buka selama Ramadan. Jadi kita tarawih di rumah ya,
bang?"
"Oh
iya, abang lupa kalau pandemi ini masih ada. Semoga tahun depan kita bisa
berjamaah di masjid lagi ya, de," jawab Rahman yang diamini oleh sang
adik.
Sejak
kepergian sang ibu dua bulan yang lalu, pelaksanaan Ramadan tahun ini menjadi
sangat berbeda. Tak ada lagi suara lembut ibu yang memanggil-manggil untuk
bersiap-siap salat tarawih di masjid. Ditambah ketika awal tahun lalu, virus
corona yang menyebar luas menyebabkan berbagai macam kegiatan dihentikan demi
kebaikan bersama. Salah satunya, kenikmatan untuk shalat berjamaah di masjid
yang tak bisa dirasakan lagi. Tetapi, Rahman tetap mensyukuri semua takdir yang
telah Allah tentukan.
"Aku
yakin, walaupun suasana Ramadan kali ini sangat berbeda dengan tahun lalu,
bulan Ramadan tetap menjadi bulan yang istimewa," ucap Rahman sambil
beranjak untuk segera membersihkan dirinya.
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Ramadanku Tidak Pernah Berubah; Cerpen"
Posting Komentar