Oleh:
Pajarudin
Dunia
Islam pernah dilanda wabah ganas yang terjadi jauh sebelum Covid-19 di
era ini, bahkan sebelum Wabah Hitam (Black Death) pada abad ke-14 menguncang
Eropa. Kita sering mendengarnya dengan istilah Wabah Tha’un. Dalam
sejarahnya, wabah ini merupakan Wabah Amwas yang terjadi di Syam (Suriah) pada
abad ke-7 sekitar tahun 638 Masehi atau 17 Hijriah, ketika puncak tertinggi
kekuasaan Islam dinakhodai oleh Khalifah Umar bin Khattab RA.
Kala
itu, penyebaran wabah ini masih terbatas. Oleh karenanya, Wabah Amwas masih
belum bisa disebut pandemi, melainkan epidemi. Menurut Prof. Micheal W. Dols,
dalam artikelnya “Plague in Early Islamic History”, wabah ini pada mulanya
hanya tersebar di seputar Syam, namun setelah itu menular hingga ke Irak dan
Mesir. Wabah ini juga menyebabkan 25.000 prajurit Muslim maupun keluarganya
meninggal dunia, termasuk juga para panglima
Islam, diantaranya Abu Ubaidah bin Jarrah, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abu
Sufyan, serta Syurahbil bin Hasanah, yang juga merupakan para Sahabat Nabi SAW.
Selain itu, wabah ini juga memicu pengungsian penduduk asli Syam yang beragama
Kristen.
Bertolak
dari secercah perjalanan sejarah Dunia Islam yang dilanda wabah ganas di atas.
Sekarang, ketika kita menelisik pada bulan Ramadan tahun ini tidak jauh berbeda
dengan bulan Ramadan tahun lalu, dunia masih di selimuti dengan virus mematikan
Covid-19 yang melanda hampir seantero jagad raya. Tetapi, bulan Ramadan pada
tahun ini terasa spesial, karena di tahun lalu semua amaliah ibadah bulan puasa;
tadarrus al-Qur’an, tarawih, berbuka, sampai salat wajib hanya dikerjakan di
rumah untuk mencegah penyebaran virus. Sehingga Hal tersebut berdampak positif
kepada momentum bersama keluarga. Sedangkan pada bulan Ramadan tahun ini, kaum
Muslim diperbolehkan untuk menjalani semua amaliah tersebut di masjid-masjid,
namun tetap dengan menjaga protokol kesehatan serta menjaga jarak.
Ibnu
Hajar al-Asqalani, seorang sarjana Muslim kenamaan pernah hidup dalam kondisi
penuh ketakutan dan ancaman kematian. Tersebab kondisi yang demikian, ia
menulis kitab yang bertajuk “Badzlu al-Maun fi Fadhl al-Tha’un”. Dalam
kitab ini, Ibnu Hajar menjelaskan secara spesifik semua hal yang berkaitan
dengan Wabah Tha’un. Kitab tersebut terdiri dari empat bab pembahasan
yang cukup panjang.
Secara
singkat, saya hanya menitikberatkan pada salah satu pembahasan saja, yakni pada
bab keempat yang menjelaskan tentang bagaimana menyikapi sebuah pandemi; mulai
dari konsep lockdown, sosial distancing, konsep berjuang dan pasrah dalam
menghadapi pandemi. Serta kisah Sayyidina Umar ibn Khattab RA. yang enggan
masuk ke sebuah daerah zona merah.
Pada
bagian keempat ini, Ibnu Hajar membahas dengan spesifik langkah apa yang perlu
dilakukan ketika terjadi wabah, diantaranya ketika terdengar informasi sebuah
penyakit menular dan membahayakan, maka langkah awal adalah melakukan lockdown,
serta mencegah orang dalam daerah untuk keluar dan mencegah orang luar
daerah untuk masuk. Ungkapan ini yang senada dengan sabda Nabi saw: “Jika
kalian mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya dan
jika terjadi wabah di tempat kalian berada, maka janganlah kalian keluar untuk
lari darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari
hadis tersebut, lantas dijadikan pedoman oleh Khalifah Umar bin Khattab RA.
ketika ia hendak ke Damaskus, sementara tersiar kabar ada wabah di sana.
Khalifah kedua itu pun memutuskan kembali ke Madinah. Sikap Umar ini mendapat
respon kurang baik dari beberapa pihak, salah satunya adalah Abu Ubaidah. Ia
bertanya, “Akankah engkau lari dari takdir Allah SWT?, Umar menjawab, “Aku
berlari dari satu takdir menuju takdir Allah
SWT yang lain.”
Perkataan Khalifah Umar di atas, mengindikasikan kepada seluruh manusia untuk berjuang mengantisipasi datangnya virus ke dalam tubuh. Di sisi lain, terdapat beberapa pola hidup sehat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW saat terjadi wabah seperti yang kita alami sekarang ini. Pertama, beliau selalu mengajarkan mengkonsumsi makanan yang halal dan baik. Berlandaskan firman Allah SWT di surat al-Baqarah ayat 168 yang berbunyi: “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Titik penekanan pada ayat tersebut tidak cukup dengan makanan yang berlabel halal saja, mulai dari proses memperoleh dan mengolahnya. Seyogianya, baik juga secara fisik; tidak najis, tidak mengkonsumsinya secara berlebihan, dan tentu mengandung maslahat untuk tubuh kita.
Kedua,
tidak
berlebihan dalam mengonsumsi makanan. Ketika dalam puasa seperti sekarang ini,
sebaiknya di saat berbuka secukupnya saja. Jangan karena telah berpuasa
seharian, lantas momen berbuka dijadikan ajang pembalasan untuk melahap semua
hidangan. Padahal Allah SWT sudah memperingatkan kepada hamba-Nya untuk tidak
bersikap berlebihan, termasuk ketika makan. “Makan dan minumlah, dan jangan
berlebih-lebihan. Sesungguhnhya Allah tidak menyukai orang-orang yanhg
berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Ayat
di atas juga menjadi peringatan kepada kita, agar menjaga bagian tubuh
dari kegemukan atau obesitas. Keadaan tersebut memiliki tingkat risiko dua kali
lipat yang akan menyebabkan terjadinya serangan jantung koroner, stroke,
diabetes, dan hipertensi. Oleh sebab itu, sekiranya dalam porsi makan perlu diperhatikan. Maka makanlah apa yang diperlukan untuk tubuh bukan mengikuti
apa yang kita inginkan.
Terkhusus
untuk mereka para al-Aghniya (orang-orang yang memiliki kemampuan untuk
berbagi) dari umat Muslim yang hatinya selalu diasah dengan puasa, telinga
serta jiwanya akan mampu mendengarkan rintihan suara al-Fuqara
(orang-orang yang membutuhkan uluran tangan) yang selalu merintih dalam kepedihan.
Ia tidak serta-merta mendengar itu sebagai suara “pemohon bantuan”, melainkan
sesuatu hal yang tidak ada jalan lain kecuali dengan disambut, direngkuh dan
direspon makna tangisannya dengan kelembutan hati “Sang Dermawan”. Miris
sekali, jika para al-Aghniya itu enggan ataupun tidak mau untuk
memberikan sedikit dari rezeki yang dimilikinya. Bisa dikatakan dengan kalimat
lain “telah hilang hati nurani dan rasa kemanusiaan mereka.”
Ketiga,
menjaga
fisik dengan berolahraga. Ada banyak aktivitas olahraga yang dianjurkan oleh
Rasulullah SAW, seperti memanah, berkuda, dan berenang. Tetapi hemat saya,
jikalau kondisi dan lingkungan tidak mendukung untuk melakukan anjuran
tersebut, kiranya cukup dengan bersepeda atau lari santai di halaman rumah,
agar meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah terjadinya penyakit.
Walakhir,
di
tengah wabah dan bulan Ramadan seperti saat ini, kita perlu menjaga dan
memperhatinkan pola makan dan pola hidup supaya bisa fit dalam beraktivitas
sehari-sehari. Ketika tubuh ini sehat, maka ibadah juga terasa nikmat dan
lancar. Pepatah mengatakan al-Aqlussalim fi Jismissalim.
Selamat
berpuasa, untuk menjadi “yang pertama dan utama” dalam berlomba untuk berbuat
baik dan menjadi terbaik. Serta semoga kita semua terbebas dari berbagai macam
virus dan terhindar dari wabah yang mematikan ini. Aamiin.
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Urgensitas Menjaga Pola Hidup Sehat di Kala Pandemi"
Posting Komentar