Oleh: Wilda Rahmi

Klik...

 

Dara baru saja mengirim dokumen resume buku 500 halaman yang telah ia kerjakan selama dua minggu ini kepada dosennya. Ia menghembuskan napas dengan kasar. Dua dari tiga tugas serupa telah ia tuntaskan. Seharusnya, Dara menyaringkan suaranya seperti memenangkan giveaway iPhone tiga belas, tujuh pekan lalu. Namun, sayangnya, sekarang ia bukanlah di ruangan putih-abu dengan kaktus yang ia panggil namu, akan banyak pasang mata yang tertuju padanya sekarang jika ia melakukan ritual wajib itu. Sebagai gantinya, Ia hanya bisa melebarkan bulan sabitnya dan menutup laptop serta buku disampingnya kemudian melakukan sedikit peregangan setelah duduk berjam-jam dengan laptop dan buku yang harus ia bolak-balikan sendiri tanpa ada yang membantu.

Dan mengingat itu, membuat Dara memeriksa kembali telepon genggam nya yang ternyata mendapat sepuluh panggilan tak terjawab dari orang yang berencana hadir membantunya dan berakhir dengan satu notif pesan, "Dara, maaf ya, ini mas lagi......" Dara tidak berniat untuk membuka pesan itu sama sekali. Ia hanya membaca sekilas dan membalikkan benda pipih itu kembali.

Sejenak, ia memejamkan mata dan menghela napas dalam sebelum menghembuskan perlahan, senyumnya terpatri kala matanya menatap lurus pada dua gunung dengan matahari diatasnya yang masih enggan untuk turun. Tepat seperti gambar andalannya waktu SD dulu. Bedanya, tidak ada jalanan di tengahnya yang membelah persawahan. Justru sebaliknya, Sawah dengan tehnik terasering itu bagai anak tangga yang mengagumkan ditambah desiran dedaunan pohon di sebelahnya bersamaan dengan kicauan burung cemara yang bertengger di ranting pohon itu sekejap membuat Dara lupa dengan segala kesusahan yang telah ia hadapi beberapa jam lalu.

Wah, Mas Agus, walau ia sangat kesal padanya sekarang. Tapi, ia tetap mengakui bahwa Agus memang pilihan yang tepat untuk hal merekomendasikan tempat. Kali ini, sebuah kafe di atas bukit tanpa atap yang dikelilingi pohon rindang dengan sawah di bawahnya membuat tempat ini didominasikan oleh warna hijau penyegar mata favorit Dara. Ditambah lagi dengan bean bag triangle yang sudah menggodanya untuk merosot sejak kali pertama ia menempatkan bokongnya.

Ia tersenyum, lagi. Pelan tapi pasti ia mulai merosot dengan tangan kanan yang terulur untuk meraih si hijau penenang jiwa versi Dara yang selalu ia sebut di setiap daftar menu minuman yang ia suka. Matcha latte hangat adalah si lava hijau yang dengan aromanya saja sudah memberikan sensasi ketentraman jiwa.

Namun, senyumnya memudar tatkala cairan hijau itu berhasil mengalir ke tenggorokan nya. Ia mendengus, lupa menyesapnya barang sekali setelah tiga jam ia berada disini. Nampaknya ia terlalu exited untuk menyelesaikan tugasnya sebelum terbenamnya matahari. Ah, membuat Dara teringat kembali akan janji manis si om vampir pagi tadi. Tentu saja Dara harus meminta pertanggungjawabannya setiba ia nanti.

 

Sejak pagi buta, sebelum Dara mendapat kesadarannya, Agus mengirim pesan menawarkan diri untuk membantu Dara mendikte ringkasan yang sudah ia tandai. Tapi nyatanya, sampai sekarang pun, manusia berkulit putih pucat bak vampir sampai memperlihatkan warna uratnya itu belum juga menampakkan wujud aslinya.

Dara mengerucutkan bibirnya kemudian mengembalikan gelas matcha pada tempatnya. Ia meraih tas, mengeluarkan sebuah iPad dari sana. Berniat melanjutkan desain banner untuk seminar bulan depan sembari menunggu orang yang ingkar janji itu datang.

Waktu terus berjalan. Desain banner yang ia kerjakan sudah terbelah menjadi dua pilihan. Ia kembali menghembuskan napasnya berkali-kali, tidak tahan dengan pekerjaan yang membuang waktu seperti ini. Bahkan, ia mulai merapalkan kalimat suci dalam hati. Agus tidak pernah membuatnya menunggu selama ini. Sebaliknya, Agus lah yang selalu menunggu dirinya dengan senang hati.

Seketika rasa bersalah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dara berjanji pada dirinya sendiri, bahwa setelah ini, tidak ada lagi istilah menunggu dan ditunggui.

Lima menit sudah berlalu dan Dara masih dengan dua gambar yang terus ia pelototi. Netranya berpindah ke kanan dan kiri. Keningnya ikut bertaut mengaudisi. Seharusnya, dia tidak perlu membuat dua desain secantik ini. Dia jadi tidak kuasa untuk memilih. Dara mendengus. Pada akhirnya, ia menyerah dan ingin menunggu Agus saja untuk menentukan pilihan antara keduanya.

Dara mendengar deru napas dari arah belakang. Namun, ia tidak ingin terlalu percaya diri meyakini itu adalah orang yang ia tunggui dan memilih mengabaikannya tanpa menoleh sama sekali. Sampai lelaki yang masih dengan setelan kantor lengkap itu muncul di hadapannya dengan mata sipit yang dipaksa melebar serta dada naik turun berusaha mengatur pernapasannya. Ia melonggarkan dasi yang mencekik nya.

"Dara, sudah selesai, ya? Maaf, Mas abis dari rumah mamah kamu."

 

Dara menyodorkan iPad yang sedari tadi ia pegang seraya mengatupkan bibir nya sebelum memotong permintaan maaf yang sungguh tidak perlu diutarakan, mengingat dia lah yang paling sering menempatkan pria sebaya omnya itu dalam posisinya saat ini.

"Mas, lihat, deh. Cakepan mana desainnya?" Agus melongo untuk sesaat, "ya?"

Ia merasa sangat buruk. Pertama kalinya, ia melanggar janji dengan seseorang, terlebih itu Dara. Wanita yang ingin dia buat bahagia kedua setelah mamanya. Karena itu, dia sudah siap dengan segala omelan yang mungkin akan Dara tumpahkan padanya. Tapi, di luar spekulasinya, Dara malah terlihat seperti menahan tawa. Agus meraih iPad itu dengan tanda tanya besar di kepalanya. Sesaat ia merasa tidak asing dengan iPad yang sedang dia pegang.

"Yang ini. Loh, ini ipad Mas ya?"

 

"Iya, sudah dua hari di rumah. Jadi, Dara pinjam buat bikin desain banner. Bahan buat rapat yang kamu bilang minggu depan itu udah kamu kerjain, kan? Makanya lupa iPadnya di mana. Udah tinggal dua hari lagi rapatnya baru dicariin. Huh, bisa apa sih kamu Mas tanpa aku? Hahaha.”

Dara benar, begitulah Agus. Dengan kejeniusan yang ia punya berikut menjadi pemimpin perusahaan terpercaya namun di mata Dara dia masih saja 'si pak tua yang lupa segalanya'. Bahkan, Agus pernah melupakan kata sandi rumahnya sendiri yang baru dia tinggalkan dinas dua hari.

Agus hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan senyum gusi termanis menurut  Dara.

"Ya, makanya kita nikah, yuk!"

 

Deg, ajakan tiba-tiba itu cukup berpengaruh bagi Dara, membuat jantungnya memompa dua kali lebih cepat dari biasanya. Ia menatap Agus dengan seksama. Mencari tahu apakah yang ia dengar dianggap lelucon semata atau sebaliknya. Dan, yang ia tangkap sekarang adalah tatapan yang memancarkan kesungguhan yang nyata, teduh, dan kini menggigit bibir bawahnya. Dara yakin bukan dia saja yang gugup di sini. Ia pun berdehem untuk sedikit mencairkan suasana. Dara mengalihkan atensinya pada penampakan garis oranye yang terbentang di depan sana, tepat dibelakang Agus tentunya.

"Mas, jadi istri dan ibu itu tidak mudah. Aku nggak sanggup dengan peran itu bersamaan dengan statusku yang juga sebagai mahasiswi. Setidaknya, kasih waktu untuk nuntasin S2-ku dulu ya?"

"Dara.. kamu cuma perlu kuliah. Terus malamnya, nunggu aku pulang kerja. Soal kebersihan rumah dan isi tudung saji nanti kita bisa sewa orang, gimana?"

Dara tersenyum, kembali menatap Agus yang kini juga menatapnya lekat seolah setiap kata yang akan diucapnya adalah penentu jalan hidup pemuda putih bermata sipit di hadapannya ini.

"Terus, nanti masalah keuangan, kamu juga mau serahin ke orang?" Agus terdiam, menyadari wanita yang di hadapannya, kini bukanlah anak yang mengajaknya keliling komplek tanpa sepengetahuan orang tua lalu menangis karena tidak tahu jalan pulangnya. Sekelebat ingatan tentang masa lalunya dengan Dara itu membuat Agus menahan tawanya dan tersenyum bangga.


"Menjadi istri dan ibu itu bukan perihal isi tudung saji dan kebersihan rumah saja, mas. Tapi, juga menjadi ahli gizi, dokter pribadi, pintar menejemen keuangan dan panutan untuk sang buah hati dan soal parenting... Sebenarnya aku juga masih harus banyak belajar lagi." Dara menunduk, tersenyum memperhatikan telunjuknya yang kini menelusuri cangkir matcha yang sudah dinginnya. Kemudian menyodorkan cangkir itu untuk dimintai pertanggungjawabannya.

"Matcha Dara udah dingin-"

 

"F*ck!" Teriak seorang anak berumur 5 tahun yang menabrak Dara.

 

Matcha yang ia pegang seketika tumpah semua ke buku di atas meja. Beruntung, Mas Agus bersicepat bangun dan mengambil laptop Dara agar tidak terkena basahnya. Teriakan itu juga mengundang atensi banyak orang di sekitar mereka. Tak sedikit dari mereka yang mulai berbisik sembari menatap ke arah anak laki-laki dengan poni yang menutup setengah penglihatannya. Mereka mungkin langsung menaruhkan cap anak nakal ketika mendengar kata itu terucap oleh anak berumur dini yang sebenarnya Dara yakin dia tidak tahu apa yang telah ia ucapkan tadi.

Dara tidak mengkhawatirkan buku yang kini basah atau lengan bajunya yang ikut terciprat matcha., Ia langsung sigap menangkap tangan sang ibu yang bersiap untuk menampar bibir yang tidak sopan tutur katanya.

Si ibu itu melihat tangan yang berani mencegahnya. Dan, setelah ia dapatkan presensi Dara yang merupakan guru bahasa Inggris anaknya, ia menurunkan tangannya dengan canggung yang tersisa. Dara pun melepas tangannya perlahan. Matanya masih membulat sempurna, tidak menyangka masih saja ada orang tua yang tega meringankan tangannya pada buah hati mereka.

"Sudah bunda bilang jangan lari-lari, Kuki. Bandel banget sih, dibilangin! Terus, tadi ngomong apa? Siapa yang ngajarin, hah? Maaf ya, Miss. Buku Miss jadi basah."

Kuki memandang ibunya dengan mata yang seolah berkata 'selamatkanaku' Namun, satu tangannya masih sempat meraba, berusaha meraih choco mint dan gulali yang terlempar saat dia terjatuh tadi. Melihat itu, Bunda Kuki makin geram dan hendak menarik tangan anaknya memaksa bangun, kalau saja Dara tidak mengalihkan atensinya.

"Oh iya Bun, gak papa. Bun, boleh saya ngobrol sama Kuki?"

 

Tangan si ibu yang tadi terulur sekarang melakukan sedikit peregangan mencoba menutupi keinginannya beberapa detik yang lalu. Kemudian, mengangguk tanda setuju pada wanita berkulit langsat di hadapannya.

Bayangan tangan yang hendak dilayangkan pada makhluk kecil tidak berdosa di hadapannya ini terus berputar di kepala Dara. Sungguh dia tidak ingin kelak menjadi ibu yang serupa.


Dara kemudian merendahkan tubuhnya sejajar dengan anak manis bergigi kelinci ini. Dia menatap chocomint yang ia pungut di bawah kakinya sebelum memberikannya kepada Kuki. Dara menyayangkan minimnya edukasi yang Bunda Kuki miliki. Dari yang ia lihat, tentu, Bunda Kuki tidak mengetahui pengaruh makanan manis terhadap anaknya.

Berdasarkan yang Dara baca, asupan gula yang berlebih dapat memicu kenaikan gula darah. Sehingga, anak menjadi lebih hiperaktif, impulsif, dan mudah teralihkan. Ini yang dinamakan Sugarrush. Karena itu, melihat Kuki yang tidak diberi batasan konsumsi gula ini membangkang bukanlah hal yang mengherankan lagi.

"Thank you, Miss."

"You're welcome. Are you okay?Ada yang sakit ga, hm?"

"Yes, i'am okay." Dan menggeleng setelahnya sembari menunduk.

 

"Miss Dara.." Anak itu memberanikan diri menatap netra Dara, "Kuki salah ya?" Satu pertanyaan polosnya membuat Dara menatap Agus dan Bunda Kuki bergantian.

"Coba bilang sama Miss. Kenapa Kuki merasa bersalah?"

 

"Karena Kuki, buku Miss jadi basah." Ucap anak itu seraya menundukkan pandangannya kembali.

 

"Em, kalau tau Kuki salah, Kuki harus apa?" Dara kemudian memegang lengan anak itu mengusapnya lembut disana.

"Minta maaf. Maafin Kuki ya, Miss! Karena Kuki, buku Missjadi basah." Dara tersenyum melihat Kuki yang menatapnya dengan penuh salah.

"Goodjob!Tapi Miss mau tanya. Tadi, Kuki bilang apa pas nabrak miss?" "F*ck!" Kata itu kembali mengundang atensi orang sekitar.

Dara mengusap pelan bahu Kuki dengan ibu jarinya.

 

"Kuki dengar dimana kata itu, hm? " Orang di sekitar itu semakin tertarik dan diam-diam mendengarkan.

"Kuki denger di game. Pas, Kuki kalah, Miss. Jadi, kalau Kuki kesal Kuki bilang itu, deh." Dara tersenyum lalu melirik Agus dan Bunda Kuki bergantian.

Lihatkan? Dia hanyalah anak polos yang masih mensalin apa yang ia dengar dan apa yang ia lihat. Belum cukup besar untuk bisa tahu mana yang baik dan buruk dari segala yang ia tangkap. Jika bukan orang terdekat yang menjelaskan api itu panas, maka dia akan terbakar karena mencobanya. Itulah Kuki sekarang.


Semakin membuat Dara bertekad untuk menjadi ibu yang hebat kelak. Dia tidak mau hal yang serupa terjadi pada anaknya.

"Sayang, kata itu gaboleh diucapkan sama anak manis kayak Kuki. Itu kata kotor namanya. Kuki nggak pernah, kan, dengar Miss atau Bunda ngomon gitu?" Dara mencoba sebisa mungkin memberi paham pada Kuki.

Kuki menggeleng, membuat pipi berisi itu ikut terayun bersamanya dengan bibir yang ia kerucutkan. Lucu, Dara sangat ingin menyentuh pipi kenyal itu tapi tangannya pasti kotor. Walau tidak terlihat karena memungut chocomint Kuki tadi. Ia hanya bisa tersenyum menahan gemas pada anak di depannya ini.

"Janji sama Miss nggak ngomong kata kotor lagi?"

 

Dara menyodorkan jari kelingking pada anak itu yang disambut dengan jari mungil miliknya bersamaan senyum kelinci khasnya.

"Em, janji." Dara memeluk Kuki dan melakukan highfive. "Smartboy! Abis ini, Kuki cuci tangan dulu, ya." Kuki mengangguk.

Dara kemudian bangun dan menatap Bunda Kuki yang tengah menatap anaknya.

 

"Saya terlalu sibuk dan membebaskan Kuki dengan iPadnya, saya bahkan tidak tahu itu dapat menjadi dampak buruk bagi Kuki dan tempramen saya tidak pantas disebut sebagai seorang ibu" Bunda Kuki beralih menatap Dara. Airmata nya mengalir seketika. Ia meraih tangan Dara.

"Terima kasih ya, Miss.Di usia yang sangat muda, Miss memberi banyak pelajaran bagi saya," ucapnya. Satu tangan ia lepaskan untuk menghapus jejak air mata. Namun, Agus memberi tisu yang selalu ia bawa.

"Masnya pasti bangga punya Miss, ya?"

 

Tangisan yang berubah dengan senyuman. Dara tidak berani menatap Agus.

 

"Sangat. Sangat bangga." Ucap Agus menatap Dara. Bunda kuki tersenyum melihat netra Agus yang tidak berpindah sama sekali pada sosok mengagumkan di hadapan nya ini.

"Saya sama Kuki pamit ke meja dulu ya, Miss, Mas. Kuki, yuk!"

 

"Bye, Miss!" Kuki melambaikan tangan mungilnya yang dibalas oleh Dara.


Agus berdehem, menyadarkan Dara yang tengah melihat punggung Kuki dan bundanya pergi.

 

"Mas ganti matcha kamu dulu ya." Dara membalikkan badannya dan menjawab Agus, "Oh? i-iya, Mas. Makasih ya." Agus tersenyum, menyadari Daranya gugup dan berlalu dengan cangkir matcha-nya.


 

Dara memegang jantungnya, kembali merasakan dentuman bertubi-tubi yang membuatnya kewalahan mengatur napasnya. Agus! Tidak bisakah ia sedikit berbohong atau lebih baik diam daripada mengeluarkan kalimat yang membuat Dara terbang sampai ke awan. Ah, dia harus bisa mengontrol senyumnya sebelum Agus datang.

 

Agus kembali dengan cangkir putih dengan matcha yang terlihat mengepul asapnya. "Oh iya mas, matcha yang tadi jadinya gimana? Kan,kamu ga suka matcha? "

"Mas, nggak suka teh hijaunya, bukan matcha" Senyum tipis yang sedari tadi terpatri berganti dengan senyum gusi yang menawan hati kala menyadari Daranya tengah gugup, lagi.

Tidak hanya sampai situ, Agus mengeluarkan telpon genggamnya dan menekan satu kontak  di sana.

"Assalamu'alaikum, Mah! Pilihanku memang tidak salah. Aku bersedia menunggu anak Mamah lulus S2-nya."

Dara membelalakkan matanya mengetahui siapa yang Agus hubungi. Ia merasakan panas di pipinya entah karena dingin atau efek dari yang Agus katakan barusan.

"Sebentar, Mah. Pipi anak Mamah merah. Sepertinya kedinginan. Agus izin pasangin jas Agus ya, Mah!" Ibu Dara hanya tertawa mendengarkan pasangan yang tengah kasmaran itu.

"Okay, berarti bulan puasa ini gapapaya masih sendiri? Hahaha, Mamah tutup ya, anak Mamah di jagain! "

"Siap, Mah." Agus menutup telponnya dan buru-buru melepas jasnya untuk dipasangkan pada Dara yang tengah menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Malu. Dia malu sekali. Kupu-kupu di dalam tubuhnya tidak henti menggelitiknya dan membuat dia tidak bisa menghentikan senyumannya. Bisakah seseorang memberinya helm? Agus tidak pernah semanis ini sebelumnya.


Supported by:


Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "Bukan Perihal Isi Tudung Saji"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel