Oleh: Pajarudin


 

Nama Imam al-Ghazali adalah sederet nama ulama yang tidak asing lagi di telinga, baik di kalangan masyarakat awam maupun para ulama. Beliau merupakan tokoh sentral dalam tubuh ahlussunnah waljamaah yang memiliki karya fenomenal.


Tradisi ilmu yang beliau bangun dan persembahkan telah mengubah wajah peradaban Islam pada masa itu. Bahkan, berkat keikhlasan dan ketulusannya, kebermanfaatan ilmu Imam al-Ghazali masih dirasakan hingga dewasa ini, lewat puluhan kitabnya yang masih dipelajari dan dikaji di berbagai tempat seluruh penjuru dunia. Kiranya, agak sulit mencari sosok ulama yang semisal dengan beliau. Maka tidak mengherankan bila al-Imam al-Hafidz Ibnu Asakir menyebut beliau sebagai Mujaddid abad ke 5 H.


Dikenal sebagai seorang filsuf dan teolog muslim. Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi as-Syafi’I atau dikenal sebagai Algazel di dunia barat abad pertengahan. Ia memiliki kejeniusan dan kepakarannya dalam ilmu fikih, ushul fikih, tasawuf, ushuluddin, dan mantiq. Beliau adalah tokoh termuka dalam kancah filsafat.



al-Ghazali lahir di kota Thus, Iran pada tahun 1058 M/550 H. Ia berkuniah Abu Hamid karena salah satu anaknya bernama Hamid, serta ada dua riwayat yang menyebutkan penisbatan beliau dengan al-Ghazali. Pertama, disebabkan karena ayah beliau seorang pemintal bulu kambing (penenun kain wol). Pemintal dalam istilah Mu’jamu al-Arab disebut Ghazala. Ibnu Imad menjelaskan ini dalam kitabnya Syadzaratu al-Dzahab fi Akhbari Man Dzahab, juz 6 halaman 19.


Riwayat kedua menghubungkan nisbah al-Ghazali dengan tempat beliau dilahirkan yaitu Ghazalah, sebuah kota yang menjadi bandar dari kota Thus, yang berada di wilayah Khurasan, Persia (Iran).  Dan gelar asy-Syafi’i menunjukkan bahwa ia bermazhab Syafi’i. al-Ghazali berasal dari keluarga kurang mampu, namun sang ayah mempunyai cita-cita tinggi, yaitu ingin anaknya menjadi seorang yang alim dan saleh.


Di sisi lain, Ia diberi gelar Hujjatul Islam karena mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah, serta ia punya jasa amat besar dalam memberikan argumen dengan dalil akal maupun naql. Dua dalil tersebut berjalin relasi dengan rapi dan saling menguatkan, diibaratkan seperti simpul-simpul temali yang terikat dengan benar. Argumennya dapat mengalahkan sekian argumen banyak kalangan, termasuk argumen para filsuf sekuler. Dan ia juga sangat dihormati di dua dunia Islam, yaitu Bangsa Saljuk Turki beraliran Ahlussunah, serta Bangsa  Abbasiyyah yang merupakan pusat kebesaran Islam pada masanya.


Al-Imam al-Hafid Abdul al-Ghafir al-Farisi (451-529 H/1059-1135 H) salah satu kawan Imam al-Ghazali, serta cucu dari Imam al-Qusyairi pengarang Kitab Risalah al-Qusyairiyah memberikan pujian kepada Imam al-Ghazali atas kejeniusannya, “Abu Hamid al-Ghazali adalah Hujjatul Islam dan kaum muslimin, serta seorang pemimpin agama. Belum ada yang menyamainya dalam hal kefasihan, pemahaman, pemikiran, kecerdasan, dan ahlak perangainya.” Serasa tak ingin ketinggalan, al-Imam an-Nawawi pun ikut memuji beliau dengan berucap, “Abu Hamid al-Ghazali adalah seorang imam yang faqih, ahli kalam yang cerdas dan seorang penulis yang sufi.”


Rekam Jejak Keilmuan

Perjalanan intelektualnya dimulai dari wasiat sang ayah tatkala menjelang wafat, al-Ghazali kecil beserta saudara kandungnya bernama Ahmad, mereka diasuh dan dididik oleh seorang teman ayahnya dari kalangan sufi yang salih untuk belajar ilmu khat. Kemudian beliau kembali ke Thus untuk melanjutkan studi di Madrasah. Sekolah di Thus memprioritaskan ilmu-ilmu keagamaan pada jenjang pendidikan dasar.


Setelah menuntaskan seluruh jenjang Pendidikan di Thus, al-Ghazali melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Madrasah Jurjan dipimpin oleh Imam Abu Nashr al- Isma’ili. Kota Jurjan berjarak kurang lebih 250 mil dari Thus. al-Ghazalin pun harus berangkat bersama dengan kafilah para pedagang agar aman dari gangguan para perampok. Terkadang tidurnya di tempat terbuka dan hanya di serambi masjid. Perjalanan berat ini terus ia lalui hingga akhirnya sampai di kota Jurjan, tempat idaman untuk menuntut ilmu. Butuh dedikasi yang besar bagi penuntut ilmu serta pengetahuan pada masa itu.


Dari kota Jurja, pengembaraan ilmiah al-Ghazali berlanjut ke kota Naisabur, ibu kota Khurasan, terletak di bagian timur laut Iran. Naisabur dikenal dengan kota kelahiran para ulama besar, diantaranya; Imam Muslim (204-261 H/281-875 M), kemudian ada Ibnu Khuzaimah (223-311 H/838-924 M), al-Hafidz al-Hakim 321-405 H/933-1014 M), Imam al-Baihaqi 384-458 H/994-1066 M), Imam al-Qusyairi (376-465 H/986-1073 M), Abu Utsman as-Shabuni (373-449 H/983-1057 M) merupakan seorang Imam Ahlussunah pada abad ke-5 H, dan Imam al-Juwaini (419-478 H) yang mendapat julukan Imamul Haramain, karena beliau pernah menuntut ilmu dan mengajar selama empat tahun di dua Tanah Haram, Madinah dan Mekah), dari Imam al-Juwaini lah al-Ghazali mendapat pengajaran secara langsung di madrasahnya.




Di madrasah yang dipimpin oleh Imam al-Haramain sendiridimana murid-muridnya belajar tanpa dipungut biaya Imam al-Ghazali menghabiskan waktu selama 8 tahun (1077-1085 M) untuk belajar ilmu fikih mazhab Syafi’i, fikih khilaf , filsafat, logika (mantiq) dan ilmu-ilmu alam. Di madrasah ini beliau terkenal sebagai penghafal seluruh kitab yang telah dipelajarinya, sehingga teman-temannya selalu menjadikan beliau sebagai rujukan, di luar referensi dan buku rujukan lainnya.


Setiap orang yang ke Madrasah Naisabur langsung mendengar kepopuleran al-Ghazali, terkhusus Imam al-Juwauni sendiri selalu menyinggung kelebihan muridnya dalam setiap kesempatan dengan berkata, “Sungguh, ia lautan yang sangat dalam.” Demikian al-Juwaini menyifati kedalaman ilmu al-Ghazali. Namun kekaguman sang guru kepada muridnya ini tidak berlangsung lama, karena ketika Imam al-Ghazali beralih dari fase belajar ke fase berkarya dengan menulis kitab al-Mankhul ; ia pun mengajukan karya pertamanya kepada sang guru, Imam al-Juwaini mencermatinya, lantas berkomentar dengan nada gusar,

“Kau menguburku padahal aku masih hidup. Tidaklah engkau bersabar sampai aku meninggal? Sungguh, kitabmu ini membenamkan kitabku.”


Sejak itu, Imam al-Ghazali merasa harus meninggalkan kota Naisabur, saat kedengkian muncul, sirnalah segala pengetahuan. Ia pun memutuskan berangkat ke Bagdad pada usia 27 tahun, kota yang sangat masyhur baginya. Ketika itu, Bagdad menjadi pusat keilmuan dan seni serta tempat bagi para cendikiawan dan sastrawan berkumpul, mereka bebas berkarya dan menulis dibawah perlindungan Nizham al-Mulk, seorang Perdana Menteri kesultanan Saljuk saat itu. Dikenal sebagai pemimpin yang proaktif yang tak tanggung-tanggung dalam memberi dukungan materi terhadap para ilmuan agama dan para sastrawan. Terlebih, ia juga mendirikan Madrasah an-Nizhamiyah, sesuai dengan namanya. Salah satu cabang dari madrasah tersebut lah tempat Imam al-Ghazali belajar.


Imam al-Ghazali menghabiskan enam tahun untuk belajar di Bagdad, pada tahun ke tujuh di usia 33 tahun, beliau diangkat sebagai guru ilmu-ilmu agama di Universitas an-Nizhamiyah. Genap empat tahun al-Ghazali menjalankan amanah, dikarenakan beliau memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, maka ia sangat menonjol dan berpengaruh di antara para guru yang pernah belajar bersamanya di Universitas an-Nizhamiyah.



Pelajaran pertama yang didalami oleh Imam al-Ghazali di Bagdad yaitu, wajib tidak ada pemisah antara teori dan praktik, sedangkan pengalaman dan fakta di lapangan, ia menemukan ketidaksesuaian antara pemikiran para ulama dari berbagai aliran dan kajian dengan perilaku mereka. Kegelisahan jiwa mulai mengguncang diri seorang ulama besar ini sehingga kesehatan sang Imam terganggu. Pergaulan dengan para ulama di Bagdad justru membuat hatinya sempit. Keadaan tersebut memaksa Imam al-Ghazali untuk melakukan pengasingan (uzlah), perenungan dan kajian mendalam. Dari situ lah beliau memutuskan untuk berkelana ke Damaskus sekitar tahun 489 H.


Di Damaskus, Imam al-Ghazali tinggal di sebuah ruangan di Menara Masjid al-Umawi. Dalam kitabnya, al-Munqidz min al-Dhalal, beliau menceritakan aktivitasnya di sebuah pondok di Damaskus, “Aku berada di Menara masjid sepanjang siang. Aku tutup pintu Menara rapat-rapat seorang diri.” Dua tahun kemudian, kerinduan berpetualangan kembali mengusiknya. Lantas, Imam al-Ghazali mengembara ke Baitul Maqdis, kota Yerusalem. Di kota ini, berlokasi di kompleks Masjid al-Aqsha, sebuah ruangan di bawah rumah, beliau menulis karya fenomenal dan monumental yaitu, Kitab Ihya’ Ulumuddin. Kitab ini menjadi sumbangsih berharga bagi dunia Islam hingga saat ini.


Kemudian, Imam al-Ghazali melanjutkan perjalan ke Mekah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji, lalu kembali ke Thus. Selama 10 tahun, ia mencari ketengan batin, menjelajahi kota Damaskus, Yerusalem, serta Mekah hingga Madinah. Tak lama, Putra Nizham al-Mulk meminta agar Imam al-Ghazali menerima tawaran menjadi guru besar di an-Nizhamiayh. Beliau pun menerima jabatan ini di bawah tekanan yang sangat kuat.




Pada tahun 499 H, Imam al-Ghazali mendapat permintaan dari para mahasiswanya di Universitas an-Nizhamiyah agar menulis sebuah kitab pegangan tentang metode penggalian hukum Islam. Berbekal perintah inilah, lalu dijawab oleh sang Imam dengan menghadirkan kitab al-Mustashfa Fi ‘Ilmi al-Ushul. Jika menilik dari tahun akhir kepenulisan, maka kurang lebih al-Mustashfa adalah kitab akhir dari karya beliau. Kitabnya ditulis dalam kondisi alam pemikiran yang sudah benar-benar matang. (Louay Safi, The Foundation Of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, Selangor: IIUM dan IIIR, 1996, hal: 8-9).


Kitab al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali ini menjadi bukti bahwa kualitas dan kapabilitas sang pengarang di bidang fiqih. Di bagian akhir kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa kitab tersebut selesai ditulis pada tahun 503 H. Berbekal informasi ini dan bersandarkan pada publikasi ilmiah bahwa kitab tersebut ditulis selama tiga tahun, maka dapat disimpulkan bahwa beliau memulai proyek risetnya ini kurang lebih pada tahun 499 H.


Sejarah pemikiran Islam belum pernah menorehkan seorang penulis sealim Imam al-Ghazali, karya tulisnya dari informasi yang valid mencapai 69 kitab dengan sempurna. Meskipun, jumlah kitab-kitab yang dinisbahkan kepada beliauyang belum tervaliditasimencapai 457 judul kitab. Sebagian karya-karya beliau diantaranya:

1.     Fiqih (al-Wasiht, al-Basiht, al-Wajiz, al-Khulashoh)

2.     Ushul Fiqh (al-Mankhul, al-Mustashfa, Syifa al-Alil)

3.     Ushuluddin (Qawaidul Aqaid, al-Munqidz Minadh Dhalal, al-Iqtishad Fi al-I’tiqad, Iljamul Awam ‘an Ilmil Kalam)

4.     Filsafat (Maqashidul Falasifah, Tahafutul Falasifah)

5.     Tafsir (Yaqut at-Takwil)

6.     Akhlak (Ayyuhal Walad, Bidayatul Hidayah, Kimya’ as-Sa’ada)

7.     Tasawuf (Ihya’ Ulumuddin, Minhajul Abidin)


Setelah mengakhiri pengabdian di Madrasah an-Nizhamiyah, sang imam pulang ke kampung Thus, dan mendirikan semacam pesantren untuk meneruskan khidmah mengajar hingga akhir hayat. Pada detik-detik kewafatannya, sebuah peristiwa indah terjadi. Abul Faraj ibn al-Jawzi dalam kitab Ats-Tsabat ‘indal Mamat memaparkan cerita dari Imam Ahmad, saudara kandung Imam al-Ghazali.



Pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/19 Desember 1111, saat terbit fajar, Imam al-Ghazali mengambil wudhu lalu menunaikan salat subuh, setelah salat Imam Ghazali berkata, “Saya harus memakai kain kafan.” Lalu ia mengambil, mencium, dan meletakkan kain kafan tersebut di kedua matanya. Selanjutnya, Imam al-Ghazali berucap, “Saya bersedia untuk kembali kehadirat-Mu dengan penuh ketaatan dan kepatuhan.” Ia pun meluruskan kedua kakinya, menghadap arah kiblat, lalu kembali kepada Sang Kekasih (Allah SWT) untuk selama-lamanya.



Referensi:

1.     Buku Biografi Imam al-Ghazali Lebih Mengenal Sang Hujjatul Islam, karya Dr. Izzudin Ismail

2.     Buku Hujjatul Islam IMAM AL-GHAZALI, karya Wildan Jauhari Lc., MA

3.     https://www.wikipedia.org

4.     https://nu.or.id

5.     https://m.republika.co.id

6.     https://www.kompas.com

 


Supported by:


 

 

 

 

 

Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "Sekilas Tentang Sang Hujjatul Islam"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel