Al-Azhar asy-Syarif
setiap bulannya mengeluarkan majalah edisi terbaru. Di dalamnya diisi dengan pembahasan menarik yang sedang populer di kalangan masyarakat. Pada bulan Februari ini, Al-Azhar Asy-Syarif
mengeluarkan edisi yang membahas Interelasi dan Korelasi antara Ilmu Bahasa Arab
dengan Ilmu Keislaman. Pembahasan ini juga membawa sebuah permasalahan
apakah ilmu bahasa arab itu mempunyai hubungan erat dengan ilmu keislaman, atau
bahkan, keduanya tidak mempunyai hubungan sama saekali. Oleh
karena itu, kami akan memaparkan secara general pembahasan tersebut.
Pembahasan ini muncul untuk
menyempurnakan apa yang masih asing dipermasalahan dan
artikel-artikel lalu, terkhusus yang membahas tentang diskursus tersebut. Pun, ini menjadi urgensitas bagi kita selaku mahasiswa al-Azhar. Karena, di setiap pembelajaran seperti di kampus
dan talaki bersama masyaikh bahasa Arab terbilang sering digunakan. Maka dari itu, seorang talib Al-Azhar wajib mengetahui
ilmu bahasa arab beserta kaidahnya, interelasi, dan korelasinya terhadap
ilmu-ilmu lain.
Bagi mereka yang menyibukkan
dirinya untuk mendalami ilmu kalam, sangat signifikan sekali untuk memahami kaidah-kaidah bahasa Arab. Seperti yang terjadi sekarang ini,
sebagian manusia, sedikit banyaknya menyimpang di dalam
permasalahan keyakinan. Tersebab ketidaktahuan mereka di dalam memahami bahasa Arab.
Seperti yang dikatakan oleh Imam az-Zuhri, ”Kebanyakan manusia salah di dalam
menafsirkan al-Qur’an tersebab ketidaktahuannya mereka dalam bahasa Arab. Maka
dari itu, keselamatan akidah tidak terlepas dari pemahaman bahasa Arab yang
benar”. Abu Ubaidah berkata: ”Saya mendengar Abu Ayyub
as-Sakhtiyani berkata: ‘Kebanyakan orang yang sesat di daerqah Iraq itu karena
minimnya mereka dalam pemahaman bahasa Arab.’”
Ahli kalam berpendapat bahwa pemahaman dalam bahasa Arab merupakan syarat berpandangan sesorang di dalam permasalahan agama. Tanpa pemahaman itu, maka tidak sempurna—seperti yang diutarakan Imam Juwaini. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang lebih jauh dari itu. Menurut mereka, mempelajari bahasa Arab dengan ilmunya merupakan suatu hal yang wajib dari yang wajib—seperti yang diutarakan Imam Razi. Al-qur’an mengajak kita untuk merenung dan berfikir di setiap permasalahan. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memahami bahasa arab beserta kaidahnya. Allah SWT berfirman:
( أفلا يتدبرون
القران ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا ), ]النساء : 82 [.
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
berkata: “Jikalau al-Qur’an bukan dari bahasa arab, maka tidak mungkin kita
bisa merenungkannya dan tidak bisa mengetahui maknanya ketika kita mendengarnya.
Allah SWT juga berfirman:
( إنّأ جعلناه قرءانا عربيا لعلكم تعقلون ), ]
الزخروف : 3 [.
“Kami
menjadikan Alquran itu bahasa Arab agar kalian berakal.”
Banyak sekali kita temukan
istilah-istilah nahu, saraf, maupun balagah yang terdapat di setiap pembahasan akidah dan
permasalahan ilmu kalam. Ibnu Jinni memberikan sebuah isyarat bahwa praktek ushul nahu bergantung pada ilmu
kalam dan ilmu fikih. Beliau pun berbicara lebih jauh tentang ‘illah
kaidah bahasa arab; apakah ‘illah-nya itu dari ilmu kalam atau dari
ilmu fiqh? Maka Ibnu Jinni mengatakan bahwasannya ‘illah kaidah nahu itu
lebih dekat dengan ‘illah-illah ahli kalam daripada ‘illat orang
fakih. Seperti contohnya, di dalam nahwu, i’rab itu menggunakan kaidah yang
mirip dengan kaidah filsafat seperti taqdim al-amil ala al-ma’mul sama
halnya dengan teori falsafah taqdim al-‘ilal ala al-ma’mul. Oleh karena
itu, setiap teori ilmu nahu sangat erat kaitannya dengan ilmu filsafat.
Sebagian ulama ilmu kalam
menggunakan ilmu-ilmu dari bahasa arab. Itu pun menjadi penyumbang terbesar di dalam kaitannya antara
ilmu kalam dengan ilmu bahasa arab dalam penggunaan istilah. Seperti contohnya,
Ibnu Muqaffa, teman dari pada Khalil bin Ahmad, ia mempermudah orang arab untuk
meneliti dan memahami pengetahuan-pengetahuan dari Yunani. Ia menerjemahkan mantiknya Aristoteles ke dalam bahasa arab.
Hal ini, merupakan sumbangsih terbesar pengaruh ilmu kalam dengan ilmu bahasa
arab. Juga diceritakan bahwa Imam Farra’, beliau selain ahli bahasa, juga
sebagai ahli kalam yang mana beliau lebih condong kepada muktazilah. Beliau
juga berfilsafat atau memakai bahasa/istilah filsafat di dalam karangan beliau.
Dari sini, dapat kita
ketahui bahwa interelasi dan korelasi antara keduanya merupakan
hubungan yang jelas. Bahwa ilmu kalam merupakan salah satu hal yang penting
dari ilmu keislaman. Disamping itu, ilmu kalam juga memberikan efek yang jelas
kepada ilmu lainnya. Dapat kita lihat dari pokok pembicaraan yang terkadang
membahas keimanan yang merupakan pondasi hukum syariat dan ilmu agama. Begitu
pula, banyak para ulama yang menggunakan istilah-istilah yang berbeda di dalam
suatu permasalahan. Hal ini merupakan suatu yang wajar tersebab berbedanya madrasah dan metode belajar mereka.
Para ulama nahu mempunyai
latar belakang pemikiran dan metode sendiri di dalam pendalaman
ilmu kalam. Mereka menghubungkan pemikirannya di dalam
pembahasan ilmu kalam. Mereka melakukan hal tersebut untuk meleburkan antara
ilmu bahasa dengan ilmu kalam, memberikan efek sempurna antara keduanya, dan
menjadikan hubungan ini menjadi hubungan yang jelas di dalam memberikan
penjelasan pembahasan kalam.
Semisal,
ketika ulama kalam membahas pembahasan sifat qudrah. Yaitu
merupakan sifat yang melekat pada zat-Nya Allah SWT. Yang mana, dengan sifat qudroh itu, menyebabkan akibat adanya
makhluk dan tiadanya makhluk. Adanya manusia yaitu merupakan hasil adanya sifat
qudrah-Nya Allah SWT. Tiadanya manusia juga merupakan akibat dari qudrah-Nya Allah SWT.
Adapun sifat iradah, yaitu sifat khusus terhadap sebagian yang dibolehkan untuk makhluk-Nya. Jadi, sifat iradah Allah SWT ada kaitannya
dengan makhluk. Atas dasar ini, sifat qudrah merupakan sifat yang memberikan
efek dan tidak ada kaitannya dengan makhluk. Adapun sifat iradah, merupakan
sifat yang khusus yang berkaitan dengan makhluk. Sangat erat kaitannya diantara
dua sifat tersebut.
Begitu juga, erat
kaitannya di dalam pembahasan masalah makhluk yang dapat melihat Allah SWT
ketika di akhirat. Ada sebagian kelompok yang berpendapat bahwa pendapatnya itu
mendahulukan kaidah bahasa sebagai dalil pendapat mereka. Salah satunya, Imam Zamakhsyari. Beliau ini
mendahulukan kaidah bahasa di dalam menjelaskan permasalahan agama yang sesuai
dengan mazhab muktazilah. Maka, kita melihat bahwa Imam Zamakhsyari menafsirkan
dalil-dalil lafaz dan susunan bahasa, itu semua sesuai keyakiannya. Seperti contohnya
kalimat lan (tidak akan) di dalam [الأعراف: 143] (قال لن تراني), menunjukan suatu peniadaan pasti yang tidak akan terjadi pada
makhluk Allah SWT. Mereka menggunakan dalil ini berdasarkan pendapat mereka
bahwa manusia tidak akan melihat Allah SWT.
Ahlussunnah membantah hal
tersebut dengan menjelaskan bahwa itu berbeda dengan pembahasan bahasa arab. Huruf
lan tersebut di kalangan orang arab menunjukan suatu hal yang tidak akan
terjadi. Akan tetapi, itu bukan untuk selamanya dan hanya untuk sementara.
Dari semua ini, sudah
jelas bagi kita betapa pentingnya ilmu bahasa arab terhadap ilmu kalam di dalam
sebuah permasalahan. Terutama pada permasalahan akidah dalam membangun pondasi
keyakinan. Begitu juga, bahasa merupakan salah satu implemen untuk kelangsungan
hidup seseorang. Maka dari itu, interelasi dan korelasi antara keduanya sangat
jelas dan erat kaitannya. Karena keduanya, tidak mungkin cukup satu. Seperti
suatu hal tanpa suatu yang lain ada kalanya tidak mungkin. Wallahu a’lam
Tulisan ini merupakan kutipan dari majalah al-Azhar edisi bulan Februari
Supported by:
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk " Interelasi dan Korelasi antara Ilmu Bahasa Arab dan Ilmu Keislaman"
Posting Komentar