Oleh: Pajarudin
Kunjungan
Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Muhammad At-Thayyib ke Indonesia memiliki
kesan sekaligus kebanggaan bagi para pelajar Indonesia yang pernah menimba ilmu
di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Mengingat hubungan Indonesia dengan Mesir
sudah terjalin sejak abad ke 19 M. Namun, tahukah anda, siapa generasi pertama
pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas yang berdiri tahun 970-972
Masehi ini?
Dalam
buku yang berjudul “Jauh di Mata Dekat di Hati”, sebuah buku yang
menggambarkan hubungan antara negara Indonesia dengan Mesir terbitan KBRI
Kairo, disebutkan bahwa pada tahun 1850 M di komplek Masjid Al-Azhar dijumpai
komunitas orang Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Ruwak Jawi (hunian
bagi orang Indonesia). Selain Ruwak Jawi, di masjid ini juga terdapat tiga Ruwak
lain, yakni Ruwak Atrak (Turki), Ruwak Syami (Suriah) dan Ruwak Maghorobah
(Maroko). Salah satu pelajar pertama dari Indonesia yang tinggal di Mesir dan
tercatat di buku terbitan tahun 2010 tersebut adalah KH. Abdul Manan
Dipomenggolo Tremas. Beliau tinggal di Mesir sekitar tahun 1850 M.
Masa Intelektual
Tidak
diketahui pasti tanggal, bulan, serta tahun berapa Raden Bagus Darso
dilahirkan, namun diperkirakan beliau dilahirkan sekitar tahun 1800-an,
minimnya data tentang beliau dilahirkan membuat ibunda Raden Bagus Darso tidak
diketahui pasti siapa namanya. Sedangkan nama ayah beliau adalah R. Ngabehi
Dipomenggolo seorang Demang (kepala daerah) di daerah Semanten pinggiran kota
Pacitan. KH. Abdul Manan pada masa
kecilnya bernama Raden Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas
dan sangat tertarik terhadap problematika religius. Pada masa remaja, beliau dibawa
oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam
pengetahuan agama Islam, di bawah bimbingan Kiai Hasan Besari.
Selama
di sana, Raden Bagus Darso selalu belajar rajin dan tekun. Karena ketekunan,
kerajinan dan kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah yang menjadikan
Bagus Darso menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan
sebayanya. Bagus Darso kemudian berganti nama menjadi Abdul Manan merupakan
pemberian langsung dari KH. Hasan Besari sebagai wujud cinta serta perhatian
beliau kepada santrinya tersebut.
Perhatian
yang diberikan oleh KH. Hasan Besari kepada Raden Bagus Darso bermula pada
suatu malam, waktu itu para santri sedang tertidur pulas. Seperti biasa KH.
Hasan Besari keluar untuk menjenguk anak didiknya yang sedang tidur di asrama
maupun di serambi masjid. Ketika beliau sedang memeriksa para santri yang tidur
di serambi masjid, secara tidak langsung pandangan beliau tertuju kepada
pemandang berupa cahaya yang bersinar. Kemudian dengan hati-hati, agar para
santri tidak terbangun, Kiai mendekati cahaya itu. Makin dekat dengan cahaya
tersebut membuat Kiai keheranan, karena cahaya itu menunjukkan tanda-tanda yang
aneh. Dan apa yang disaksikan Sang Kiai adalah suatu pemandangan yang sangat
luar biasa, karena cahaya tersebut keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya.
Beliau
pun memeriksa santri yang mendapat anugerah tersebut. Tetapi bayangan malam dan
pandangan mata yang agak gelap menyebabkan usaha beliau gagal. Namun KH. Hasan
Besari tidak kehilangan akal, dengan hati-hati beliau ikat diujung rambut santri
itu untuk mengetahuinya ketika pagi hari datang. Esoknya setelah solat subuh,
para santri yang tidur di serambi masjid menghadap beliau, setelah para santri
berkumpul dihadapan beliau, KH. Hasan Besari pun memandangi santrinya mereka
satu persatu dengan tak lupa memperhatikan ikatan rambut masing-masing. Dari
sinilah beliau mengetahui bahwa cahaya yang bersinar semalam dari
ubun-ubun itu berasal dari salah satu
santri muda pantai selatan (Pacitan) yang tidak lain adalah Raden Bagus Darso.
Sejak
itu perhatian KH. Hasan dalam mendidik Bagus Darso semakin bertambah, karena
beliau merasa mendapat amanat untu mendidik seorang anak yang kelak akan
menjadi pemuka dan dan pemimpin umat. Setelah lama mengembara ilmu agama pada
KH. Hasan Besari, Raden Bagus Darso kemudian pulang ke tanah kelahirannya di Semanten,
kemudian beliau mendirikan pesantren di sana pada tahun 1830. Sejak saat itu,
Raden Bagus Darso dikenal dengan nama KH. Abdul Manan Dipomenggolo. Pada
awalnya pondok didirikan di desa Semanten tersebut merupakan pesantren yang
kecil yang santrinya hanya berasal dari lingkungan Desa Semanten dan Pacitan.
Berkat kerja keras, do’a, kealiman serta keikhlasan beliau, maka lambat laun
jumlah santri pondok tersebut meningkat pesat.
Usaha
beliau yang pertama kali lakukan untuk membangun tempat pengajian sudah menjadi
sebuah masjid, setelah santri-santri dari jauh yang sebagian berasal dari
santri-santrinya di Semanten mulai berdatangan, maka dibangunlah sebuah asrama
di sebelah selatan masjid. Kala itu, keadaan masjid dan asrama pondok tersebut
masih sangat sederhana, atapnya masih menggunakan daun ilalang dan kerangka
bangunannya masih banyak menggunakan bahan dari bambu.
Tak lama
setelah itu, KH. Abdul Manan menikah dengan putri Demang Tremas yang bernama
Raden Ngabehi Honggowijoyo. Namun tak ada catatan, siapa nama istri dari KH.
Abdul Manan tersebut. Setelah menikah, beliau diberi sebidang tanah oleh
mertuanya untuk dijadikan sebagai tempat menyebarkan ilmunya, dan hingga saat
ini dikenal dengan nama Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan.
KH.
Abdul Manan, Generasi Pertama Orang Indonesia di al-Azhar Mesir
Setelah
beliau mendirikan pesantren, kemudian beliau menlanjutkan belajar ilmu agamanya
di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, setelah menunaikan ibadah haji bersama
istri beliau. KH. Abdul Manan tinggal di Mesir sekitar tahun 1850 M, selama di
Mesir beliau berguru dengan Grand Syekh Ibrahim al-Bajuri, yaitu Grand Syekh
ke-19. Jadi sangat wajar kalau di tahun 1860-an di Indonesia sudah ditemukan
Kitab Fath al-Mubin, syarah dari kitab Ummul Barahin yang
merupakan kitab karangan Grand Syekh Ibrahim al-Bajuri mulai dibaca di beberapa
pesantren Indonesia. (keterangan ini diambil pada buku karangan Martin Van
Bruinessen, seorang orientaslis yang lahir di Schoonhoven, Utrecht, Belanda).
Nama KH. Abdul Manan Dipomenggolo tecatat di buku tersebut dan merupakan
dokumen resmi milik Negara Indonesia dan Mesir.
Guru-guru
Beliau
KH.
Abdul Manan mulai meniti ilmu sejak kecil. Di antara guru-guru beliau adalah:
Raden Ngabehi Dipomenggolo, KH. Hasan Besari, dan Grand Syekh Ibrahim
al-Bajuri.
Jasa
Beliau
Sejarah
mencatat, KH. Abdul Manan Dipomenggolo merupakan salah satu ulama yang menjadi
pionir terbentuknya jaringan ulama nusantara, karena dari beliaulah lahir
beberapa generasi yang membanggakan dan mempunyai reputasi yang sangat baik
dalam dunia Islam. Salah satu putranya adalah Kiai Abdullah, yang memiliki
keturunan bernama Syekh Mahfudz Attarmasi yang kelak mencetuskan para ulama,
diantaranya KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri.
Kelak ketiganya dikenal sebagai pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari tahun 1926.
Supported by:
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Siapakah Generasi Pertama Orang Indonesia yang Belajar di Al-Azhar?"
Posting Komentar