Silir-semilir
angin membawa daun menari di atas udara. Terlihat langit redup masih menahan
tangisnya.
"Ternyata
inilah sebab mata sayu mereka" Gumam gadis bertudung hijau sage yang
merupakan guru les bahasa Inggris di tempat ini.
Kelas
telah usai, dan kini ia berada di depan lobi. Ia menjulurkan tangan hendak
merasakan apakah langit telah menumpahkan segala kegundahannya seperti dia
sekarang. Ia menunduk. Beruntung masker yang ia pakai bisa sedikit menutupi
kenyataan bahwa ada beberapa buliran yang jatuh dari netranya.
Dari
dulu dia memang payah untuk menahan tangisan. Ia bahkan pernah menangis karena
tidak sengaja memakan merpati yang kerap membuang kotoran di loteng kaca tempat
kamarnya berada. Ia pikir, yang dimasak oleh ibunya sebagai cemilan hanyalah
ayam yang berukuran lebih kecil dari biasanya. Sama sekali tidak menyangka
sekejam itu ibunya pada burung yang amat Dara suka.
Kini,
Dara menangisi kelas baru yang ia ajar tak seceria kelas lamanya. Beberapa bahkan
ada yang tidak segan untuk menutup mata.
Padahal
tanpa anak-anak didiknya tahu, ia menjalani hari yang
berat hari ini. Karena telat kuliah tadi pagi, dosen menyuruhnya untuk berdiri
sampai mata kuliah selesai ditambah lagi dengan hukuman mengoreksi ujian akhir
semester juniornya yang harus ia bawa pulang dan dikumpulkan besok pagi.
Bukan
tanpa alasan ia melewatkan setengah pembahasan mata kuliahnya. Yaa.., itu
semata-mata karena terjaga sepanjang malam demi menyiapkan materi yang akan ia
sampaikan. Setelah melihat balasan dari segala upaya yang telah ia lalui, itu
membuatnya tidak kuasa lagi menahan sesak di hati. Tidak bisakah mereka sedikit
menghargainya? Ah, mengajar anak di umur pubertas memang harus memiliki mental
sekuat baja.
Ia
cemburu pada langit yang masih bisa menahan tangisnya disana. Meski begitu, ia
tetap berniat melangkahkan kakinya pada toserba depan gedung tempat ia berdiri
untuk membeli sebuah payung, berjaga. Setidaknya, ia tidak akan pulang dengan
keadaan yang menyedihkan.
Dua
langkah ke depan ia akan meraih pintu berat khas toserba. Namun, ujung netranya
menangkap seorang laki-laki berlari kecil ke arahnya.
"Dara!"
Suara itu menuntun atensi Dara pada sosok pria berjaket denim lengkap dengan
kacamata hitamnya. Ia bahkan mengibaskan rambutnya kebelakang. Membuat Dara
merasa tidak asing dengan aksi tebar pesonanya barusan. Namun Dara masih ragu
untuk menyapa.
"Lu
ga kangen sama gua?" Ucap pria itu seraya membuka masker dan kacamata,
tersenyum. Mengajak matanya ikut tenggelam bersama menciptakan dua kali lipat
pesona bagi siapa saja yang melihatnya. Senyum yang amat Dara kenali. Karena
sangat jarang ia jumpai orang yang memiliki dua senyum di wajahnya, bibir dan
mata. Eye smile khasnya.
"Kak
Mercy?" Pria itu menyunggingkan senyum manis di bibir tebalnya dan
menenggelamkan matanya, lagi. Panggilan itu bagai lullaby indah yang
telah lama tak ia dengar.
"Iya,
manis?" Ucap Arsa -atau yang dipanggil Mercy tadi- mencondongkan wajahnya ke Dara.
Ah,
Dara. Gadis berbulu mata lentik yang tak pernah bosan Arsa pandang bahkan tidak
pernah sirna dari pikiran yang kini menjadi alasannya untuk pulang.
Dara
memundurkan wajahnya, terkejut dengan langkah Arsa yang tiba-tiba. Pria itu
masih dengan senyum yang menenggelamkan mata dan tertawa melihat netra Dara
yang membola.
Dara
masih tidak menyangka bisa bertemu dengannya lagi, setelah tiga tahun lebih
sejak Arsa menerima undangan untuk melanjutkan pendidikannya di negeri orang. Dara
tersenyum, dan mengabaikan bualan gombal sang bintang SMA-nya dulu.
"Lo
masih sebut gue Mercy?" Arsa menaikkan sebelah alisnya,
tersenyum. Lalu mengangguk-anggukan kepala. "Untung ga jadi bawa yang
alphard"
Dara
terkekeh menanggapi canda yang terkesan angkuh khasnya, masih sama ternyata. Ia
tidak pernah lupa dengan ‘senior ular kelas atas’ satu ini!
"So,
how are you?" Arsa menatap Dara sambil
kembali menelusuri perasaannya terhadap gadis itu yang ia rasa kian bertambah
kala bertemu lagi dengan wanita yang memiliki pusaran di pipi kirinya.
"Not
bad." Sahut Dara dengan bulan sabit yang tak pernah ia biarkan terbalik.
Ingin sekali Arsa acak pucuk kepala wanitanya! tapi dengan cepat ia distraksi dirinya dengan melihat ke samping. Gedung les bahasa Inggris ternama menjulang di sana. "Woah! Are you English teacher?"
Dara
mengangguk-angguk. Arsa bertepuk tangan sebagai apresiasi sambil berdecak mengagumi. Dia
bangga dengan Daranya yang tumbuh dengan sangat baik.
Arsa kembali menyisir rambut panjangnya ke belakang. Ia tidak membiarkan rambut itu menutupi sang bidadari yang kian lekat di ingatan.
Melihat aksi tebar pesona khas Arsa itu, membawa Dara kembali ke Masa Orientasi Siswa (MOS) dulu.
Bermodalkan clue 'taman'
dan satu foto lama dari seniornya tadi, Dara akhirnya berhasil menemukan presensi
orang yang ia cari setelah satu jam penuh mengitari. Orang itu tengah menikmati
makan siang bersama 4 orang temannya. Ah, bagaimana ini? Dia tidak mungkin
menghampiri dan mengganggu begitu saja. Setidaknya ia akan menunggu mereka
menghabiskan makanannya.
Tiga menit berlalu. Dara
tersenyum. Kaum laki-laki memang dua kali lebih cepat dalam menandaskan makanan
daripada kaum perempuan. Ia sudah melangkahkan kakinya untuk menghampiri.
Namun, teman Arsa lainnya yang membawa sekotak pizza menarik atensi Dara.
Mereka akan melakukan sesi kedua ternyata! Dara pun tidak bisa menunggu lebih
lama lagi. Ia harus menghampirinya sekarang juga!
"Permisi Kak Arsa, maaf
mengganggu waktunya! Saya Dara. Boleh saya minta tanda tangan kakak
disini?"
Dara menyodorkan 10 lembar itu
pada laki-laki yang tengah menyibakkan rambutnya. Teman-teman disekeliling yang Dara sebut "Arsa" itu melirik satu
sama lain. Lembar itu pun berpindah tangan. Melihat ada beberapa lembar yang
disodorkan padanya, membuat laki-laki yang memakai gelang kayu koka ini
menghitung setiap lembarnya dan melotot tak percaya.
"Sepuluh lembar? gua ttd satu aja sisanya bisa lu potokopi, okay?" Arsa kemudian mengambil bolpoin dari tangan Dara dan
menandatangani lembar pertama. "Nih!" Dengan acuh mengembalikan
lembaran itu pada gadis yang memakai kalung permen dan tempelan karton berbentuk
hati lumayan besar yang berisikan identitasnya.
Dara mendengus kesal. Upayanya
mengitari dua taman besar sekolah selama satu jam disepelekan begitu saja oleh
orang yang tidak berperikemanusiaan di depannya.
"Ya, ga bisa dong, Kak!
Kakak harus tanda tangani semua lembar ini! Saya udah keliling taman satu jam,
loh, untuk ketemu sama Kakak!" Cerocos Dara. Lawan bicaranya sampai
melongo dibuatnya. Begitu juga dengan teman di sekelilingnya. Belum ada yang
seberani ini sebelumnya. Arsa menatap teman-temannya bergantian dengan mimik
wajah yang tidak dimengerti oleh Dara.
"Okay, kalau begitu. Asal
lo mau jadi ‘dedek gemes’ gue selama tiga hari! Gua mau tanda tanganin semua
ini." Ucapnya menyeringai. Dara tidak dapat berpikir panjang karena waktu
sudah berjalan tujuh menit disini. Yang ada dalam pikirannya hanyalah
menyelesaikan perintah senior jahat tadi dan jangan sampai mendapatkan hukuman
lainnya lagi.
"Deal" Ucap Dara sembari memberikan
kembali lembar
tadi.
Kesepakatan konyol bagi keduanya
yang nanti akan menjadi anugerah bagi salah satunya.
***
Tempat duduk besi yang dijadikan tempat duduk oleh Dara terasa sangat dingin. Ia memang sengaja tidak membawa sepeda motornya dari awal, karena ingin menaiki bus hari ini. Namun, bus yang ingin ia tumpangi belum jua menampakkan diri.
Dara
mengayunkan kaki kemudian menatap jam beberapa kali. Sepuluh menit sudah ia
duduk disini. Dia akan bertahan sepuluh menit lagi untuk meminta jemput pada ‘sopir
pribadinya’.
Dara
menengadah. Langit redup dengan awan berwarna abu menghiasi netranya. Ia
menghitung dalam hati mempersiapkan diri untuk kemungkinan hardikan langit pada
makhluk di bumi yang akan didengarnya sebentar lagi. Satu... Dua... Ti...
Tiiiiiiin! Pekik mobil sedan mewah berwarna putih yang
Dara yakini seharga hidupnya lima tahun kedepan. Netra Dara membulat sempurna.
Detak jantungnya tak berirama. Dia mencoba mengatur napasnya dan melihat dalang
dari semuanya.
Jendela
hitam mobil tersangka diturunkan. Menampakkan seorang laki-laki yang sedang
menyisir rambutnya ke belakang.
Dara
menatap tajam ke si pengendara. Berusaha untuk tidak meledakkan amarahnya.
Namun, selayaknya
tidak melakukan apa-apa, yang ditatap justru tersenyum manis menenggelamkan
mata dan melambaikan tangan ke arah Dara.
"Hai,
dedek gemes! Sini gue anter pulang!" Mendengar kata 'dedek gemes' kening
Dara mengerut. Kesepakatan konyol yang terjadi siang ini sontak memenuhi isi
kepalanya. Netra nyalangnya berubah bulat seperti boba. "Aishhh" Ia
menggigit bibir merutuki kebodohan yang sudah terjadi. Laki-laki itu menaikan sebelah
alisnya menunggu jawaban. Dara hanya menyengir dan melambaikan tangan.
"Gausah
ka. Bentar lagi busnya nyampe ko"
Alih-alih
pergi karena tolakannya berusan, laki-laki itu justru turun dan berdiri di
hadapannya. Saat itu juga langit menggentakan suara dan membuat Dara memejamkan
mata Sekuat-kuatnya.
"Bentar
lagi hujan, gausah keras kepala kalo ga mau meriang!" laki-laki itu menjulurkan
tangan ke arah "Si putih kebanggaannya" dengan senyum manis
menenggelamkan mata yang tak kalah manis dari senyum gusi favorit Dara.
Satu
dua tetes hujan mengenai wajah Dara, membuatnya terpojok dan terpaksa mengikuti
kebodohannya, lagi. Dara menatap laki-laki itu kemudian berjalan ke arah kursi
penumpang. Dengan sigap ia tidak membiarkan Dara membuka sendiri pintunya.
Dara
menatapnya. Menyunggingkan senyum setipis mungkin agar tidak ketara. 'Dasar
ular mercy!' rutuk Dara dalam hati karena mengingat bagaimana piciknya pria
ini.
Tidak
hanya itu, laki-laki ini juga menaruh tangannya pada bagian atas kaca mobil
atau yang disebut Windows visors agar kepala Dara tidak membenturnya. Wah, Dara
akui ia sangat totalitas memainkan perannya!
Dua suara notif pesan yang sudah Dara tunggu membuatnya masuk dengan asal sehingga kepalanya membentur tangan Arsa.
"Aaakhh" Arsa meringis, begitu juga dengan Dara. "Beneran kejedot ternyata" Gumam Arsa sembari memegang tangannya sendiri. Dara tidak jelas mendengarnya dan memilih menghiraukan.
Ia
menatap Arsa untuk memeriksa keadaannya yang salah diartikan oleh Arsa. Arsa
mengira, Dara menuntut jelas apa yang ia gumamkan tadi. "gua tau lu bakal
kejedot!" Ucap Arsa menutupi.
***
"Em?"
Yang dipanggil menaikan kening dan terlihat seolah menahan senyum. "Ya?"
Arsa merasa dicurangi. Ia tahu sejak tadi Dara menatapnya dengan mata kosong. Ide untuk menggoda Dara pun muncul dalam benaknya, "Boleh gak?"
"Hah?" Kening gadis itu berkerut. "Apa?"
Dara
terlalu asik memutar kaset lama di kepalanya. Sekarang dia jadi tidak tahu
harus menjawab apa.
Ia
dengan keras memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan Arsa padanya.
Pulang
bersama? Ah, Dara tidak yakin hanya itu. Ayo berpikirlah sebagai Arsa! Pria
tampan yang punya sejuta cara untuk memikat seorang wanita. Mungkinkah makan
bersama? Tapi... Dara hanya takut ia terlalu percaya diri nantinya. Bagaimana
kalau ternyata Arsa sedang sibuk dan hanya ingin mengantarnya saja? Walau
sebenarnya perut kecil itu belum diisi sama sekali hari ini.
Dara
menatap Arsa, mencoba mencari jawaban dari matanya. Namun, pemandangannya
sekarang bukanlah Arsa yang menatap dengan intens menuntut jawaban yang ia
inginkan seperti yang biasa dia lakukan 3 tahun lalu, melainkan Arsa yang
menenggelamkan mata dan tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata dari sana.
Dara
menyerah. Pada akhirnya ia mengucapkan kata maaf dan membalas senyum Arsa.
"Boleh
diulang ga pertanyaannya?"
Dara!
bagaimana Arsa tidak jatuh cinta lagi dan lagi pada ‘gadis penikmat
matcha’ satu ini? Gadis yang sangat mudah mengucapkan kata maaf untuk
hal kecil yang bahkan tidak sengaja dia lakukan.
Bagaimana
bisa Dara meminta maafnya hanya karena tidak sengaja melamun dan tidak
mendengar ajakannya?
Ini memang hal yang sangat sepele bagi Arsa dan Dara tidak harus meminta maafnya. Namun, Arsa tahu Dara inilah yang selalu bisa memacu detak jantungnya!
Sosok
yang selalu menghargai hal kecil yang orang lain bahkan mengabaikannya. Sosok
inilah yang dulu mengajarkan Arsa mengucapkan ‘tiga kata’ yang sangat susah ia
lafal. Tiga kata yang bahkan tidak pernah ia dengar dari kedua orang tuanya. Juga
tiga kata yang ternyata menciptakan kedamaian dalam hati Arsa ketika
mendengarnya. Maaf, tolong, dan terimakasih.
Dara
mengajarkan tiga kata ajaib ini pada tujuh jam yang Arsa sita di akhir pekan
sebagai penyempurnaan hari kedua dalam kesepakatan mereka. Arsa akui ia memang
picik juga cermat. Satu hari dalam kesepakatan mereka bisa ia ubah menjadi
beberapa hari dengan alasan harus genap dua puluh empat jam Dara bersamanya
baru ia hitung sebagai satu hari.
***
Di akhir pekan kala itu, ia mengajak Dara menemaninya belajar di kafe baca pada jam kerja shift dua. Jam sepuluh pagi yang ia janjikan sudah berada di tempat, berubah menjadi jam sebelas karena kemacetan yang biasa terjadi di ibukota. Ia ingat, bagaimana Dara mengajarkan kata maaf padanya. Karena telah membuat gadis bertudung hitam kala itu menghabiskan satu volume komik untuk menunggu presensinya.
Dara
menatap Arsa, menunggu satu kata naif keluar dari bibir tebalnya. Arsa pikir,
wajar jika ia datang terlambat karena waktu yang ia janjikan memanglah waktu
pergantian shift para pekerja yang senantiasa memadati lalu lintas ibukota dan
dia tidak harus meminta maaf karenanya.
"Jalanan macet, ga bisa lewat jalan tikus karena gue bawa mobil."
Gadis berbalut sweater
ungu itu menutup komiknya lalu mendengus pelan.
"Terus?"
Ia bersedekap menunggu kalimat Arsa selanjutnya. Arsa menatap Dara sesaat lalu membuka ransel yang ia bawa dan mengeluarkan seluruh alat tempur
wajib seorang siswa di penghujung bangku sekolahnya, seperti laptop, beberapa
buku yang ratusan lembar, dan beragam alat tulis tentunya.
"Ya..
Gue telat karena itu"
Dara
mengaduk pelan iced matcha di depannya lalu bergumam, "Susah banget minta
maafnya"
Mungkin tidak semua orang tua seperti mamahnya Dara yang tidak hanya memberi anak materi tentang kata maaf, namun juga turut mengajak anak membangun kebiasaan itu untuk menjadi kepribadian yang mendarah daging. Terlebih dari fakta bahwa Arsa mendengar gumamnya dan acuh begitu saja, membulatkan tekad Dara untuk membuat Arsa mengucapkan kata ajaib itu.
Ah,
benar! Dara teringat akan satu hal. Walau ia kurang percaya diri, tapi tetap
harus dia coba.
"Berarti
satu jam tadi masuk ke hitungan ya!" Ucap Dara yang kini melihat jam
tangannya. "Sehabis shalat maghrib Dara mau langsung pulang."
Mendengar itu, Arsa menghentikan pergerakannya yang sedang membuka laptop.
"Gak
bisa gitulah! Kan guanya ga ada"
"Bisa
dong! Kan, kakak sendiri yang menyia-nyiakan satu jam dari perjanjian."
Sahut Dara sembari menggosokkan kain bajunya, cemas. Takut ia terlalu percaya diri dan berujung ke mempermalukan
diri sendiri.
Arsa
membasahi bibir. Satu jam sangat berharga baginya yang ingin menahan Dara lebih
lama. Ia mendengus pelan.
"Lu
mau apa?" Pria itu melirik iced matcha yang hampir tandas di depan Dara.
"Mau matcha lagi? Atau Nescafe french vanilla? Laper ya? Gua delivery-in
Domino's Pizza deh, ya?" Arsa sudah memegang ponsel dan melihat berbagai
varian piza yang mungkin bisa menaikan serotonin gadis ribet di depannya.
Sedangkan Dara mematung di tempatnya. Cukup tertegun menyadari Arsa baru saja menyebut daftar kesukaannya. Tapi
itu tidak membuat Dara goyah dalam menjalankan misi.
"Permintaan maaf. Itu yang Dara mau!" Dara menegaskan kata 'maaf' di sana guna menarik atensi Arsa pada kalimat yang sangat ingin ia dengar dari awal. Arsa menatap lurus pada netra Dara, dalam. Sampai ia rasa tertusuk olehnya.
'Maaf' Arsa menyeringai. Benar!
Ia tidak pernah mengucapkan satu kata itu selama ini karena ia pun tidak pernah
mendapatkannya.
"Maaf"
Kata asing itu keluar dengan sendirinya. Grafitasi disekitar Dara seakan berhenti, garis katulistiwa pun perlahan membentuk kurva. Namun tatapan itu
entah kenapa membawa kesan rapuh pada pria yang Dara kenal sempurna hidupnya.
Bagaimana
tidak? Arsa selalu dikelilingi 5 orang sahabatnya, berikut dengan wajah tampan
yang entah mengapa menjadi kesayangan semua guru sehingga bisa dengan bebas ia
meninggalkan kelasnya. Wajah tampan itu pula yang menjadi sebab pernyataan
cinta yang selalu pria itu dengar setiap harinya. Arsa... memiliki banyak cinta di
sekitarnya. Tapi mengapa tatapan itu terasa begitu rapuh bagi Dara?
"Sesenang
itu lo dengarnya?" Ucap Arsa karena melihat perempuan bermata besar ini
tidak kunjung menurunkan pipi yang naik karena senyumnya. "Em" Gadis
itu menganggukkan kepala.
"Udah
kan? Lu gua anter abis isya, okay?" Arsa melanjutkan aktifitasnya yang
sempat tertunda. Mengaktifkan laptop. Samar netranya menangkap kepala gadis
berkulit kuning langsat di depannya ini menggeleng. Ia belum puas ternyata.
Arsa kembali mengalihkan atensinya pada gadis yang entah kenapa tidak pernah
bisa ia abaikan gerak-geriknya.
"Belum.
Alasannya belum!" Arsa mengerutkan kening. Menerka apalagi yang diinginkan
wanita di depannya.
"Seharusnya tuh gini! maaf ya, Dara… Gua udah buat lo nunggu."
Arsa menopang dagunya dengan satu tangan. Memperhatikan Dara yang mendekat dan juga menopang dagu dengan kedua tangan mungilnya.
"Coba ulangi!" Gadis
yang baru ia sadari mempunyai netra berwarna coklat gelap ini memberinya senyum
manis seperti biasa. Tapi lebih manis ternyata bila dilihat dengan seksama.
Darah Arsa berdesir. Bagai kehilangan jati dirinya, Arsa dengan mudah menuruti
titah perempuan di depannya.
"Maaf,
karena udah buat lo nunggu" Dara melemparkan senyumnya lagi. Ia berhasil!
Dara bersorak dalam hati. Sedangkan Arsa merenung...
'Maaf' apa kata itu begitu menyenangkan untuk di dengar?
Menemani
Arsa yang sibuk mengerjakan tugasnya di tempat penuh dengan rak buku ini terasa
seperti surga bagi Dara. Ia adalah salah satu orang yang gemar membaca dan
menulis khayalannya yang tanpa ia sadari, kisahnya sendiri memiliki banyak
makna bagi setiap tokoh di dalamnya.
"Ck,
aakh" Stabilo yang diperlukan Arsa untuk menandai materinya terlempar jauh
di samping Dara yang memilih duduk serong dengannya.
"Eyy,
degem![1] ambilin
stabilo gue di samping lo itu dong!"
Dara
melirik stabilo yang berada tidak jauh dengannya. "Bilang tolong dulu, baru Dara mau!" Arsa mendengus pelan Ia bangun untuk meraih sendiri
stabilonya. Tapi Dara semakin menjauhkan stabilo itu dari jangkauannya.
"Daraa..."
Tingkat kesabaran Arsa kian menurun menghadapi perempuan yang diam-diam
menunjuk ke arah anak perempuan yang diperkirakan masih duduk di bangku sekolah
dasar karena melihat ia berusaha meraih komik doraemon yang terletak di rak
buku samping meja mereka.
"Ika,
tolong ambilin buku itu dong!" Pinta gadis itu pada temannya.
Dara
menatap Arsa yang masih menatap mereka.
"Masa
kalah sama anak SD!" Ucap Dara kemudian menjulurkan lidahnya. Arsa kembali
duduk dan menahan tawa.
Manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak lepas dari bantuan sesama. Meminta bantuan
orang lain tanpa diawali kata tolong, seolah-olah menitah orang lain! Setidaknya itu pembelajaran kedua yang Dara ajarkan pada
Arsa untuk mengubah pendirian laik-laki itu menjadi orang yang mengutamakan sopan santun
terhadap lawan bicara. Tidak peduli kadar usia mereka.
"Tolong."
Ucap Arsa sambil menengadahkan tangan. Dara tersenyum. Ia berhasil, lagi.
"Tolong
apa? Yang lengkap coba!" Arsa memutarkan bola mata dan mendengus.
"Tolong
ambilin stabilo gua!"
Dara terkekeh. Ia
menggeser badannya untuk duduk berhadapan dengan Arsa. Kemudian menyodorkan
stabilo pada laki-laki itu.
Arsa
dengan acuh mengambil stabilo dari tangan Dara. Tapi pegangan Dara sangat
kuat pada stabilonya membuat ia menatap gadis yang selalu menciptakan tanda
tanya di kepala Arsa.
"Bilang apa?" Arsa mengernyitkan dahi. Ia tidak tahu apa yang Dara inginkan lagi darinya.
Dara melemaskan tangan dan mendengus pelan, "Bilang makasih, kak Arsa!" Dra bergidik ngeri membayangkan cara Arsa berinteraksi selama ini.
Sedangkan
Arsa, tersenyum menutupi pacuan pada detak jantungnya kala melihat kening yang
berkerut disambung dengusan napas yang gusar, tanpa sadar menuntun bibirnya
untuk mengucapkan satu kata ajaib yang diinginkan oleh wanita yang terpilih
masuk ke hatinya?
"Makasih"
***
Arsa
tersenyum, merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan wanita yang bernama Dara
kala itu. Malu juga jika mengingat bagaimana cara ia berinteraksi dengan
temannya, meski mereka memang tidak pernah mempermasalahkan hal sekecil itu.
"Boleh
gua anter ga pulangnya?"
Pertanyaan
Arsa membuat Dara mengulum senyum, untuk sepersekian detik ia tertegun. Arsa sudah benar-benar berubah
sekarang! Penggunaan kata 'bolehkah' yang Arsa pakai adalah buktinya! Jika dulu
ia hanya memberi pernyataan yang tidak membutuhkan pendapat Dara, kini ia memberi
pertanyaan guna menghargai pendapatnya. Sepele memang bagi sebagian orang.
Namun, sangat berarti bagi Dara.
"Sekalian
makan siang juga, sih, kalau bisa?" Ucap Arsa menambahi. Ia memikirkan
kembali pertanyaannya pada Dara. Ada rasa takut di hatinya. Takut Dara akan
menolaknya.
"Em…" Dara sengaja memberi jeda membalas perbuatan kakak kelasnya yang mendiami ia setelah meminta maafnya tadi. "Iya, Kak. Boleh!"
Arsa mengepalkan tangan dan hampir saja mengacungkan ke
udara, namun segera ia urung. Dara terkekeh. Sesenang itukah Kak Arsa?
Setelah mengetik sesuatu di ponselnya, Dara memasukkan benda pipih itu ke dalam tas dan berjalan mengikuti Arsa yang jauh di depannya. Dalam hati, sungguh ia berharap semoga orang baik ini selalu dalam kebahagiaan yang abadi. Walau, Dara tahu tidak akan ada yang namanya abadi. Ia hanya tidak ingin melihat pria ini bersedih hati lagi.
Baru
saja ia mendoakan kebahagiaan bagi Arsa, dan netranya kini disuguhkan dengan
mobil Porsche Carrera seharga empat miliar. Mewah memanglah gaya hidup Arsa dari dulu. Gaya hidup yang mampu mengelabui
Dara mengenai kaca kehidupan pria yang mempunyai dua senyum di wajahnya.
***
Ia
ingat setelah Arsa mengantarkannya pulang dari cafe baca tempat mereka
menyempurnakan hari kedua kesepakatan mereka malam itu, esoknya pria jangkung
bila bersamanya ini sama sekali tidak mengacaukan harinya.
Seperti,
menyuruhnya menghabiskan makan siang bersama di kantin yang berbuahkan tatapan
tajam para senior perempuan, atau sengaja menghampirinya ketika jam olahraga
selesai untuk sekedar memberinya air mineral yang tentu membuat teman-temannya
ingin menggantikan posisinya. Sungguh saat itu kalau benar mesin penukar jiwa
milik doraemon itu nyata, dia sangat sudi menukar tubuhnya dengan siapa saja!
Hari
itu…
Hari yang sangat diimpikan oleh Dara untuk terjadi, sejak ia menyepakati
kesepakatan konyol bintang sekolahnya. Hari yang sangat normal seharusnya bagi
Dara. Tapi malah menjadi beban pikirannya.
Pada
jam istirahat pertama ia dengan sengaja melewati parkiran mobil tempat Arsa
biasa memarkirkan 'si putih' kesayangannya. Dan, mobil itu tidak ada disana.
Dara mencoba mengabaikan. Tapi, setelah ia melihat notif drama yang tengah ia
tonton, pikirannya kembali berpusat pada Arsa, senior jail tampannya.
Dalam
drama yang sedang ia tonton, si wanita selalu memakai pakaian merek ternama
dengan aksesoris heboh dan memiliki banyak mobil yang nominalnya membuat
Dara sakit mata menemukan titiknya untuk dibaca. Sedangkan pemeran laki-laki
disitu hanyalah pegawainya semata yang heran dengan gaya hidup bosnya. Ia pun
menanyakan alasan aksi 'buang uang' bosnya itu pada orang terdekat si perempuan.
Dan, ternyata itu semua merupakan bentuk pertahanan yang ia lakukan untuk
dirinya sendiri. Agar orang tidak meremehkannya. Agar orang tidak tahu seberapa
rapuh ia sebenarnya.
Apa Arsa juga begitu? Ah, tidak mungkin! Arsa hanya ingin memberinya ketenangan hari ini, esok ia akan kembali dan mengerjainya lagi! Dara mendistraksi dirinya sendiri dari pemikiran negatif yang kerap muncul di kepalanya.
***
"Bukan
Mercy kali ini.,
Mungkin panggilan untukku..… Harus kau ubah?" Ucapnya dengan
senyum yang selalu menaikan pipi dan menenggelamkan matanya. Dara tertawa
memamerkan gigi rata yang selalu diinginkan oleh Arsa.
"Silakan
tuan putri!" Ucap Arsa yang sudah membukakan pintu untuk Dara dengan sedikit
menunduk dan menjulurkan tangan menghayati perannya sebagai pengawal kerajaan.
Dara
tidak menahan senyumnya kali ini. Senyum dengan dua lesung di ujung bibirnya
yang menjadi pusat kebahagiaan dan kebanggaan Arsa karena telah mewujudkannya.
Ia ingin selalu menjadi alasan bagi Dara untuk tersenyum setiap harinya.
Dara
menatapnya. Netra besar berwarna cokelat gelap jika dilihat dari dekat ini
selalu memancarkan keindahan dengan bulu mata lentik yang tidak begitu panjang
juga merupakan penyelamat hidupnya.
Tak
lupa ia taruhkan tangan di windows visors agar Dara tidak langsung
membenturnya. Meski tangannya sudah siap siaga apabila Dara membenturnya lagi
seperti hari pertama mereka.
"Jangan
dibentur lagi! Aku gamau liat kamu sakit." Mendengar itu, tentu membuat Dara tertawa. Jelas ia ingat siapa yang meringis kala itu sampai modus agar diobati di
rumahnya. Dara tertawa sambil menganggukkan kepala menghargai ingatan kakak kelas yang sudah diubah sepenuhnya.
Langit
berteriak mengajak penduduk bumi untuk menangis bersama. Membuat Arsa menaikan
kembali kaca mobil yang sempat ia buka karena Dara lebih nyaman dengannya.
"Maaf, kacanya tidak bisa dibuka. Pengharumnya caramel, kok! Bukan jeruk. Wangi, kan?" Ucap Arsa menghawatirkan Dara yang pernah mengotori ‘Si Putih’ kesayangannya karena pengharum jeruk yang ia pakai. Namun, kini bukan ‘Si Hitam’ ini yang di cemaskan oleh Arsa.
Melainkan, kenyamanan Dara sendiri. Wanita yang tidak akan pernah lagi ia tumpahkan air matanya, kecuali air mata bahagia.
Arsa menyalakan wiper mobil guna membersihkan kaca depan dari tangisan langit
dan memperbesar AC guna menghilangkan uap yang membuat rabun penglihatan.
Hujan selalu mengingatkannya pada masa kelam sebelum dan sesudah Dara hadir dalam hidupnya.
***
Arsa
mempunyai seorang adik yang berbeda bulan saja dengannya. Atau yang sering
orang bilang 'ke sundulan'. Dari kecil mereka menyayangi satu sama lain dan tidak
pernah mau dipisahkan bahkan dalam beberapa menit saja!
Arsa ingat, adiknya itu pernah menangis karena ia tinggal membeli es krim stroberi favoritnya ketika dia tengah asik menaiki perosotan yang tertutup dan tidak mendapati presensi kakaknya setiba ia di bawah.
Namun, semua rasa sayang itu sekejap hilang. Berubah menjadi rasa benci karena sifat kompetitif yang adiknya miliki. Tidak akan ada asap jika tidak adanya api! Ia mengerti mengapa adiknya kian lama kian menjauh darinya.
Sejak Sekolah Dasar mereka disekolahkan di satu sekolah yang sama. Namun, berbeda kelas karena perbedaan kapasitas otak mereka. Arsa berada di kelas A dan selalu mendapatkan juara kelas yang sangat dibanggakan oleh kedua orang tuanya. Sedangkan Aska berada di kelas C dan belum pernah masuk ke peringkat tiga teratas di kelasnya yang membuat bundanya selalu membandingkan ia dengan Arsa.
Kemudian, tiba pada suatu hari dimana Arsa menjadi lulusan terbaik di penghujung Sekolah Dasar mereka, sedangkan Aska mendapat peringkat dua di kelasnya.
Aska
berjalan mendekati sang bunda dan memamerkan pialanya dengan senyum kotak
khasnya. Tidak
ada satu kata yang sangat ingin ia dengar keluar
dari bibir bundanya. Aska tidak menyerah begitu saja!
Sesampainya
mereka di rumah, hujan lebat mengguyur rumahnya seakan menggoda Aska untuk
turut menangis bersama. Tapi Aska tidak mengindahkan ajakannya. Anak laki-laki
berhidung bangir ini sangat yakin bahwa jauh dalam lubuk hati bundanya masih
ada dirinya di dalam sana. Aska kembali mencoba mengalihkan atensi bundanya
dari Arsa, kakak satu-satunya dengan terus memamerkan piala miliknya. Lalu
yang Aska dapati adalah..
"Sampe
kapan sih kamu bangga sama peringkat kedua dari kelas C kamu itu? Kamu pikir
bunda bangga? Coba kamu liat Yadit!" Menunjuk Yadit—begitulah sang adik
memanggilnya—yang diserukan oleh bundanya yang kini berada di sofa tidak jauh
dari mereka dengan matanya. "Menurut kamu, bunda lebih bangga sama
siapa?" Ucap bundanya dan berlalu meninggalkan Aska yang berubah raut
wajahnya.
Ia
menunduk. Ia salah! Sudah tidak ada lagi Aska dalam hati hangat bundanya. Sudah
tidak ada lagi Aska yang merelakan jam mainnya demi mengikuti les yang bahkan
kakaknya malas untuk datang.
Aska
meringis. Meringis pada dirinya sendiri. Piala yang ia genggam dengan erat ini
merupakan hasil pertama dari pengorbanan waktu bermainnya. Tapi apa yang ia
dapat?
Kata-kata
yang terucap oleh bundanya terus berputar bak kaset rusak di kepalanya. Ia
muak! Muak dengan dirinya sendiri. Benci dengan kapasitas otak yang ia miliki.
Bahunya
berguncang. Langit telah menang. Berhasil membuat Aska menumpahkan segala rasa
yang menumpuk di dada.
Arsa mengayunkan kaki ke arah sosok rapuh di depannya. Ia hapus jejak air mata yang menumpuk di netranya sebelum menarik Sang Adik dalam pelukan hangatnya. Berharap dapat menyalurkan segenap kekuatan yang ia punya.
Namun langit bahkan menggertaknya! Seolah menyangkal pelukan adalah hal yang pantas untuk dilakukannya sekarang. Ia langsung terhempas ke lantai yang semakin dingin menusuk tulangnya.
Sejak saat itu, Arsa tahu bahwa dukungannya tidak lagi bisa
menyentuh adiknya. Sejak saat itu dia sadar bahwa dialah beban bagi adik
satu-satunya. Dan, sejak saat itu juga dia putuskan untuk menjadi lilin bagi
sang adik tercinta. Ia rela habis terbakar demi melihat seringaian adiknya.
Meningkat
ke jenjang menengah pertama, adiknya tidak ingin disekolahkan pada sekolah yang
sama dengannya. Hal
yang disyukuri oleh Arsa karena
dengan begitu ia lebih mudah merealisasikan ide gilanya.
Arsa
tetap menjadi anak yang berprestasi. tapi
ia tidak ingin dipublikasi.
Segala pencapaian yang telah ia capai dengan susah payah ia simpan sendiri.
Deretan juara kelas pun tidak pernah lagi menyebutkan namanya. Arsa membodohi
diri. Dia dengan sengaja pergi ke Sekolah adiknya demi melihat nilai sang adik
dan ia akan targetkan peringkatnya berada di bawah sang adik. Begitu terus
sampai ke jenjang menengah atas. Dan dia masih melanjutkannya di sekolah itu.
Hilangnya
peringkat kelas bukan berarti hilangnya kepercayaan guru padanya untuk
mengikuti berbagai perlombaan Olimpiade. Dari tingkat provinsi, nasional bahkan
internasional ia selalu memenangkan Sekolah yang sangat menjaga privasinya.
Guru
bagian konseling adalah temannya. Hanya dia yang mengerti apa yang Arsa lakukan
saat ini. Dia yang membantu semua skenario yang Arsa buat sendiri. Ketika ia
diharuskan mengikuti berbagai Olimpiade yang meninggalkan rumah beberapa hari, maka
guru inilah yang selalu memberi alasan pada orang tua Arsa. seperti Arsa menginap di rumahnya lah
dan sebagainya. Karena itu juga dia kerap hilang tiba-tiba dari kelasnya tanpa
ada yang tahu ia pergi kemana kecuali 5 orang sahabatnya dan para guru yang
menyayanginya.
Kehidupan
yang telah ia jalani 5 tahun itu berhasil membuat Aska menempati posisinya
dulu. Arsa tersenyum. Turut bangga pada sang adik yang kini rutin menjadi juara
kelas di Sekolahnya dan bahkan mengikuti beberapa perlombaan Olimpiade yang
kerap membuatnya kewalahan mempertahankan identitasnya sebagai ‘a hidden
star’ di sekolahnya.
"Kamu
mau jadi apa, sih, Radit?!" Ucap ayah Arsa yang kini membanting rapor dan
memperjelas namanya. Bukan lagi panggilan Yadit seperti biasa.
Arsa menunduk, mencuri pandang pada sang adik yang tengah menyeringai namun Arsa ikut tersenyum melihatnya, tampan. Sudah lama ia tidak melihatnya.
Arsa sudah terbiasa dimarahi seperti ini. Cukup dia saja yang
mengalaminya. Jangan Aska! Dia sangat menyayangi adik kecilnya.
"Kamu
terlalu banyak ayah dan bunda puji ketika Sekolah dasar! Tapi apa ini?!"
Menunjuk rapor di bawahnya. "Malah Aska yang sekarang lebih baik dari
kamu!" Bentak ayah dengan mata nyalang dan berlalu pergi dengan gusarnya.
Arsa
tercekik mendengarnya, Pasti. Seorang anak bagi ayahnya adalah ajang
berkompetisi. Inilah yang ternyata dirasakan oleh Aska selama 6 tahun lamanya.
Namun hatinya lebih dicabik lagi saat melihat sosok yang tengah ia lindungi itu
masih mengeluarkan seringian licik miliknya, Sakit. Tapi ia senang dengannya.
Orang
tua mereka tanpa sadar telah berkontribusi pada retaknya hubungan persaudaraan
yang Arsa dan Aska miliki dengan cara mereka membandingkan antar keduanya.
"Kamu
bikin hati bunda sakit, Dit!" Ucap bundanya yang kini terus memukul
punggung Arsa sekuat tenaga. Pukulan yang kian lama kian terasa kuatnya. Kian
terasa perihnya. Lagi dan lagi pisau itu terus menusuk hatinya tanpa memberi
jeda. Tenggorokan Arsa tercekik kala mendengarnya. Air mata bahkan tidak berhak
untuk turun karenanya. Pelukan Arsa tidak berhak menjangkau tubuh mungil
bundanya.
Rasa
sakit di punggungnya memang tidak seberapa dibanding rasa sakit melihat air
mata yang menumpuk di kelopak mata sang bunda.
"Iren!!"
Panggil Ayah pada bunda sekembalinya ia ke ruang tamu tempat semua anggota
keluarga berada. Dilihatnya mata sang Ayah nyalang dengan tangan besar yang ia
kepal untuk menahan sedikit emosinya. Tidak lagi menggunakan kata bunda sebagai
panggilan.
Bunda
yang tengah memukul punggungnya menjatuhkan tangannya begitu saja. Ia
terguncang mendengar namanya disebut lantang sedemikian rupa.
"Kamu
pasti terlalu memanjakan Radit! Iya, kan? Kalau tidak, mengapa dia bisa membeli
mobil yang sama dengan ayahnya?!"
Overactive
imagination. Bentuk pemikiran toxic dalam pernikahan
yang ayahnya lakukan sekarang. Ayah dengan mudah menyimpulkan hal negatif pada
bunda tanpa berdasarkan bukti yang nyata.
Mobil yang dipakai Arsa kini adalah murni hasil dari uang yang diberikan ayahnya sendiri pada hari ulang tahun pertama di jenjang pendidikan menengah pertamanya ditambah lagi dengan uang-uang Olimpiade yang ia raih tanpa sepengetahuan mereka 3 tahun lamanya. Dan, sayangnya Arsa tidak mungkin menjelaskan itu semua.
Kata
yang di sampaikan oleh ayahnya tersebut juga mengandung 'the blame game'
di dalamnya. Secara tidak adil dan rasional menyalahkan pasangan atas masalah
yang terjadi.
Membuat
Arsa semakin merasa bersalah pada bunda yang kini menjadi kambing hitam atas
kesalahan yang ia lakukan. Kesalahan seorang kakak yang mempunyai ide gila demi
melindungi adiknya. Kesalahan seorang kakak yang menggantikan segala mimpi
buruk sang adik yang digoreskan sendiri oleh orang tua mereka.
Kepalan
tangan ayah memutih. Urat-urat besar timbul disana. Giginya gemeretak hendak
mengucap sesuatu yang nampaknya telah ia tahan beberapa saat.
Badan
Arsa mulai bergetar dibuatnya. Kepalanya sudah tidak sanggup menerka apa yang
akan keluar dari bibir Ayahnya. Detak jantungnya berpacu sangat kuat seakan
hendak menerobos keluar dari dalam tubuhnya. Bahkan, Arsa rasa telinganya akan
tuli mendengarkan detak jantungnya sendiri. Kata ‘maaf’ sudah tidak bernyali
lagi ia ucap. Keringat dingin sudah banyak membasahi kemeja hitam kotak-kotak
kuning yang ia remas ujungnya.
"Kalau
kamu tidak bisa mengendalikan Radit!
lebih baik kamu dengannya angkat kaki dari rumah saya!" Kalimat itu keluar
bersama urat ayahnya yang tercetak sempurna di leher jenjangnya.
Kalimat
yang meluruhkan pertahanan tubuh bunda, Ia jatuh. Tungkainya tak kuasa menahan
beban pikiran yang bersarang di kepalanya. Ketakutannya benar-benar menjadi
nyata!
"Bunda!" Pekik dua bersaudara. Arsa tidak kuasa menahan tangisnya. Ia dengan langsung merengkuh bundanya dan hendak membopong sang bunda yang segera ditepis oleh Aska. Ayahnya terlihat menahan diri di sana dan mendengus gusar saat bertemu pandang dengan Arsa. Laki-laki yang bahkan tidak ada kekuatan untuk meremas ujung bajunya ini merasa dibuang secara tidak sengaja.
Arsa
keluar dari rumah yang kini tidak lagi memberi ruang padanya untuk ditempati. Binar
mentari menyerang netranya. Namun ia menghiraukan. Dengan tatapan kosong ia
mengayunkan tungkainya jauh ke latibule-nya dengan Aska dulu. Taman di
tengah komplek dengan satu perosotan, dua ayunan dan satu kolam pasir buatan
yang kini sedang dibangun perusahan milik ayahnya.
***
Tiga jam sudah ia berjalan, dan sampai pada tempat tujuan dengan selamat. Walau yang menjadi tujuannya kini adalah pergi dari dunia kejam nan fana ini selamanya. Tapi ia masih mempunyai rasa takut akan sakit yang akan jasadnya rasakan nanti. Hahaha, Arsa menertawakan dirinya sendiri. Dari awal ini sudah menjadi pilihannya. Tapi, ia tidak berekspetasi akan jadi separah ini. Ia kira hanya dia yang akan terluka karenanya. Tapi, ternyata ide gila itu juga dapat menyakiti bundanya. Arsa sangat menyayangi bunda, karena dia tahu semua yang dilakukan bundanya semata-mata berada di bawah tekanan ayahnya.
Arsa
menaiki puncak gedung ini dengan tangga darurat untuk menikmati sisa hidupnya
yang akan ia selesaikan segera.
Menaiki
satu persatu anak tangga dengan tangan yang berpegang kuat menahan bobot
tubuhnya. Ia terduduk beberapa kali tatkala kaset rusak yang merekam kejadian
hari ini terus berteriak di dalam otaknya. Ia terus menangis tanpa suara dan
kadang membenturkan kepalanya pada pegangan tangga, meninju dinding yang baru
saja kering catnya.
Kening
dan punggung tangan kanannya sudah mengeluarkan darah yang nanti akan lebih
banyak lagi ia keluarkan dari tubuhnya.
Arsa
kembali menangisi diri. Ia menyalahi dirinya sendiri atas perceraian yang
mungkin akan terjadi pada orang tuanya kini. Ia menyalahi diri karena itu akan
menjadi luka baru yang ia tanam pada adiknya tersayang.
Bukan
ini yang ia harapkan! Tapi, mengapa ini—yang sialnya—terjadi? Apa orang dewasa
hanya selalu memikirkan dirinya sendiri? Mengapa sama sekali tidak pernah
mencoba untuk mengerti anak yang sialnya mereka miliki? Untuk apa mempunyai anak
yang akhirnya menjadi bencana bagi mereka?
Satu
dua tetes hujan kembali menyapa memberi ruang persembunyian untuk Arsa.
Mengganti rintihan pilu hasai ini dengan hardikan lantang yang menggebu.
“Aaaaaarghhhhhh!!!"
Arsa
mengeluarkan segala emosi yang mengendap di dada sesampainya ia di puncak
gedung ayahnya yang akan jadi saksi akhir dari hidupnya. Ia terduduk. Kakinya
sudah bergetar tidak kuasa menahan segala beban luar dalam yang ia pikul.
Arsa
meremas dadanya memukul dengan sisa tenaga yang ada. Ia tidak sanggup menahan
rasa sakit jasmani dan rohaninya saat ini. Sakitnya sudah berada di luar
batasan yang bisa ia tahan. Bahkan ia rasa Tuhan pun akan setuju dengan
pilihannya. Dia hanya ingin benar-benar mengakhiri segalanya.
Arsa
bangun dan tertatih jalan ke penghujung gedung ini yang belum diberi penyangga.
Netranya berputar kala melihat ke bawah sana.
Arsa
mengambil lima langkah ke belakang dan kembali terduduk. Ia akan menunggu
sampai hujan meredakan tangisnya. Ia tidak ingin mempunyai akhir yang amat
menyedihkan. Setidaknya, harus ada yang menemukan jasadnya segera.
Wajah
Arsa menelungkup di semen kasar lantai yang belum dikeramiki. Dia mencoba untuk
menghentikan segala oceh ayahnya barusan dan oceh bundanya pada Aska dulu yang
masih tersimpan dengan baik di dalam memori yang tak pernah usang. Ia muak! Dan
terlalu lelah membenci dirinya sendiri. Karena bagaimana pun segala permainan
ini adalah perwujudan dari presensi dirinya di tengah keluarga mereka.
Langit
telah cerah kembali seperti dengan sengaja membangunkan anak hasai ini. Ia
menghapus air mata. Dilihatnya pesawat tanpa awak dengan kamera kecil di
dalamnya yang berada tidak jauh darinya. Benda yang tidak ada sebelum dia
menelungkup di atas sana.
Sekali
lagi ia menertawakan diri. Pikirannya terlalu berisik rupanya sampai ia tidak
menyadari kehadiran benda di sampingnya.
Ia
bangun tertatih ke penghujung gedung untuk menemukan siapa yang menerbangkan
benda mahal ini.
"Kak
Arsa!" Lantang gadis yang muncul tiba-tiba. Ia kewalahan mengatur napas,
peluh membanjiri kening mulusnya. Netranya melebar dari yang biasa. Ia menarik
Arsa dari ujung gedung itu tanpa berucap sepatah kata kemudian memberikan air
mineral yang sengaja ia bawa.
Arsa
menatap nayanika di depannya yang kini turut menumpukkan air mata di
pelupuknya.
"Minum
dulu, Ka!" Perintah gadis ini dengan suara yang bergetar karena melihat
darah segar yang mengalir dari kening Arsa ke pelipis kanannya. Jantung memompa
darahnya dua kali lebih cepat dari biasa. Dara sungguh tidak tahu apa yang
telah Arsa lalui hingga membuat anak sempurna ini berada di puncak gedung
seorang diri.
Arsa
mengambil alih botol yang Dara sodorkan dengan pandangan hampa yang bisa Dara
rasakan.
Dilihatnya
darah yang mengalir di pelipis anak laki-laki itu mengarah masuk ke ceruk netra
indahnya. Ia dengan gusar dan sedikit bergetar mengeluarkan antiseptik serta
plaster dari ransel yang ia bawa.
Dara
sangat telaten mengobati luka Arsa.
Berandalan
baik ini sudah banyak mengeluarkan air mata dan membuat matanya memerah dan
bengkak di sana.
Gadis
itu meraih tangan Arsa dengan kedua tangan mungil miliknya kemudian mengelus
kedua tepi punggung tangan anak laki-laki itu bak memegang kaca yang hampir
pecah. Detak jantung Arsa berangsur membaik dengannya.
Air
mata yang menumpuk di kelopak netra gadis itu ia turunkan.
Bergeming
sebentar menatap luka di tangan Arsa Kemudian memukul lengan laki-laki itu pelan,
membuat si korban tidak mengerti dengan apa yang tengah perempuan bermata indah
ini lakukan sekarang.
"Kita
masih ada sehari lagi, tapi kenapa menghilang?!" Omel gadis manis ini lalu
menatap plester yang tertempel di dahi laki-laki itu. Ia berusaha menahan
sesegukan dan kembali menunduk, tidak tega melihat netra satu yang Arsa
pancarkan padanya.
“Dara
diganggu di sekolah kalo ga ada kakak" Ucapnya dengan nada yang bergetar
dan sangat pelan namun Arsa yang senantiasa memperhatikan pergerakan gadis ini
menangkap apa yang gadis manisnya bicarakan. Dan Arsa tidak sadar sedikit
meremas tangan mungil milik Dara sebagai reaksi dari pernyataan gadis itu yang
entah kenapa memanaskan hati Arsa.
"Siapa?
Siapa yang berani ganggu kamu?" Dara meneguk salivanya melihat keadaan
Arsa. Kening yang berkerut dan nada yang bergetar itu sama sekali tidak pantas
pada senior ular yang senantiasa tebar pesona di sekolahnya.
Dara
kembali memukul lengan Arsa.
Bisa-bisanya
dia masih bisa khawatir dengan orang lain sedangkan sudah jelas siapa yang
patut di khawatirkan disini!
"We
were to young and immature to give up, you idiot!"
Tatar Dara, setelah susah payah menahan sesegukan. Ia sudah tidak peduli dengan
titel Arsa sebagai kakak kelasnya di sekolah. Ia kecewa. Kecewa dengan Arsa
yang lebih mengkhawatirkan orang lain dan menyerah dengan dirinya sendiri.
Dara
mengusap tangan dingin laki-laki itu. Ia turut merasakan sebagaimana rapuhnya
sosok di depan mata. Entah sudah berapa bulir air mata yang ia jatuhkan karena
pemandangan hasai yang memilukan.
Tapi
satu yang dapat dipastikan! Tentu, tidak sebanding dengan air mata yang entah
sudah berapa lama mengalir di pipi kakak kelasnya saat hujan tadi memeluknya.
Dara
tahu. Dia secara tidak sengaja merekam semua yang terjadi pada Arsa semenjak ia
berada di atas gedung cakrawala.
Dara
menerbangkan drone dari loteng tempat kamarnya berada.
Loteng
kaca dengan lapisan kayu modern mempunyai satu remot untuk menutup kala mentari
terik menghunus penglihatannya juga membuka keduanya untuk mendapatkan udara
segar kala pagi menyapa.
Dara
memilih loteng sebagai kamar di rumah yang terletak di pinggir kota yang masih
seperti kebun karena banyaknya tumbuhan hijau mengelilingi rumahnya.
Adapun
kegiatan menerbangkan pesawat tanpa awak itu betujuan untuk pelipur lara karena
Dara tengah mengarang novel yang bergenre angst pertamanya. Entah hanya
dia yang begitu atau semua penulis juga sama dengannya. Merasa bersalah pada
rasa sakit yang ia ciptakan untuk sang karakter utama.
Namun,
yang ia dapati malah anak laki-laki yang ia sangka mabuk karena cara
berjalannya yang lunglai.
Dara
pun terkejut dan bergegas menarik tudungnya. Siapa pun itu. Mabuk atau tidak.
Yang pasti orang itu tidak dalam keadaan baik-baik saja karena berada di puncak
gedung seorang diri.
Dara
meraih ranselnya untuk membawa turun dronenya nanti. Dan hujan menyerang. Pesawat
tanpa awaknya terjebak di dalam. Membuat Dara mencari tempat perlindungan untuk
pesawat kesayangannya terlebih dahulu dan...
"Aaaaarghhhhh!!!"
Berujung
mendengar teriakan Arsa, suara yang sangat ia hapal belakangan ini. Suara yang
menyayat hati. Karakter utama dalam kisahnya bak keluar menerobos ke dunia
nyata.
Saat
menaiki tangga gedung cakrawala, Dara terus memantau Arsa. Air matanya saja
tidak cukup untuk menggambarkan sepilu apa Arsa di matanya. Dia menggerakkan drone-nya
ke samping Arsa yang tengah menelungkup dan dengan cepat berlari ke tempat
Arsa.
***
"Kak..."
Panggil Dara dengan nada selembut sutra menurut Arsa. Ia menggigit bibir
memunculkan pusaran di pipi kirinya, meneguk saliva dan menghirup oksigen yang
ada. "Turun yuk..!"...!" Arsa menatap perempuan yang
sesegukan karenanya. Tapi... Bagaimana bisa dia ikut menangis tanpa menanyakan
sepatah kata? Selembut itukah hatinya? Arsa pasrah dibangunkan oleh wanita
kapasnya. Ia tidak ingin menjadi mimpi buruk bagi Dara karena melihatnya terjun
bebas menyerahkan hidupnya.
Begitulah
Arsa yang selalu mengataskan orang lain jauh sebelum dirinya sendiri.
***
"Kak! Itu tempatnya sebelah kiri!" Seru Dara yang menunjuk sebuah kedai favoritnya.
Mereka
sepakat makan di kedai Mi Ayam Pak de yang berada tak jauh dari rumah Dara.
Gadis mungil ini masih sangat menyukai makanan asal Tiongkok itu ternyata. Pemilik
kedai menghampiri meja mereka. Begitu melihat Dara, pria paruh baya itu
langsung menjentikkan jarinya.
"Mie
ayam bakso yang banyak pangsitnya!" Dan pesanannya masih sama. Dara dan
Arsa tertawa. Pesanan yang selalu sama sejak 6 tahun lalu saat Dara menemukan
kedai yang mempunyai citarasa yang pas di lidahnya.
"Masnya?"
Pria paruh baya atau yang dipanggil pakde oleh Dara ini mengerutkan alisnya.
"Kok kaya pernah weruh yo?"
Dara mengalihkan atensinya ke Arsa. Netranya membola. Mulutnya sedikit terbuka.
"Kak.....
Maaf." Dara melihat Arsa yang menenggelamkan mata. Entah dia terlihat atau
tidak, akan tetapi Dara suka melihatnya.
Mi
Ayam Pakde Parjo cukup bersejarah bagi Arsa, tapi mobil Dara menyimpan
rahasianya.
Arsa
kembali teringat pada hari dimana rencana mengakhiri hidup gagal sepenuhnya.
***
Hari
itu. Kali pertama ia lihat Dara—yang ia kira anak manja ini—menyetir sendiri
mobil sedannya. Kali pertama juga ia membukakan pintu untuknya.
Begitu
gadis itu duduk di balik kemudi, ia tidak langsung menjalankan mobil itu. Netra
yang selalu memupuk air mata bersitatap dengannya. Arsa mengalihkan atensinya
ke depan. Ia berjanji tidak akan meluruhkan pertahanan di depan anak kecil ini.
"Kak.. "..."
Panggilan lembut penuh kehati-hatian itu kembali ia dengar, bagai memeluk
dirinya hangat dengan nada yang mengalun indah di indera pendengarnya.
"Tangis
itu wajar, tidak diperuntukkan untuk gender tertentu. Menahannya akan sangat
sesak di dada" Dara masih menatap Arsa yang pandangannya lurus enggan
bersitatap dengannya. Kata itu sangat berbanding terbalik dengan apa yang
diajarkan oleh ayahnya. Yang ia dapat dari sang ayah adalah tetesan air mata
seorang laki-laki hanyalah bentuk kelemahan dan kelemahan itu biasanya
dicocokkan dengan perempuan.
Dapat
Dara lihat Arsa tengah susah payah menegak saliva.
"Kita
ke belakang gedung, ya? Kaka bebas nangis di sana." Tak ada pun reaksi
apa-apa dari penawarannya.
Seperti
yang Dara harap. Tidak ada siapa-siapa di sana. Dara mengalihkan atensinya ke
anak laki-laki yang menatap hampa ke depan. Anak remaja ini masih enggan untuk
menunjukkan sisi kanaknya.
Melihat
itu, perempuan bertudung cokelat muda kala itu, mengulurkan tangan. Di
tepuk-tepuknya pelan bahu Arsa berharap pacu jantungnya kembali normal seperti
biasa. Karena ia yakin detak jantung itu kembali deras karena rasa sesak yang
laki-laki ini tahan darinya. Dara melakukan itu untuk dirinya juga. Irama
menenangkan yang ia salurkan pada Arsa juga membantu Dara memperbaiki pacuan
pada detak jantungnya. Tak lupa sesekali ia usap bahu yang bergetar itu
menggunakan ibu jarinya.
Bahu
itu berguncang. Sentuhan Dara lagi dan lagi menyentuh hati anak laki-laki yang
panjang rambutnya. Ia tidak menahan tangisnya sekarang karena ia rasa hanya
Dara yang memanusiakan dirinya. Hanya pada Dara ia bisa terlihat seperti remaja
pada umurnya. Remaja yang masih tidak stabil emosinya.
Bibir
tebal milik anak laki-laki ini mengeluarkan pilu yang kembali menyayat hati
Dara.
Arsa
mengubah duduknya jadi menyamping ke arah Dara. Wajahnya ia sembunyikan ke
dalam kursi.
Dara
ikut mengubah duduknya sama seperti Arsa, menghadap ke arahnya. Bulir air mata
kembali jatuh dengan derasnya. Ia masih menepuk lengan Arsa dengan ritme
menenangkan versinya. Mengikuti irama detak jam di tangan kiri yang ia gunakan untuk
memelintir piyama yang tanpa sadar telah ia debutkan di depan Arsa.
"Arsa…"
Ucap Dara dengan bibir bergetar, mengalihkan atensi laki-laki yang ia panggil
namanya. Dia sudah terbiasa dengan panggilan yang hanya Dara berikan padanya.
"Tau
ga kenapa Dara lebih senang memanggil Arsa dibanding panggilan Radit? Kakak
tahu apa arti dari nama kakak?" Arsa menggeleng.
"Arshaka.....
Raditya" Gadis itu menelan saliva menahan tangisnya. "Arsa dalam
bahasa Sansakerta berarti kegembiraan. Arshaka.. Atau arsakkha (أرسخ) dalam bahasa Arab.. Artinya berakar kuat,
murah hati.....
Itulah kakak yang Dara lihat selama ini."
Dara mengusap air mata Arsa yang jatuh tanpa henti. "Dan… Raditya... Berasal dari bahasa Jawa, yang berarti matahari,"
Dara masih menepuk-nepuk pelan lengan Arsa.
"Ada harapan yang terselip dari kata matahari disana, Kakak tahu apa?"
Dara meneguk saliva melihat mata merah berair, sayu yang menyayat hatinya.
"Kelak.. Bisa bermanfaat. Seperti layaknya matahari yang tidak pernah
lelah menyinari bumi." Dilihatnya lagi Arsa yang semakin terguncang
bahunya.
"Ada
seseorang yang pernah mengatakan, 'Life is tough, and things don’t always
work out well, but... We should be brave! and go on with our lives.'"
Dara menarik tisu dan menghapus air mata Arsa.
Tangan
Dara tiada lelah menepuk-nepuk pelan lengan Arsa.
"Arsa
kuat.. Arsa kuat.. Arsa hebat.. Arsa berharga.." Dara memantera, berharap
bisa mengalahkan segala sugesti buruk Arsa mengenai dirinya. Berharap sedikit
penjelasan tentang nama indahnya bisa membantu pria ini untuk bangkit dari
keterpurukannya. Rintihan pilu bersamaan kalimat penenang Dara memenuhi ruang
kosong di mobil sedan hijau itu.
"LOVING
YOURSELF IS A VERY IMPORTANT MESSAGE FOR PEOPLE WHO LIVE IN THIS AGE OF
CONFUSION AND HARDSHIP" -MIN YOONGI
***
Arsa
tersenyum. Ia ragu dengan apa yang membuat Dara sampai meminta maafnya. Maaf
karena kedai ini menjadi tempat setelah acara tangisnya di mobil Dara atau maaf
karena kedai ini juga merupakan saksi ditolaknya cinta yang ia tawarkan
kepadanya.
Ah,
Arsa ingat sekali berbulan-bulan setelah kejadian tangis itu, Dara tidak pernah
meninggalkannya. Bisa di bilang, ‘kesepakatan’ mereka diperpanjang untuk waktu
yang lama.
Dan,
tiba pada suatu hari Arsa yakin telah menjatuhkan pilihan hatinya pada Dara, ia
langsung menanyakan target menikah anak SMA di depannya.
"Target
menikah?" Dara mengulang pertanyaan yang ditujukan padanya setelah menelan
mi ayam. "Em..... Dara belum pernah kepikiran, sih.
Mungkin.. Selesai S2 seperti mamah!" Lalu menyeruput es lemon di sampingnya.
Arsa
membasahi bibir. Sebulan lagi waktu dia bisa bersama dengan Dara karena akan
berfokus pada kuliah serta karir ke depannya. Tapi, sebelum itu, ia ingin
mempunyai sesuatu yang dapat mengikatnya dengan anak perempuan pemenangan
hatinya. Egois memang. Ia seperti tidak memikirkan bagaimana keadaan Dara yang
ia tinggalkan nanti. Tapi, rasa takut akan kehilangan perempuan yang berhasil
menemukan kunci untuk hatinya ini lebih besar karena pasti banyak laki-laki
lain yang akan melirik wanitanya.
"Yaudah
deh kita pacaran dulu, ya!" Dara melirik anak laki-laki berkaos oranye
yang kebesaran dengan rambut undercut di depannya dan tertawa. Kening Arsa
berkerut dibuatnya.
"Dara
masih kecil. Kata mamah nggak boleh pacaran!" Ucap Dara menyipitkan mata
dan mengerutkan bibirnya. Arsa ikut tertawa melihat ekspresi wajah Dara. Imut
seperti biasa. Dalam hati, ia bertekad untuk kembali pada sosok Dara suatu
hari.
***
"Mau
pindah aja kak?" Bisik Dara pada Arsa. "Mumpung pesenan kita belum
dibikin sama pakdenya" Dara takut Arsa merasa tidak nyaman karena kembali
mengingat kejadian yang Dara pun ingin kubur selama-lamanya.
Pakde
Parjo datang mengalihkan atensi keduanya sembari membawa es lemon Dara dan es
teh biasa Arsa. Lelaki di depannya malah tertawa pelan.
"Gausah,
aku lagi kangen sama mi ayam Pakde" Ucap Arsa sekembalinya pakde pada
tempatnya. Dara tersenyum. Ia senang kenangan itu tidak menjadi mimpi buruk
bagi Arsa.
Pertemuan
yang indah setelah empat tahun lamanya berpisah ini mengandung ingatan historis
bagi keduanya. Membuat Arsa maupun Dara tidak mampu lagi beretorika.
Dan
pertemuan-pertemuan ini berlanjut terus sampai pada Dara yang memberikan
undangan kelulusan S1 nya pada Arsa.
Pria
berbalut suit hitam dari merek ternama yang kini tengah makan mi ayam
bersamanya ini tersenyum mengerlingkan mata.
"Masih
S1 ternyata" Gumam Arsa. Dara tengah mengetik sesuatu disana dan tidak
jelas mendengar apa yang digumamkan oleh Arsa."Kenapa kak?"
Arsa
meliriknya dan bergeleng menenggelamkan mata. "Ah, enggak." Lalu
mengesap es tehnya "Aku pastikan jadwalku kosong sampe minggu depan"
Ucap Arsa sambil membentangkan tangan seolah ada gambaran luang atas berbagai
kesibukan di kantor yang masih menjadi milik ayahnya. Dara tertawa. Arsa sangat
menggemaskan di matanya.
***
Hari
yang bersejarah bagi Dara telah tiba. Arsa pun tidak lupa membeli buket bunga
untuk sang wanita yang terpilih masuk ke dalam hatinya.
Ia
datang ke tempat yang sangat ramai dan bising membuat telinga Arsa sakit karena
tidak tahu harus berfokus kemana.
Dilihatnya
wanita berkebaya hijau sage yang anggun dengan mahkota di atasnya. Arsa hendak
menghampiri. Namun, ada laki-laki lain yang memberi buket bunga yang lebih
besar dari miliknya. Dilihatnya Dara menutup mulut karena rasa senangnya
membuat suhu badan Arsa naik melejit dari biasanya.
Ia
mengambil langkah cepat menemui kedua insan yang tengah sibuk mengabadikan
momen berharga.
Dan
ternyata..
"Bang
Agus?"
Yang
dipanggil mengalihkan atensinya dari wanita yang selalu cantik di matanya.
Alisnya ditarik ke atas melihat presensi orang yang sudah lama tidak muncul di
depan mata. "Yadit? Temen yang mau lo temuin ada di univ ini juga?"
Arsa
atau Yadit yang dipanggil Agus itu menunjuk ke arah Dara.
Yang
ditunjuk bergantian melirik ke Arsa juga Agus di depannya. "Bentar!"
Jeda Dara guna menjernihkan pikirannya. "Aguskara Pradipta," Tunjuk
Dara pada pemilik nama. "Arshaka Raditya Pradipta," Netra Dara
membola. "Kalian?"
"Satu
kakek." Sambung Agus datar dan mengangguk pelan dengan senyum garis
miliknya.
Arsa
melihat ke buket bunga yang dipeluk Dara. Ada satu undangan yang terselip di
sana.
Agus
turut menuntun netranya pada objek yang menjadi atensi adik sepupunya.
Laki-laki
bersalut sage green cotton suit yang menyelaraskan dengan kebaya Dara
ini mengambil objek atensi adik sepupu kesayangannya.
Dara
menatap Agus, pun sebaliknya. Tersenyum. Bisa Arsa lihat pancaran cinta yang
disalurkan oleh mata Dara yang ternyata jauh berbeda dengan cara Dara
menatapnya.
"Calon
kakak sepupu lo nih" Ucap Agus seraya menunjuk Dara dengan undangan itu
sebelum memberinya pada Arsa. Pertunangan Aguskara Pradipta dan Sadara
Cassanova.
Agus
melihat Dara yang lebih cantik dengan polesan make up naturalnya dan tersenyum
penuh makna. "Sara"
Panggilan
itu menarik atensi Dara sepenuhnya.
Dara
memang kerap kali menyuruh Agus untuk merubah panggilannya. Karena dia sendiri
sudah bosan mendengar panggilan yang itu-itu saja dari sejak kecil. Semua orang
memanggil namanya dengan Dara. Tidak di sekolah, di rumah, dan dalam keluarga
pun sama. Tidak ada yang memberi panggilan baru untuknya.
"Plesetan
dari Sarah istri Nabi Ibrahim." Ucap Agus lagi. Membuat pipi Dara bak
udang rebus yang bermandikan minyak panas di wajan.
Dara
jelas tahu sosok Sarah. Wanita yang melahirkan Nabi Ishak juga Ya'kub alaihissalam
yang tidak hanya cantik, cerdas, juga terkenal dengan kesabarannya. Dan..
Tunggu? Beliau diduakan dengan Siti hajar kan? Jadi maksudnya?! Pipi yang naik
itu seketika jatuh begitu saja. Bola mata besar yang menyipit terbuka lebar dan
nyalang siap menusuk Agus yang ia pikir… akan menduakannya?!
Agus
sebagai teman kecil, abang, dan kini akan menjadi calon pasangan gadis yang
tengah menggila karena asumsi yang ia ciptakan sendiri ini mengerti arti dari
perubahan mimik wajah belahan jiwanya. Ia dapat membaca apa yang ada dalam
pikiran gadis manisnya.
"Ga
akan ada Siti Hajar, Sayang." Ucap Agus yang mengambil alih buket bunga
karena pasti berat di bawa oleh sang calon istri.
Detak
jantung Dara menggila mendengarnya bukan lagi karena asumsi konyol yang ia
cipta sendiri, melainkan pernyataan tidak terduga yang keluar dari pria
berdarah dingin miliknya.
"Kan,
sarang?" Lanjut Agus lagi.
Arsa
sudah mendidih mendengarkan dua sejoli yang sedang berada di asmaraloka seperti
remaja SMA yang sedari tadi menghapus presensinya di tengah mereka.
"Sarang-sarang.
Sarang walet?" Arsa mendengus, matanya mengerling lalu menyeringai.
Hatinya bagai di obrak-abrik oleh dua malaikat kasmaran di depannya ini.
Dara
ikut mengerutkan kening, tidak mengerti dengan apa yang Agus maksud barusan.
"Sarang.
Saranghae, cinta, kan?" Tanya Agus pada Dara mengenai satu kata yang
ia hapal dari bahasa Korea yang kerap Dara tonton dramanya. Agus benar-benar
menghapus presensi Arsa di tengah mereka.
Dara
sudah tidak mampu lagi beretorika! Inilah Mas Agus kesayangan! Aah, Dara
mengeluarkan tangis bahagia. Ia sangat beruntung mempunyai Agus yang mau
mempelajari sedikit banyak dari apa yang Dara suka. Dan, itu manis sekali!
Sangat manis membayangkan om atau yang sering ia sebut ajussi ini
ternyata memperhatikan hal kecil dalam dirinya. Inilah Mas Agusnya! Hanya satu
dan itu punya Dara! Selalu penuh kejutan dan membuat Dara nyaman berada di sisinya.
Arsa meringis pada dirinya sendiri melihat dua sejoli yang sedang beradu tatap dan menghapus presensi dirinya diantara mereka.
Ia kira akan sangat sakit ketika melihat Dara tidak bisa bersamanya. Tapi, nyatanya ia lega. Dua malaikat yang dikirimkan Tuhan padanya bersatu dengan indahnya.
Memang
benar kata orang, jodoh adalah cerminan diri. Agus yang sedingin kutub utara
berhasil menemukan mataharinya.
Agus
ikut andil dalam kereta rollercoaster Arsa. Ia yang menyelesaikan
semuanya. Agus dan Dara yang membuat kereta kelamnya sampai pada stasiun haru Bahagia,
walau selalu ada yang harus hilang setelahnya.
***
Seperti
yang kita tahu, Agus merupakan kakak sepupu Arsa. Sosok dingin ini pernah satu
sekolah dengannya saat ia menengah pertama dan Agus berada di kelas dua
menengah atas. Di sekolah, mereka sepakat untuk terlihat tidak mengenal satu
sama lain karena tidak ingin ketahuan berasal dari keluarga Pradipta sang
pemilik sekolah. Mereka tidak ingin mencolok dan berujung diperlakukan
istimewa. Arsa kira akan terus begitu.
Tapi
ternyata dalam kurun waktu satu tahun lebih ternyata ‘manusia salju’ itu
memperhatikannya.
Ia
curiga dengan hilangnya nama adik sepupu jenius di pembicaraan keluarga besar
sejak Arsa masuk ke sekolahnya.
Arsa
memang terlihat suka bermain bak tidak memedulikan apa-apa. Ia sibuk keliling
dengan kelima temannya mengasah keterampilan bermusik mereka.
Tapi
yang membuat Agus curiga adalah dia kerap hilang saat guru mengumumkan sekolah
mengikuti kejuaraan Olimpiade. Terlebih lagi, guru tidak pernah memberi tahu
siapa di balik kemenangan sekolah mereka.
Kecurigaan
Agus bertambah tatkala masa Olimpiade tiba dan mamahnya di telpon oleh bunda
Arsa yang mengabarkan anaknya itu tidak pulang ke rumah dan memilih menginap di
rumah temannya sampai seminggu lamanya. Padahal, mereka akan berlibur ke
pedesaan yang biasa membuat Arsa mengemas barangnya seminggu sebelum hari yang
direncanakan.
Dengan
semua kecurigaan itu, ia menggunakan kartu As-nya sebagai salah satu anak
pemilik saham terbesar di sekolahnya untuk menanyakan bukti nyata.
Agus
mendatangi salah satu guru yang menunjukkan sebuah album foto rahasia "Kenangan
Milik Sekolah" yang terdapat banyak wajah Arsa dengan medali, sertifikat,
dan piala kebanggaan yang ia hibahkan semua ke sekolah.
Dia
tidak tahu apa alasan Arsa merahasiakan sisi kejeniusannya. Namun, ia juga
tidak ingin mengganggu privasi adik sepupunya. Agus tetap bungkam.
Hingga
tiba... Dimana ia geram! Dan membeberkan kebenaran!
Hari
sabtu pagi, sepulangnya dari Las Vegas untuk menemani ayahnya melakukan
perjalanan bisnis sekaligus mempelajari langsung cara Sang Ayah dalam menekuni
bidangnya,
Agus tidak disambut oleh Sang
Mamah seperti biasa.
"Tumben"
Agus
menguap lebar membayangkan empuknya kasur king size bersalut hitam dan
putih tatkala badan remuk ini menindih.
Ia
mengayunkan tungkai ke elevator rumah yang berada tak jauh dari garasi. Kakinya
sudah tidak ada kekuatan lagi untuk menaiki tangga. Pun, kepalanya sudah
berdenyut karena lupa menyesap es amerikano saat mengawali harinya.
Pria
bersalut jas biru tua dengan dasi warna senada itu mengeluarkan telepon
genggamnya dari saku celana. Beberapa pesan yang belum ia buka sedari di
pesawat tadi membuat pria itu tertawa pelan.
Ada desiran halus dalam diri Agus tatkala membaca pesan yang mungkin tidak masuk akal bagi sebagian orang. Tapi, begitu manis menurut Agus.
Hati
bak kaca tipis yang harus dengan penuh hati ia jaga agar tidak pernah retak
apalagi pecah sia-sia.
Hati
seorang gadis SMA yang dengan susah payah ia katakan sebagai adik perempuan
karena keharusannya untuk fokus pada pendidikan dan karirnya ke depan.
Agus
sadar, dia tidak bisa membelah apa yang menjadi titik fokusnya. Oleh karena
itu, dia memilih melepas Dara. Tentu tidak melepas sepenuhnya! Dia hanya tidak
ingin mengikat anak SMA yang harusnya menikmati masa remaja seperti teman sebayanya.
Pastinya Agus mempunyai tekad untuk kembali! Saat waktunya tiba, dia akan
menjadikan perempuan itu sebagai teman hidupnya.
Bel
elevator berdenting, menandakan Agus sudah berada pada lantai yang menjadi
tujuannya.
Lantai
tiga. Membuat Agus selalu ingin bertukar kamar dengan kedua orang tuanya.
Seorang
asisten rumah tangga menyambutnya di depan pintu elevator seperti biasa. Meraih
Louis Vuitton brief case yang sedari tadi ia pegang dengan tangan
kirinya.
Sangat
mengganjal di hati Agus yang tidak menemukan presensi mamah kala ia tiba.
"Bi,
mamah dimana?"
"Anu,
Den. Ibu keluar sambil nangis tadi" Agus menghentikan langkahnya.
"Bibi
tau keluarnya itu kemana?" Wanita paruh baya yang setinggi sikunya mencoba
mengingat sesuatu.
"Ke
rumah Den Arsa, kalo nggak salah!" Agus membuka telepon genggamnya lagi.
"Bibi
tolong antarkan tas saya ke kamar, ya? Saya mau nyusul mamah."
"Baik
Den."
Agus
memutar arah tungkainya kembali pada elevator sambil terus menekan kontak Arsa
untuk dihubungi yang tak kunjung mendapat jawaban.
Namun,
ia teringat sesuatu!
Agus
memutar arah tungkainya lagi, berjalan sedikit cepat ke arah ruang kerja yang
bersambung dengan kamarnya.
Mungkin
kini saatnya membuka identitas orang dengan julukan “a hidden star” di
sekolahnya. Karena mengingat sudah sangat lama hilang pujian serta nama adik
sepupunya di setiap acara keluarga besarnya dan berganti dengan kalimat
kekecewaan yang kerap dikeluarkan oleh sang paman.
Agus
meraih kotak hitam yang berisikan beberapa sertifikat berikut banyak medali
pribadi milik Arsa yang ia pinta dari sekolah karena tidak pernah dibawanya
pulang. Ia bergegas menyusul mamahnya.
***
Dilihatnya
bunda, adik dari mamahnya itu terbaring
lemas dengan punggung tangan yang terhubung ke selang cairan infus di atasnya.
Agus
memanggil pelan sang mamah yang menelungkup di kasur adiknya dengan tangan yang
senantiasa menggenggam tangan sang adik, berharap bisa menyalurkan sisa kekuatan
yang ia punya pada sang adik tercinta.
Mamah
terbangun. Begitu menemukan presensi putra satu-satunya itu, ia langsung
memeluk sang putraSang
Putra, menyerap kekuatan lain yang ia butuhkan.
Agus
menepuk pelan punggung mamahnya dengan ritme menenangkan yang diajarkan mamah
padanya.
Mamah
Agus melihat adiknya yang sudah terlelap karena tangisnya dan mengajak Agus
untuk keluar dan menceritakan semua yang terjadi padanya.
***
Setelah
mendengar apa yang telah tante dan adik sepupunya lalui, Agus semakin yakin
dengan keputusannya untuk membongkar penyamaran konyol yang dilakukan oleh adik
sepupu kesayangannya.
Ia
menepuk pelan punggung tangan mamahnya yang kini ia genggam.
"Mah,
boleh Agus ke mobil sebentar? Ada sesuatu yang mau Agus tunjukin ke mamah dan semua
yang ada di rumah ini."
Mamah
menatapnya dengan netra yang mengering air mata, merah dan bengkak serta hidung
bangir putih sang mamah yang sudah tidak berair dan memudar merahnya. Mamah
mengangguk pelan.
Agus
kembali dengan sebuah kotak dan Ipadlaptop di tangannya. Memunculkan tanda
tanya pada ayah Arsa yang kini berniat keluar untuk menenangkan diri juga Aska
yang berada tidak jauh dari mereka.
"Om,
ada yang harus om lihat" Ucap Agus dengan nada dingin yang ia harap bisa
menusuk tulang pamannya.
Laki-laki
paruh baya itu mengusap wajah. "Apa?"
Agus
melirik sofa di ruang tamu. "Bisa kita buka di meja sana?" Ayah Arsa
menurut, juga Aska yang mengekor di belakangnya.
Kotak
hitam itu di buka oleh Agus, ditariknya keluar medali-medali emas yang Arsa
buang ke sekolah. "Ini semua milik Yadit"
Yadit,
panggilan Arsa di keluarga besarnya karena lidahnya yang cadel dan tidak bisa
mengatakan huruf R dulu.
Ayah
Arsa, Aska, juga mamah tidak bisa mencerna apa yang baru saja keluar dari bibir
laki-laki pucat di depan mereka.
Agus
menyambungkan sebuah flashdisk yang baru ia tahu ikut terdapat di dalam
kotak itu ke Ipadlaptop
miliknya. Flashdisk yang sudah ia buka sebelum ia menyusul mamahnya.
Flashdisk yang berisikan sebuah video konseling yang pernah Arsa jalani di
sekolah.
Di
dalam video itu, Arsa dihipnotis oleh guru yang duduk di samping ranjangnya.
"Apa
alasan kamu membuang semua medali ini? Bukankah..... Ini bentuk dari pencapaianmu
selama ini? Orang tuamu tentu akan sangat bangga jika mengetahuinya."
"Pencapaian
itu saya raih untuk mengembangkan diri saya. Bukan untuk menjatuhkan adik yang
sangat saya sayang dengan segala perbandingan yang orang tua kami lakukan"
Hening.
Ayah dan adik dari anak yang tengah di hipnotis itu bergeming, tenggelam
bersama pikirannya masing-masing.
"Apa
ini di rekam?" Ucap anak laki-laki yang tengah memejamkan mata lalu
tertawa pilu menarik atensi setiap orang di ruang itu. Terkejut. Sama
terkejutnya dengan guru yang tengah duduk di sampingnya.
"Maaf,
saya tidak begitu memperhatikan kalung yang bapak ayunkan" Anak itu masih
memejamkan mata. "Saya..... Hanya ingin mengeluarkan segala
benang kusut yang bersarang di kepala dan hati saya saat ini... Lagipula ini
tidak akan disiarkan, kan?" Ia menghela napas, masih memejamkan mata.
Arsa
salah. Guru yang kelak akan menjadi temannya ini sengaja merekam dengan niat
suatu hari akan ada dimana segala rahasia yang mereka simpan berdua bisa dibagikan
kepada para tersangka yang membuat anak didiknya ini menghilangkan jati
dirinya.
Agus
ingat, ketika dia datang ke sekolah dan menemui guru atau teman bagi Arsa itu
untuk membuktikan segala kecurigaannya terhadap sang adik sepupu dan guru ini
dengan ringan memperlihatkan album foto kenangan rahasia yang hanya terdapat
Arsa di dalamnya. Lalu memberikan semua yang ia simpan sambil berkata,
"Saya percayakan semua ini pada kamu. Akan ada waktu dimana Radit
membutuhkan ini semua dan kamu harus hadir untuknya."
Agus
melihat anak laki-laki di dalam video itu dengan seksama, menghela napasnya. Rasa
lega itu menjalar begitu saja. Lega karena dia bisa datang pada waktu dimana Arsa
sangat membutuhkannya.
Agus
mungkin dingin. Bicara seperlunya dengan nada datar seperti biasa dan
terkesan tidak memperhatikan sekitar. Namun, dalam diam, ia bahkan dapat
menemukan seutas benang yang mencuat di pakaian orang tersayang.
Pernah
ketika mereka bertiga dikumpulkan pada acara keluarga, Aska baru saja memenangkan
kejuaraan Olimpiade dan dia tahu Arsa pun begitu.
Aska
melihat-lihat tiket menonton club bola kesayangannya Chelsea, yang beradu
tanding dengan Manchester United kesayangan Arsa, di liga Inggris yang akan
diadakan di Stadion Stamford Bridge, London.
Ia
dengan sibuk mencari info harga tiket, pesawat, juga hotel disana di ponselnya
lalu menjumlahkan semua itu dan memeriksa nominal yang terdapat dalam buku
tabungannya.
Agus
berjalan ke belakang sofa tempat Aska dan Arsa duduki dengan jarak bagai sabang
dan merauke, jauh sekali. Diam-diam Agus melirik apa yang tengah mereka
sibukkan dan ternyata sama. Mereka ingin pergi menontonnya.
Aska
baik Arsa begitu segan padanya karena jarang mengeluarkan sepatah kata. Jika
dikumpulkan pada acara seperti ini mereka lebih memilih menyibukkan diri dengan
ponsel masing-masing seperti ini.
Agus
menyunggingkan senyum tipis yang sangat tipis melihat tingkah kedua adik sepupu
yang ia anggap lucu karena tidak berani meminta hal sekecil itu padanya.
Arsa
dan Aska menghela napas karena sayang dengan nominal yang tercetak di buku
silver yang mereka punya. Lusa adalah hari pertandingan jagoan mereka, dan mereka
akan ikhlaskan begitu saja.
Namun,
esoknya Agus yang ditugaskan oleh Sang Ayah pergi ke London untuk perjalanan
bisnis itu mengajak Aska dan Arsa untuk turut ikut dengannya.
Di
sanalah mereka menonton pertandingan itu bersama. Di sanalah, mereka sekejap
melupakan segala ego yang ada. Di sana, Aska dengan lantang memeluk Arsa karena
Chelsea –jagoannya-- berhasil mengalahkan Manchester United --jagoan
kakaknya--. Dan di sanalah rasa bahagia tercipta di hati masing-masing walau
hanya sementara.
Agus
tersenyum tipis, sangat tipis sampai harus dilihat dengan kaca pembesar milik
Dara karena sekelebat kenangan indah itu muncul di benaknya. Sangat berbeda
dengan Arsa atau Yadit yang ia lihat di rekaman video di depannya.
"Saya.....
Hanya ingin mengatakan pada adik kecil yang saya punya satu-satunya.."…"
"Dia sangat berharga bagi saya, dan tidak pantas untuk dihancurkan oleh siapa-siapa" Ia diam, menciptakan jeda lalu membuka matanya dan tertawa pelan.
"Ada
satu kata-kata dari adik kelas alay yang gue inget, Ka..." Ucapnya kini
seolah-olah adik kesayangannya berada di depan mata. Anak ini menenggelamkan
matanya. "You were born to be real
not to be perfect, katanya." Dia kembali mengeluarkan senyum pilunya.
"Aska atau adzka, lo lebih pinter dari yang lo bayangkan! Lo lebih
berharga dari yang lo kira! So, please don't compare yourself to the others!
Gua sedih ka, kita jadi gini karena sifat kompetitif yang lo bangun demi ayah
dan bunda, karena itu gua milih mundur. Gua lebih seneng liat seringaian lo
daripada air mata yang gue tahu selalu bikin basah Buku-buku lo di atas
meja"
Aska,
orang yang ia ajak bicara itu ikut bergetar bersama suara yang Arsa keluarkan.
Apa
yang telah dia lakukan pada kakak yang selama ini ternyata melindungi dirinya?
Salah! Semua salah! Dia salah selama ini! Bagaimana bisa dia dengan begitu
mudah mempercayai skenario konyol yang dibuat oleh kakaknya? Aska dibutakan
oleh sifat kompetitifnya.
Sedangkan,
Ayah yang duduk di sofa depan aska ini menatap hampa pada sang anak yang kini
menghirup oksigen yang ada lalu membulatkan bibir tebalnya, mengeluarkan
karbondioksida itu secara gusar. Terlihat sekali bagaimana rasa lega usai
mengeluarkan segala yang mengganjal di dada anaknya. Ayah merenung. Segala yang pernah ia
ucap pada anaknya itu seketika bersahutan di kepalanya.
Aska
mengayunkan tungkai dengan raga yang terkulai lemas usai mendengar penjelasan
sang kakak. Ia hendak mencari keberadaan sosok yang sudah lama ia rindukan.
"BRUKKK!!!"
bunda Arsa yang ternyata telah lama berdiri tak jauh dari mereka ambruk
seketika mendengar suara getir anaknya. Mencuri semua atensi orang yang berada
dalam satu ruang.
"Bunda!"
Lantang sang suami bersicepat membopong istrinya. Agus turut lari dan bantu
membawa masuk tiang infus milik tantenya. Sedangkan Aska yang lemas tungkainya
kalah cepat dengan sang kakak sepupu di depannya.
***
"Dahlah!
balik aja gua, dunia serasa milik lu berdua! Gua cuma numpang!" Omel Arsa.
Dara dan Agus tertawa dengan gusi yang nampak sebagai ciri khasnya saat bersama
Dara. Agus benar-benar menemukan mataharinya.
"Punya
makanya! Iri aja lo!"
Arsa
meringis mendengar kata itu keluar dari sosok yang ia anggap sebagai anpanman
bagi hidupnya ini. Bagian dalam dirinya seakan terjun dari tempat gedung
cakrawala milik ayahnya.
Ingin
sekali ia teriaki pria angkuh di hadapannya bahwa orang yang ia maksud
sebenarnya sudah dia ambil alih sepenuhnya oleh dia sendiri.
Tapi
ia urungkan, karena dua malaikat ini sangat berharga baginya dan ia tidak ingin
hubungan mereka menjadi renggang karenanya.
Pria
bersalut black suit dengan rambut undercut ini memberikan buket bunga
yang ia bawa pada Dara dan menjabat tangan gadis yang harus ia relakan dan
hilangkan presensinya di hati.
"Selamat
ya, Dara." Arsa menahan tangan Dara yang masih ingin ia genggam dan
melirik Agus yang tersenyum dengan senyum gusi khasnya.
"Bang!
Jagain yang bener Daranya! Kalo ngga kasih buat gue aja, gimana?!" Dia
menaikkan sebelah alisnya ke arah Agus.
Laki-laki
bersalut sage green suit dengan rambut mullet yang ditata
rapi memperlihatkan jidat paripurna itu menaikan alis, mengeluarkan seringaian
licik miliknya dan mendengus.
"Emang,
dianya mau?" Agus menunjuk Dara dengan dagunya.
Arsa
menatap Dara yang berbuah cengiran dengan satu pusaran terlihat di pipi kirinya
lalu menggeleng pelan. Arsa melotot tak percaya.
"Woah?!
Pundung gue sama lo berdua, bodo!" Kemudian, Arsa melepas jabat
tangannya dan membalikkan badan pergi dengan senyum yang ia cetak disana. Dua
sejoli itu menertawakan sang buaya yang keduluan diambil mangsanya.
Hati
Arsa mungkin sedikit dicabik, tapi rasa lega lebih menggelitik karena rasa
bahagia.
Dua
malaikat yang Tuhan turunkan padanya kini bersatu dengan indahnya.
Sangat
melekat pada Arsa hari dimana semua mimpi buruknya berhenti begitu saja dan
berubah menjadi air mata candramawa yang tidak bisa dijelaskan oleh Arsa.
***
Kala
itu...
Sehabis
ditraktir mi ayam oleh Dara karena katanya, "Menangis juga butuh tenaga
kak Arsa!" Dia kembali ke rumah sunyi yang sudah tidak ada lagi namanya di
hati mereka.
Seperti
kata Dara... Dia akan coba menghadapi semuanya! Entah apa yang akan terjadi
setelah dia membuat semua ‘kekacauan’ ini. Dia akan coba menerimanya. Dia akan
mencoba lebih mencintai dirinya. Karena saat ini, hanya dirinya yang ia punya.
Hanya dirinya yang adiknya punya. Setidaknya dia harus memastikan hanya
kebahagiaan lah yang berputar pada hidup adik satu-satunya. Hanya seringaian
puas sang adik yang tercetak pada wajah tampannya.
***
Arsa
melangkahkan kaki ke monitor kecil yang tertempel di samping pintu personal yang
terdapat di ujung gerbang, menekan satu tombol, dan menunjukkan wajahnya
disana. Satpam membukakan pintu itu karena Arsa sudah bilang ia tidak datang
dengan kendaraan.
Memasuki
rumah yang kembali membuka luka di hatinya, sunyi. Hanya isi kepala dan hati
yang ribut sedari tadi.
Arsa
membuka pintu utama, menunduk. Tidak berani melihat isi rumah karena bayangan
kejadian tadi pagi yang masih menghantui dirinya.
"Yadit!"
Aska bergeming melihat Arsa di ambang pintu. Kening dan punggung tangan kanan
Arsa di perban. Tentu kakaknya itu tidak dalam keadaan baik-baik saja. Sama
seperti dirinya.
Ia
sempat ragu untuk memeluk kakak satu-satunya yang dulu selalu menghangatkan
hatinya. Tapi, ia patahkan segala ragu karena rasa rindu lebih besar dari rasa
ragunya kala itu, juga rasa rindu akan kekuatan yang selalu kakaknya salurkan
kepadanya dulu.
Ia
melebur di pelukan Arsa. Pelukan yang sudah sangat lama ia inginkan. Tapi
terpaksa ia tepis demi memperbesar egonya. Pelukan yang kembali mengais
kekuatan yang masih tersisa di dalamnya.
Arsa
tidak percaya dengan sosok tubuh yang sedang merengkuh tubuhnya. Apakah ia
sudah di surga? Apakah ia tertabrak kala pulang ke rumahnya? Arsa tidak
mengerti. Dia serasa bermimpi, dan itu indah sekali!
Ada
juga sosok yang tidak jelas karena rabun jauh yang ia derita itu berjalan ke
arahnya, yang baru ia tahu kalua itu ternyata Bang Agus, kakak sepupunya.
"Gua
balikin medali lo, biar gampang nyari kuliahan" Ucap Agus memperlihatkan
medali dan menepuk punggung Arsa yang masih dipeluk oleh Aska. Melihat medali
yang bergantung di tangan Agus, membuat dia mengerti dengan apa yang sudah
terjadi dan ia sangat mensyukurinya.
Dia
tidak tahu kapan Agus mengetahui segala skenario yang ia simpan baik naskahnya.
Tapi, ia sangat berterima kasih karenanya.
"Maafin
gua Dit, maaf karena bikin hubungan kita jadi gini. Lu bener, gua kompetitif.
Gua pengen selalu jadi yang di atas elu! Maaf karena sifat gua itu udah bikin
hancur hubungan kita" Ucap Aska sembari memeluk erat sang kakak seakan
takut akan hilang dan pergi meninggalkan dirinya.
'Maaf'
Dara benar ternyata. Mendengar pengakuan kesalahan orang yang ia perbuat pada
kita dan menggunakan kata maaf di awalnya sangat menyenangkan! Hatinya bersemi!
Hati berdarahnya telah diobati.
Begitu
juga dengan ayah yang berjalan ke arah anaknya dan bergantian memeluk sang anak
dengan rasa malu dan menutupi wajahnya di balik bahu sang anak yang lebih
tinggi darinya.
"Maafin
ayah selama ini, ya Dit. Maaf karena udah bikin kalian renggang" Ayah
mengurai pelukan dan menepuk lengan Aska. "Ayah janji nggak bandingin
kalian lagi! Kita hidup sama-sama seperti dulu, ya?" Arsa kembali
mengeluarkan air mata dan menganggukkan kepala. Bukan lagi air mata yang
menyesakkan hati, tapi air mata bahagia terhadap mimpi yang kini menjadi nyata.
"Dit…"
Panggil Aska dengan suara yang bergetar. "Ayuk..... Kita temuin bun.."..." Ucap Aska menggantungkan
katanya, menghela napas menahan sesegukan karena rasa sakit yang menghantam
bertubi-tubi di hati. "Bunda"
Arsa
menangkap getaran pilu yang Aska salurkan di bahunya yang ia remas, lemah tak
berdaya.
Ayah
melihat ke arah kamarnya dengan bunda yang berbaring di sana. Air matanya lolos
begitu saja. Air mata pertama yang Arsa lihat jatuh dari netra yang baru ia
sadari telah merah sedari tadi. Apa yang terjadi?
Agus
melangkah dekat dengan Arsa, memeluknya dari samping dengan tangan yang ia
gosokkan kuat pada lengan atletis miliknya dan menuntun anak ini untuk masuk ke
kamar utama di rumah itu. Namun, entah mengapa terasa sangat sesak berada di
dalamnya.
Dilihatnya
sang tante yang hendak menutup wajah bundanya dengan tangan gemetar namun
segera ia urungkan kala menemukan presensi anak yang sangat ingin adiknya lihat
sebelum menutup mata untuk waktu yang sangat lama.
Bunda
hanya tertidur, mengapa tante tega menutup wajah cantik bundanya? Mengapa ayah
mengeluarkan air mata dan bahkan tidak sanggup untuk masuk melihat bunda yang
sedang pulas menutup netra dengan kelopak dan bulu mata lurus panjang
cantiknya? Mengapa Agus tidak hentinya menggosokkan tangan di lengannya?
Mengapa Aska meringkuk, memeluk lututnya seakan mencari kekuatan? Ada apa
dengan semua orang yang menyaksikan bunda yang tersenyum dengan indahnya di
depan?
Arsa
terus mendistraksi dirinya sendiri. Meyakini bahwa bunda hanya tidur sementara.
Tidak
berani mengambil langkah untuk menyaksikan tubuh sang bunda yang benar-benar
diam tanpa ada detak jantung di dalam sana. Tubuhnya tidak naik turun untuk
memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida lagi. Benar-benar diam dan
sangat dingin sampai menusuk ke tulang Arsa yang kembali hasai dibuatnya, tak
kuasa menahan takdir yang sudah digariskan oleh Sang Maha adil.
Arsa
melorot seketika.
Pemilik
salah satu relung di hatinya ini telah mendahuluinya untuk beristirahat di
tempat peristirahatan pertama.
Tapi,
sebelum di antar ke tempat yang begitu sempit dilihat, Arsa memberanikan diri
menyalami sang bunda yang tak lama menutup mata sebelum kedatangannya.
Ia
meminta maaf dan membelai pipi tirus bunda yang kini seputih kain yang
membaluti dirinya.
Para bibi di rumahnya membawa segelintir orang
untuk ikut mengiringi kepergian bunda dengan ayat suci sebelum mengantarkannya
ke tempat yang ia harap akan sangat luas untuk bundanya tempati.
Ya,
Arsa kembali dipermainkan oleh semesta. Dilayangkan ke udara bersama kelopak
bunga yang menemaninya. Kemudian, ia dihempaskan ke dasar bumi, sedangkan
kelopak bunga itu terus mengudara dengan indahnya.
Bunda.
Sang kelopak bunga dandelion yang harus terpisah dari kawanannya untuk mengudara,
juga menyadarkan ‘sang manusia’ betapa indahnya ‘taman bunga’. END
[1] Singkatan dari dede gemes
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Hidden"
Posting Komentar