Oleh: Mohammad Rizkyllah Syaputra

Kok aku dilahirkan dari keluarga biasa-biasa aja, sih? Kenapa aku enggak dilahirkan seperti dia yang dilahirin dari keluarga konglomerat? Kan hidupku bisa jadi lebih gampang. Punya privilese besar kan dapat berdampak baik bagi hidupku. Bukan hanya itu, masih banyak pertanyaan individu—terutama anak muda—yang terlontar pada dirinya sendiri. Seperti, kenapa dia dilahirkan pendek? Kenapa dia lahir dengan jenis kelamin laki-laki? Dan seterusnya.

Buruknya, pertanyaan-pertanyaan seperti tadi dapat menimbulkan beberapa penyakit psikologis seperti depresi, cemas, bipolar, skizofrenia dan semacamnya. Jika kita bawa ke pembahasan privilese pun demikian. Seakan-akan seseorang tak bernasib baik jika tidak dilahirkan dari “keluarga keraton”—yang lazimnya diklaim memiliki privilese lebih. Padahal sejatinya, setiap individu memiliki privilese— entah itu besar atau kecil, tanpa terkecuali. Tergantung dilihat dari mana kita meneropongnya. Karena, previlese itu sendiri bersifat relatif (nisbi).

Saya rasa, cukup menarik untuk mengenalkan beberapa konsep Stoisisme atau filosofi Stoa (teras) untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Perlu diketahui, tidak semua hal yang ada di pikiran kita perlu dianggap serius. Ada sebagian hal yang saya rasa perlu dibiarkan berlalu seperti angin lewatsalah satunya privilese.

Stoisisme merupakan produk rasio seorang yang (bisa dikatakan tidak sengaja) menjadi filsuf tersebab kapal karam. Ia bernama Zeno, seorang penjual pewarna garmen yang harganya sangat mahal. Akibat tragedi kapalnya yang karam, kekayaannya raib. Namun, kejadian buruk itu, justru yang menyebabkan dia pertama kali bisa berjawatan dengan filsafat. Hingga ia membuat mazhab filsafatnya sendiri. Di antara muridnya adalah Epictetus (seorang budak) dan Marcus Aurelius (Kaisar Romawi terakhir, perwakilan pemilik privilese tinggi)—dimana pemikiran mereka memiliki korelasi yang bisa menjawab persoalan-persoalan privilese ini.

Di antara ide-ide filsafat Stoisime, teori dikotomi kendali yang digagas oleh Epictetus saya rasa cukup sesuai untuk menyikapi persoalan previlese di atas. Epictetus berkata, “Somethings are up to us. Somethings are not up to us.” Mudahnya, di dalam kehidupan manusia, ada sesuatu yang bisa ia kendalikan dan ada yang tidak bisa ia kendalikan. Sesuatu yang bisa dikendalikan hanyalah persepsi, opini, pikiran dan aksi.

Sementara yang tidak bisa dikendalikan ialah selain hal-hal di atas, seperti kesehatan, kekayaan, ketenaran, juga privilese. Dimana menurutnya, seseorang hanya diharuskan mengasah, mengontrol dan mengawasi apa yang bisa ia kendalikan. Tak perlu untuk memikirkan hal-hal di luar kendalinya secara berlebihan. Sehingga, persoalan seperti ia lahir di mana, berkebangsaan apa, bergender laki-laki atau perempuan, dan warna kulit apa, tidak perlu dipikirkan berlarut-larut. Karena seluruhnya merupakan bagian dari sesuatu yang ada di luar kendalinya.

Tapi bukankah privilese sendiri, sedikit banyaknya bisa kita kendalikan? Dalam arti kita bisa membuat “privilese” kita sendiri. Menjadi raja memang agak susah, tapi menjadi orang kaya bukankah bisa kita usahakan?

Agaknya, konsep dikotomi kendali ala Epictetus kurang berhasil menjawab premis di atas. Dimana nyatanya previlese terkadang bisa kita usahakan. Di sinilah menurut saya, konsep trikotomi William Irvine dapat menjawabnya. Dalam buku A Guide to Good Life: Acient Art to Stoic Joy ia menawarkan konsep trikotomi kendali, yang saya rasa konsep ini adalah saudara kandung dikotomi kendali. Jika dalam teori dikotomi sesuatu hanya terbagi kepada dua klasifikasi, ada yang bisa kita kendalikan dan ada yang tak bisa kita kendalikan. Menariknya, William Irvine, menambahkan poin ketiga yaitu sesuatu yang bisa kita kendalikan sekaligus juga tidak bisa dikendalikan dalam satu substansi.

Misal, dalam hal kesehatan, di satu sisi, ia bisa dikendalikan (up to us), seperti dengan menjaga pola makan, pola tidur dan olahraga. Namun, ada sisi lain dimana ia berada di luar kendali kita (not up to us). Kita tidak pernah tahu jika tiba-tiba ada sebuah mobil menabrak kita atau ada wabah penyakit menyerbu tempat kita. Dan semuanya dapat berdampak pada kesehatan kita.

Dalam hal previlese sosial pun saya rasa juga demikian. Kita tidak bisa memilih di mana kita dilahirkan. Hanya saja, satu yang bisa kita kendalikan, yaitu diri (rasio dan aksi) kita. Ketika kita lahir di keluarga yang lumayan berada, beruntung kita bisa memanfaatkan fasilitas yang ada. Sebaliknya, kita juga masih bisa sukses walaupun berada di keluarga menengah ke bawah. Kita bisa membangun privilese itu untuk membuat kesuksesan kita.


Kesuksesan itu netral. Tidak berpihak ke si kaya (yang diklaim memiliki privilese lebih) maupun si miskin. Kesuksesan berpihak kepada siapa yang berani mencoba (dare to try). Kesuksesan di sini juga tidak dalam arti sempit yaitu kesuksesan materil. Lebih luas dari itu, berhasil dalam pengendalian diri, pengontrolan emosi dalam hal psikologis itu termasuk kesuksesan menurut Stoik.


Bagaimana jika suatu waktu privilese itu hilang dari kita? Semisal, tiba-tiba kita jatuh miskin atau “keluarga terhormat” yang kita banggakan mendapat hinaan yang tidak sepatutnya. Sebuah konsep Stoik milik Markus Aurelius, menurut saya bisa untuk mengatasi kondisi semacam ini. Ia menganjurkan kita untuk selalu mengawali hari dengan memikirkan sesuatu yang menyebabkan hari kita buruk. Atau, dalam bahasa latin disebut premeditatio malorum. Pikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, seperti jika privilese itu raib.

Bukankah hal tersebut jelas-jelas negative thinking? Kita dituntut untuk memikirkan empiris terburuk dimana “privilese” yang kita sembah-sembah itu lenyap. Bukankah ini paradoks terhadap konsep dikotomi maupun trikotomi kendali?

Jika kita telaah lebih dalam, premeditatio malorum sejatinya agak berbeda dengan negative thinking. Negative thinking hanya memikirkan sesuatu yang buruk tanpa dasar rasio dan akal (pun, juga tanpa memahami konsep dikotomi kendali). Sementara itu, Premeditatio malorum merupakan konsep berpikir buruk—yang baik—untuk menghindari kekecewaan terhadap apa yang terjadi kepada kita.

Ketika kita menikmati segala fasilitas privilese yang kita punya, di saat itu pula, kita harus memikirkan keadaan terburuk dimana kita tidak memiliki apa-apa. Dengan memikirkan skenario terburuk, otak kita akan berantisipasi dan bersiap-siap terhadap sesuatu yang tak terkira. Kita tidak menjadi terlalu stres ketika suatu waktu ada sesuatu yang menimpa kehormatan keluarga maupun hak-hak sosial kita.

Begitulah konsep dikotomi (dan juga trikotomi) yang seharusnya dipahami setiap individu, teragar kita memiliki mentalitas yang tangguh. Pun, agar kita selalu siaga bahwa privilese yang kita bangga-banggakan itu akan gaib dan lenyap kapan saja tanpa kita ketahui. Konklusi saya, beri makan saja rasiomu, jangan animomu.


Supported by:


Related Posts

There is no other posts in this category.
Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    1 Komentar untuk "Dikotomi Kendali Privilese dalam Perspektif Stoikisme"

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel