Oleh: Mohammad Rizkyllah Syaputra

 

ABSTRAKSI


Banyak sekali daripada pertanyaan-pertanyaan yang dibangun di atas paradoks yang lahir sebuah kesalahan berpikir. Acapkali, kasus seperti ini terjadi di ranah teologi. Pertanyaan seperti Tuhan itu di mana, seperti apa? Seringkali terlontar dari lisan-lisan awam. Beberapa buku teologi dan logika seharusnya sudah bisa untuk menjawab itu semua, tapi dengan halaman dan volume yang cukup tebal, rasa-rasanya hanya akan menimbulkan rasa bosan. Untuk itu penulis ingin membumikan bahasa-bahasa langit yang sering dijelaskan di buku-buku tersebut. Kami akan memaparkan apa saja soalan-soalannya dan bagaimana cara menjawabnya. Ada dua referensi yang penulis gunakan, Ilmu Akidah dan Ilmu Logika Klasik. Pemaparannya akan penulis jabarkan di Kajian Teori mendatang.

A. Pendahuluan:


Tuhan memangnya di mana? Sampai kapan kita tidak bisa melihat Tuhan? Dia ada di langit ke berapa? Rupanya seperti apa, tampan kah wajahnya? Sebelum ada tempat, Tuhan ada di mana, di ketiadaan kah? Seterang apa cahaya-Nya? Jika kita ingin melempar pertanyaan-pertanyaan yang semisal, kertas putih ini tak mampu untuk menulis jawaban seluruhnya.

Rasa-rasanya kita seringkali mendengar pertanyaan-pertanyaan semisal tadi, entah dari kerabat, kolega, saudara, orang tua kita yang diasumsikan mereka asing dengan literatur-literatur teologi. Terkesan masuk akal, tapi jika ditelaah secara sedikit mendalam saja, kita akan menemukan butiran-butiran pasir kesalahan berpikir yang acapkali tidak terlihat.

Dari sana akan muncul sebersit pertanyaan, memangnya kenapa jika kita melontarkan pertanyaan yang demikian? Kenapa jika kita bertanya Tuhan di mana? Bukankah kita harus tahu informasi segala hal yang berkaitan dengan Tuhan agar kita bisa lebih mengenal Tuhan kita?

Saya akan memberikan sedikit saja spoiler di mana letak kesalahannya. Satu contoh, pertanyaan, ”di mana Tuhan”, ini merupakan pertanyaan cacat/absah. Mengapa? Karena kita mengkaitkan kata “di mana” kepada Tuhan. Yang di mana kata itu merupakan pertanyaan kita mengenai tempat substansi sesuatu. Tempat merupakan ruang. Ruang memiliki volume. Segala yang bertempat dan bervolume merupakan sifat makhluk, maka dari itu kita bisa berkonklusi bahwa penisbahan tempat kepada Tuhan merupakan sebuah proposisi yang tidak sahih.

Menarik bukan? Nah, untuk menjawab pertanyaan itu semua, kita butuh alat ukur tertentu untuk mengetahui dulu seberapa rumit atau simpel permasalahan itu. Mengukur berat kita butuh satuan kilogram. Mengukur panjang kita butuh satuan meter dan semisalnya. Untuk mengukur benar salahnya pertanyaan tadi kita butuh dua alat ukur yang bernama Ilmu Akidah dan Ilmu Logika Klasik. Memangnya kenapa harus dengan Ilmu Akidah dan Ilmu Logika Klasik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Pendalamannya akan penulis sampaikan di Kajian Teori.

B. Kajian Teori

1. Sekapur Sirih Akidah dan Logika

Ilmu akidah berasal dari dua lafaz, “ilmu” dan “akidah”. Ilmu berasal dari bahasa Arab yang berarti idrak asy’syai, artinya pengetahuan terhadap sesuatu. Akidah berasal dari derivasi (isytiqaq) kata ‘aqada dengan wazan fa’iil dengan makna maf’ulah (salah satu bentuk derivasi kata benda objek, isim maf’ul) bermakna sesuatu yang dipercayai. Secara istilah Ilmu akidah adalah al-iman al-jazim billah ta’ala huwa rabb kull syai’, sebuah kepercayaan kita kepada Tuhan sebagai pencipta dan pengurus segalanya dengan bukti atau dalil yang jelas (jazim). Jadi suatu keyakinan tidak bisa langsung disebut sebagai keyakinan sampai ada bukti jelas yang mengkongkritkannya. Penulis akan berikan contoh.

 

Sebut saja Budi. Budi baru bangun tidur, membuka mata, dan mengumpulkan nyawa. Budi tidak beranjak bangun dari tempat tidur karena ia yakin langit masih malam. Untuk memastikan itu, apakah langit masih gelap atau sudah pagi, ia kemudian membuka jendela. Saat membuka jendela, ternyata buktinya menunjukkan apa yang berkebalikan dengan apa yang Budi yakini, matahari sudah persis lurus di atas bumi, yang maknanya sudah siang. Secara otomatis keyakinan bumi terhadap langit masih gelap diruntuhkan semua dengan bukti yang jazim (konkrit). Akidah atau keyakinan harus dibuat di atas pondasi dalil (bukti). Tanpa bukti keyakinan akan terbentuk di atas perasaan (syuur). Sementara semua orang memiliki perasaan dan perasaan orang berbeda.


Ilmu Akidah tidak langsung tercatat dan terbukukan di zaman Nabi SAW. Sama halnya dengan Usul Fikih, Ilmu Akidah tercatat setelah periode itu. Tapi walaupun belum terbukukan sebagai ilmu utuh, bukan berarti para sahabat di zaman Nabi tidak berakidah. Logikanya, bukan berarti sebelum ada al-Umm¹sahabat tidak ber-usulfikih. Untuk lebih lengkapnya pembaca bisa membaca buku-buku sejarah teologi Islam, seperti buku al-Qaul as-Sadid, dalam beberapa babnya dan kitab-kitab lainnya yang muktamad.

 

Adapun Logika, terkhusus Ilmu Logika Klasik merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang dibuat oleh Aristoteles². Ilmu ini dibuat untuk menjaga kemampuan berpikir seseorang agar terhindar dari kesalahan berpikir. Seperti pembuktian apakah manusia termasuk genus animale? Proposisi ini bisa kita buktikan dengan merangkai silogisme, “Setiap manusia memiliki potensi berpikir. Setiap yang memiliki potensi berpikir masuk dalam kategori animale. Maka konklusinya manusia termasuk genus animale.” Ini baru salah satu dari sekian banyak penerapan yang dipakai dari Ilmu Logika. Untuk lebih rincinya pembaca bisa mendalaminya di beberapa kitab yang membahasnya seperti buku Mantiq Shuri karya Grand Syeikh Azhar, Ahmad Thayyib. Dalam pembahasan selanjutnya kita akan membahas tentang beberapa pertanyaan paradoksial yang dalam Ilmu Logika merupakan pertanyaan yang rancu dan tidak sesuai dengan ketentuan dan kaidah ilmu tersebut.


2. Beberapa Pertanyaan Paradoksial

i. Apakah Tuhan itu Substansi?

Para pakar teologi mengistilahkan substansi dengan “Jauhar”. Apa itu jauhar?  Dari beberapa definisi Jauhar bisa diartikan beberapa makna. Jauhar merupakan bagian yang sudah tidak bisa dibagi lagi. Ia bukan atom, karena atom sendiri masih bisa dibagi menjadi proton, neutron, dan elektron. Jauhar juga merupakan merupakan bagian pembentuk materi (jism³). Jauhar dia menjadi ada dengan sendirinya. Maka dari itu sebagian pakar menjelaskannya dengan kalimat al-maujud la fi al-maudhu’ Berbeda dengan aradh, aradh itu almaujud fi al-maudhu. Dia menjadi ada akan tetapi butuh kepada objek lain. Semisal “makan”. Coba kita visualkan kata makan. Yang dalam imajinasi kita pasti ada seorang manusia yang sedang makan nasi misalnya. Bisakah kita membayangkan konsep yang dihadirkan kata “makan” tanpa ada visualisasi manusianya? Dengan tegas kita katakan tidak. Dikarenakan ketika kita membaca kata “makan” secara otomatis dalam pikiran kita akan tergambar sesorang yang sedang makan. Itu aradh. Dia butuh objek lain untuk bisa berwujud. Contoh yang lain saya rasa sangat banyak, seperti berjalan, membaca, hitam, putih, kasar, halus, enak, harum, bau, tebal, terang dan sebagainya.


Masuk ke dalam pembahasan tadi. Apakah Tuhan itu substansi? Apakah dia aradh? Dengan tegas kita katakan tidak? Mengapa. Karena Tuhan bukan bagian pembentuk zat lain. Jika Tuhan merupakan bagian pembentuk zat lain. Maka Tuhan menjadi juz (entitas pembentuk) dan zat lain tersebut menjadi kull (entitas utuh). Secara otomatis, jika kita asumsikan Tuhan merupakan bagian pembentuk zat lain, maka Tuhan lebih kecil dari zat lain tersebut, zat lainnya lebih besar dari Tuhan. Silogisme semacam ini tertolak secara akal. Pertama, Tidak mungkin ada sesuatu yang lebih Maha Besar dari Tuhan. Kedua, Tuhan memang tak bisa diukur, besar kecilnya. Sesuatu yang memiliki besar kecil itu memiliki volume. Yang memiliki volume pasti makhluk. Konklusinya Tuhan bukan makhluk karena Tuhan tak memiliki volume.


ii. Bagaimana Rupa Tuhan?

Pertanyaan seperti ini tertolak secara akal. Karena kita menisbahkan kata “rupa” kepada Tuhan. Tuhan tidak memiliki rupa. Berbeda halnya dengan makhluk, manusia misalnya. Dia memiliki rupa khusus. Manusia memiliki wajah, badan, dua tangan, dua kaki dan lainnya. Makhluk jika memiliki rupa, maka ia terbatas. Apa maksudnya? Semisal manusia, ia miliki rupa. Salah satu dari rupanya manusia memiliki dua tangan, katakanlah Budi lagi. Budi memegang laptop di tangan kanan, memegang buku di tangan kiri. Bisakah Budi memegang sepatu futsal dengan tangan ketiga? Jawabannya tidak bisa. Masuk akal bukan. Juga manusia memiliki 2 kaki. Langkahnya terbatas, hanya beberapa senti saja tiap manusia melangkah. Maka dari itu kita harus menampikkan semua keterbatasan itu kepada Tuhan. Karena Tuhan zat yang tidak terbatas.


Jika Tuhan memiliki rupa, otomatis Tuhan memiliki kualitas (kaifiyyat) dan kuantitas (kammiyyat). Tuhan tidak terbatas oleh angka-angka tertentu. Berapa tinggi Tuhan? Maka kita harus mengukurnya dengan satuan panjang. Berapa berat Tuhan? Kita mengukurnya dengan satuan berat. Sedangkan Tuhan tidak memiliki berat, tidak memiliki tinggi, karena segala yang memiliki berat dan tinggi itu merupakan sifat makhluk. Tuhan terlepas dari itu semua. Dinukil oleh Al-Baihaqi di Al-Asma’ wa As-Shifat dari perkataan Abu Sulaiman Al-Khaththabi:


" أن الذي يجب علينا وعلى كل مسلم أن يعلمه أن ربنا ليس بذي صورة ولا هيئة فإن الصورة والهيئة تقتصي الكيفيات وهي عن الله وعن صفاته منفية."

"Pengetahuan yang wajib dilekatkan di pikiran setiap muslim adalah Tuhan kita (agama Islam) itu tidak terikat dengan visual tertentu, tidak terikat dengan rupa tertentu dan bentuk tertentu. Yang dimana visual, rupa, dan bentuk menghendaki adanya kualitas tertentu. (Premis) semacam itu tertolak jika kita nisbahkan kepada Allah dan sifat-sifatnya.”


 iii. Tuhan terbentuk dari apa?

Jika pertanyaan seperti ini dilontarkan, maka kita meniscayakan Tuhan memiliki bagianbagian. Sementara Tuhan itu tidak terbagi, tersusun, terbuat, terbangun dari apapun, dalam buku-buku teologi disebutkan, “la mutaba’’idh, wa la ma’dud, wa la mutajazzi’, wa la mutarakkib.”. Tuhan tidak tersusun, karena jikalau Ia tersusun maka Ia berbilang. Tuhan tidak terbangun, karena jika ia terbangun dari bagian-bagian yang lebih kecil, maka Tuhan bisa terurai.

iv. Lalu, di mana Tuhan itu?

Tuhan tidak bertempat, karena jika Tuhan bertempat, Ia menjadi terbatas dan butuh kepada jarak. Kebertempatan tidak bisa kita nisbahkan kepada Tuhan. Karena dengan kebertempatan, zat tertentu menjadi memiliki jarak. “Rumah saya bertempat di sebelah sekolah”, maknanya, “Rumah saya memiliki jarak yang relatif dekat dengan sekolah.” Secara aksiomatik tidak benar kita mengkaitkan kebertempatan kepada Tuhan. Jika kita asumsikan Tuhan berada di tempat tertentu, lalu siapa yang ada di samping Tuhan? Di depan Tuhan? Di belakang dan seterusnya. Jika kita mencoba mengkaitkan kebertempatan kepada substansi tertentu, niscaya kita akan memvisualisasikan siapa/apa saja yang berada di sekitarnya. Pertanyaan semacam ini cacat atau paradoks secara logika.

Lalu bagaimana dengan ayat Quran yang menyebutkan Allah itu ada di Arsy? Allah berfirman,

 الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى [طه: ٥].

“(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy.”

 ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ  [الأعراف: ٥٤، يونس: ٣، الرعد: ٢، الفرقان: ٥٩، السجدة: ٤، الحديد: ٤].

“kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”

Apakah ayat-ayat ini bermakna Tuhan bersemayam di atas langit, yang jika dipahami secara leterlek maka Tuhan memiliki kebertempatan? Dengan tegas kita jawab tidak. Perhatikan tafsir-tafsir yang akan penulis sampaikan.


Istiwa (masdar dari kata istawa) memiliki makna istila yaituBanyak para pakar membahas tentang ayat ini. Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah mengatakan: “Kita beriman dengan Khabar Allah (Qur’an) yang mengatakan: Allah itu bersemayam di atas ‘Arsy. Kita tidak bisa mengubah kalimat Tuhan (satu huruf pun).”  Imam Malik berkata: “Al-Istiwa ma’lum wa Al-kaif majhul”. Allah bersemayam kita tahu ayat itu ada, akan tetapi bagaimana bersemayamnya itu yang tidak bisa ditakar oleh akal manusia. Al-Iji bin Abdul Aziz Al-Kannani juga mengatakan hal yang serupa dengan berbeda diksi: “la yu’qalu minhu kaif, wa la yujhalu minhu al-istiwa.” Semuanya bermakna ril (haqiqah) bukan metafor, bermakna ril, bermakna nonmetafor bukan berarti posisi tempat Tuhan ada di atas. Sehingga ada beberapa pakar yang menakwil ayat itu, bahwa kedudukan dan keagungan Tuhan lebih tinggi dari siapapun. Inferensi lain yang membuktikan bahwa Tuhan tidak bertempat banyak sekali, penulis sengaja memangkasnya karena akan butuh puluhan halaman untuk menyempurnakan pembahasannya.


Selanjutnya kita akan memakai silogisme simpel. Jika Tuhan bertempat, maka Tuhan membutuhkan kepada zat lain yang ukurannya lebih besar dari Dia agar Dia bisa bertempat di dalamnya. Semisal manusia, Ia butuh kepada sesuatu yang lebih besar dari tubuh dia, yaitu rumah. Rumah tidak bisa dianggap sebagai rumah dan ditempati oleh manusia jika rumah tersebut lebih kecil dari manusianya. Manusianya harus lebih kecil dari rumah dan rumahnya harus lebih besar. Lagi pula jika Tuhan memiliki kebertempatan, Tempat tersebut harus ada terlebih dahulu ketimbang Tuhan. Dan semua itu tertolak dengan dalil yang mengatakan bahwa Tuhan itu qidam.


Tuhan tidak memerlukan tempat. Jika ia tidak memerlukan tempat, secara otomatis ia tidak memiliki arah, Ia tidak di atas, tidak pula di bawah, di kiri, kanan, dalam, dan di luar. Karena semua itu arah, dan kepemilikan arah merupakan sifat makhluk bukan khalik.


Mujassimah berpandangan justru tidak apa-apa, apa masalahnya Tuhan memiliki arah di atas. Karena di atas menunjukkan kesempurnaan dan berada di bawah menunjukkan sifat kekurangan. Jawabannya justru di atas juga menunjukkan bahwa Tuhan memiliki sifat kurang, sehingga Tuhan terbatas. Tuhan harus berada di tempat tertentu dahulu baru menjadi ada. Semua itu tertolak dari sifat ketuhanan.


Tuhan tidak berada di alam semesta, pula alam semesta bukan bagian dari Tuhan seperti yang dikatakan dalam panteisme. Tuhan pun tidak berada di luar alam semesta. Karena jika Tuhan berada di luar alam semesta, maka antara Tuhan dan alam semesta ada jarak. Secara otomatis ketika muncul jarak, tercipta lagi visual tempat yang menempati antara Tuhan dan alam semesta tersebut.


v. Sejak kapan Tuhan ada?

Tidak ada sejak bagi Tuhan. Karena jika kita meniscayakan ada sejak di entitas tertentu, maka sebelum sejak tersebut entitas itu belum ada. Sejak kapan penulis ada, sejak 25 Desember 2001, maka sebelum waktu itu, penulis belum ada. Apa yang dilakukan penulis ketika ia tidak ada? Jelas jawabannya tidak melakukan apa-apa. Mengapa? Karena eksistensinya belum ada. Jika kita menanyakan sejak kepada zat Tuhan, maka kita meniscayakan ketiadaan Tuhan sebelum ada-Nya dan semua itu tertolak. Sifat waktu pun selalu bergerak dan berubah-ubah. Anda baca paragraf pertama dan paragraf ini pun waktunya berbeda beberapa menit. Anda baca kalimat ini pun berbeda waktunya dengan membaca kalimat sebelumnya. Anda kemudian baca kalimat ini dengan waktu saya (penulis) menulis pun berbeda. Tidak bisa dilakukan secara bersamaan dalam waktu yang sama. Anda membaca tulisan ini, berbarengan di saat saya menulisnya itu mustahil. Saya dulu menulis baru Anda membacanya. Kita terbatas oleh waktu. Tuhan, tidak terbatas oleh itu.


vi. Lalu Tuhan seperti apa? Dia mirip siapa?

Tuhan tidak serupa dengan siapa-siapa. Setiap siapa-siapa yang memiliki rupa, dia itu makhluk. Sedangkan Tuhan bukan makhluk. Maka, konklusinya Tuhan tidak memiliki rupa. Pertanyaan berikut tertolak secara akal logika dan teologis, Tuhan berfirman:

ليس كمثله شيء وهو السميع البصير [الشورى: ١١].

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.”

Lagipula, pada pembahasan sebelumnya, banyak dari sifat-sifat makhluk yang telah dibahas, ruang, waktu, jarak, yang kesemuanya itu merupakan alat-alat untuk mengukur sifafsifatnya makhluk. Lalu bagaimana dengan Yesus, Budha, Zeus dan sebagainya? Itu teologi non-Islam. Alat timbangnya berbeda, bukan domain akidah Islam. Jadi rasanya kurang bijak untuk mengukur benar salahnya suatu dogma, dengan tanpa alat ukur kepercayaan orang lain tersebut.


C. Kesimpulan

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan rancu yang beredar di lingkungan sosial. Tuhan dimana? Seperti apa, yang kesemuanya itu telah terjawab sebelumnya dengan silogisme-silogisme yang menggunakan kaidah Ilmu Logika Klasik di sub-sub pembahasan sebelumnya. Saya harap dengan pemaparan yang disampaikan penulis dapat memantik ketertarikan Anda (pembaca) untuk membaca tulisan-tulisan lebih lanjut, baik dari buku-buku teologi maupun referensi-referensi logika klasik yang lebih besar, padat, dan komprehensif. Mengutip perkataan Sabrang, “Ibu dari pengetahuan adalah attention. Dan ibu dari atensi adalah interest (ketertarikan).” Sekian.

[1] Sebuah kitab pertama karangan Muhammad bin Idris (Imam Syafii) yang membahas tentang Usul Fikih, sebuah cabang ilmu yang membahas tata cara pembuatan legitimasi dalam hukum Islam

[2] Walaupun ada beberapa pendapat di sana, ada yang mengatakan Socrates lah yang mencetuskan awal Ilmu Logika Klasik, Aristo hanya membukukan saja pendapat dan pembahasan yang beredar 

[3] Zat yang membutuhkan tempat dan waktu

[4] Yang dimaksud dengan “ada dengan sendiri” dengan kehendak sifat penciptaan Tuhan pastinya

[5] https://www.aqaed.com/faq/4910/

[6] Semuanya memiliki makna yang sama yaitu zat yang terdiri dari satu atau beberapa bagian/susunan  

[7] Telah ada sebelum semuanya ada. Bahkan telah ada sebelum kata “ada” itu ada

[8] Nama lainnya Muqatiliyyah, merupakan pengikut mazhab Muqatil bin Sulaiman yang berpandangan Tuhan itu memiliki bentuk seperti manusia  


Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "Menyoal Pertanyaan-pertanyaan Teologis Paradoksial; Sebuah Esai Studi Akidah dan Logika"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel