Meja Dekat Jendela
Oleh: Aisyah Zahrotul Lailah
Hari sudah malam, di luar sana rintikan air masih berjatuhan, sisa hujan yang terus mengguyur sedari sore. Riki hanya bisa menatap lesu pada meja yang dekat dengan jendela yang entah kapan ia selesai akan pekerjaannya tersebut.
Kalau saja bukan dia
yang bertanggungjawab atas kantor ini, pasti dia sudah meninggalkan kantor ini
dari beberapa jam yang lalu. Minggu pertama di hari ke lima sejak ia bekerja
menjadi karyawan. Tidak disangka pekerjaannya akan sangat melelahkan.
Tidak ada siapapun di
sana kecuali dia dan satu-satunya karyawan yang masih bekerja sejak pagi tadi.
Entah apa yang sedang dikerjakan oleh orang itu, Riki tidak begitu tertarik
untuk mencari tahu.
"Tek... tek...
tek..."
Terdengar suara
seperti wajan yang ditabuh di luar sana. Benar saja, seorang pedagang nasi
goreng keliling kebetulan lewat. Riki langsung bergegas keluar sambil menyambar
sebuah payung yang tergeletak di dekat pintu.
"Nasi goreng, Mas?"
Tanya pedagang tersebut begitu Riki sudah mendekat.
"Iya, bang. Satu
aja dibungkus, pedas ya, bang!". Sahut Riki singkat.
"Masnya belum
lama kerja di gedung ini ya? Kayanya saya baru kali ini lihat, biasanya yang
jaga malam orang lain."
Riki hanya mengangguk
sembari mengiyakan, lalu mereka mulai mengobrol hal-hal ringan sambil menunggu
nasi goreng siap.
"Nggak ada yang
aneh-aneh, kan?
Maksudnya, itu..... Bukannya saya mau
nakut-nakutin masnya, tapi kadang ada karyawan yang katanya dari alam seberang.
Makanya yang kerja di sini jarang ada yang bertahan lama."
"Ah, yang bener,
bang. Masa sih ada kejadian kayak gitu?". Selidik Riki karena merasa
penasaran.
"Kalau kata
beberapa karyawan yang sebelumnya bekerja di sini sih, seringnya pas hari hujan
dan kantor sepi, biasanya ada salah satu karyawan yang betah di kantor sampai
dini hari. Anehnya, karyawan itu selalu duduk di meja dekat jendela. Ucap penjual
nasi goreng itu sambil setengah berbisik.
"Masa iya sih,
bang? Abangnya pasti bercanda kan?"
"Iya itu sih
terserah masnya aja, mau percaya apa nggak. Walaupun cuma mengerjakan
pekerjaannya sampai akhir subuh dan nggak ngapa-ngapain, tapi kan tetep aja
ngeri. Kata yang bekerja sebelumnya, karyawan itu mukanya pucat, tatapannya
kosong, dan jarang banget mau ngomong. Kabarnya sih, arwah gentayangan yang
dulu meninggal di meja dekat jendela karena kebakaran."
"Kebakaran? Yang
bener aja, bang!!!" Timbal Riki sambil berusaha terlihat biasa saja.
“Saya kurang tahu
detailnya mas, itu udah lumayan lama, pas gedung ini baru buka." Ujar
abang-abang penjual itu sambil memberikan sebungkus nasi goreng yang barusan
siap. “Uangnya pas, ya. Makasii mas.”
Riki agak ragu dengan
apa yang dia dengar barusan, meski entah bagaimana apa yang dia alami, hari ini
benar-benar persis seperti yang dikatakan oleh penjual tadi.
“Bodo amatlah, paling
juga abang-abang tadi cuma bercanda." Gumam Riki sembari membuka bungkusan
nasi goreng yang masih mengepulkan asap.
“Jajan nasi goreng
lu? Bukan dari penjual keliling yang orangnya agak tinggi, rambut agak ikal
terus logatnya medok, kan?” Tanya Faren, anaknya bos yang baru kali ini Riki
bertemu langsung dengannya. Berkat foto yang diletakkan di atas meja, Riki bisa
langsung tahu jika laki-laki yang kini berdiri di depannya adalah anak dari
bosnya.
Riki nyaris tersedak
karena kaget, buru-buru diambilnya air mineral kemasan di sudut meja.
“Memangnya kenapa,
bang?” tanya Riki sambil menata nafasnya.
“Bokap gue belum
pernah cerita ya? Kalo dulunya ada pedagang nasi goreng keliling yang meninggal
karena kecelakaan, tepat di depan sana. Kalo kebetulan ada penjual nasgor
keliling yang punya ciri-ciri kayak gue bilang tadi, mending jangan beli, noleh
juga jangan!”
“Ah masa iya sih,
bang?”
Riki mulai panik,
tapi dia masih bisa menyembunyikan ekspresinya. Entah mana cerita yang benar,
dia harap dua-duanya hanya cerita karangan.
“Iya serah lu dah,
percaya apa kaga. By the way gue mau ke ruang gue dulu ya, itu kalo ntar
karyawan di meja sebelah jendela udah selesai, langsung pulang aja, sekalian
kunci pintu ruangan ini.”
Riki hanya bisa
menatap Faren yang pergi ke belakang dengan raut wajah bingung. Ciri-ciri dari
pedagang tadi memang persis seperti yang dijelaskan barusan dan saat Riki
mengingat-ingat lagi kejadian barusan, anehnya dia tidak bisa mengingat dengan
jelas wajah dari pedagang keliling sebelumnya.
“Nggak mungkin, kan?”
Gumamnya sambil melihat kertas pembungkus nasi di tempat sampah.
Riki menghela napas
lega, lalu sedikit tertawa pada akhirnya. Bisa-bisanya dia khawatir jika sisa
nasi di kertas tersebut akan berubah menjadi serangga atau hal lain seperti di
film-film horor.
Riki buru-buru
melihat jam di ruang kantornya. Dia menghela napas lega, jam setengah dua belas
kurang, dan hujan pun sudah reda, akhirnya Riki bisa pulang dan istirahat.
Sesaat kemudian dia
teringat dengan cerita dari pedagang nasi goreng sebelumnya, tiba-tiba Riki
agak cemas ketika suara langkah kaki terdengar dari meja dekat jendela.
Reflek seketika dia
menelan ludah, perempuan yang tengah berjalan ke arahnya memang agak terlihat
pucat. Dalam hati dia ingin memastikan dengan melihat ke arah lantai, tapi
diurungkan karena merasa tidak enak.
“Maaf ya ka, saya
lama, karna saya, kaka jadi nunggu lama. Kerjaan saya banyak, ka. Si bapak
sehat-sehat aja, kan?". Tanya perempuan itu dengan nada datar.
“Si Bapak?”. Tanya
Riki karena belum paham.
“Itu … maksudnya bos
di sini.”
“Ohh, kelihatannya
sih sehat-sehat aja, tapi bos mukanya emang kayak gitu sih, jadi nggak begitu
kelihatan.”
“Kayak dingin, murung
dan minim ekspresi gitu, kan? Padahal dulunya sih bos ramah banget, terus murah
senyum loh. Bos dulu sering mampir ke kantor, nemenin karyawannya yang masuk shift
malam. Setelah kejadian itu hampir nggak pernah ke kantor sama sekali.”
Riki mengernyitkan
dahinya. Masa sih, orang yang dulunya ramah dan murah senyum sekarang terlihat
sebaliknya. Cerita yang barusan dia dengar juga kesannya terlalu mengada-ada.
Jelas-jelas Bang Faren baru saja pergi ke ruangannya tadi.
"Bos emang jadi
gitu, ka. Tepatnya setelah anaknya meninggal gara-gara kantor ini kebakaran dan
kebetulan dia lagi tidur setelah jaga malam." Papar perempuan itu sambil
melihat ke arah foto yang dipajang di atas meja.
“Saya pulang duluan
ya, ka”. Kata perempuan itu.
Riki merasa pastinya
ada yang salah, tiga orang dengan cerita yang saling berlawanan. Lebih masuk
akal jika dia sedang dikerjai, tapi bercanda dengan membawa kematian merupakan
hal yang dirasa berlebihan dan menimbulkan tanda tanya. Satu-satunya yang bisa
dia lakukan adalah memastikannya sendiri. Sambil menata napasnya, Riki berjalan
ke ruangannya dengan pelan. Dan kebetulan bos punya kamar di kantornya.
“Kok, sepi. Apa Bang
Faren udah tidur di kamar belakang?” Gumamnya sekadar mengurangi rasa takut.
Tubuhnya serasa
membeku saat melihat kamar di belakang justru digembok dari luar. Apalagi
bentuk gembok itu seperti sudah lama terkunci.
"Bang Faren,
jangan bercanda, lah. Nggak lucu." Ujar Riki dengan suara bergetar.
Anehnya, bahkan di toilet dan ruang lain tidak ada siapa-siapa.
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Meja Dekat Jendela"
Posting Komentar