Antara Kehormatan
dan Kejahatan: Sulitnya mencari nilai netral dalam Fenomena Honor Killings
Oleh:
Hafidz Iman
Honor killing
atau pembunuhan atas nama kehormatan sering kali dilihat sebagai bentuk ekstrem
dari upaya menjaga nama baik keluarga. Praktik ini berakar pada budaya
patriarki yang menempatkan kehormatan keluarga di atas hak individu, terutama
perempuan. Namun, dalam kerangka nilai universal seperti hak asasi manusia,
tindakan ini menimbulkan paradoks: bagaimana sebuah keburukan seperti
pembunuhan dapat dianggap bermoral dalam konteks tertentu?
Tulisan ini akan mengeksplorasi fenomena honor killing melalui teori nilai netral
dan relatif Garrett Cullity, untuk memahami konflik antara nilai budaya lokal
dan nilai universal yang mendasarinya.
Honor Killing adalah
pembunuhan yang dibingkai oleh pembenaran kultural bahwa setiap anggota
keluarga laki-laki berhak untuk membunuh anggota keluarga perempuan apabila
teridentifikasi melakukan pelanggaran yang dinilai telah merusak kehormatan
keluarga. Pembunuhan dilakukan bisa berupa penembakan, penusukan, ataupun yang
lainnya. Salah satu contoh kasus terjadi ada tahun 2020 di Bantaeng, Sulawesi
Selatan. Warga digemparkan dengan kasus pembunuhan seorang anak perempuan bernama Rosmini
dibunuh oleh keluarganya sendiri. Ia dituduh mencemarkan kehormatan keluarga karena
diduga melakukan hubungan seks di luar pernikahan.
Fenomena yang terjadi pada kasus Rosmini menuai
tanggapan yang beragam. Di satu sisi, budaya dan nilai-nilai yang telah
mengakar kuat dalam masyarakat cenderung melegitimasi praktik honor killing.
Tindakan ini dianggap sebagai respons wajar terhadap perilaku korban
yang dinilai merusak kehormatan keluarga. Akibatnya, pelaku tidak merasa
bersalah, dan masyarakat pun tidak memberikan stigma terhadap tindakan
tersebut. Namun, di sisi lain, tindakan tersebut tetap masuk dalam kategori
pembunuhan yang melanggar hukum pidana di banyak negara, sehingga memunculkan
konflik nilai.
Asal Muasal Fenomena Honor Killing
Sebenarnya, praktik honor killing memiliki
akar sejarah yang panjang. Matthew A. Goldstein dalam The Biological Roots
of Heat-of-Passion Crimes and Honor Killings menyebutkan bahwa hukum dalam
Undang-undang Hammurabi, salah satu prasasti hukum tertua di dunia (1750 SM),
menetapkan kewajiban bagi seorang suami untuk membunuh istrinya yang tidak
setia beserta selingkuhannya. Namun, akar permulaan fenomena ini banyak yang
beranggapan bermula dari Timur Tengah di negara Afghanistan dan Pakistan.
Namun,
dalam pandangan John Alan Cohan dalam Honor Killings And The Cultural
Defense praktik ini terekam pernah terjadi di beberapa negara Eropa
seperti, Turki, Israel, Britania Raya, Spanyol, dan Italia. Namun pendapat John
bisa dibantah oleh Johannes Beller dan Crishtoph Kroger yang menyatakan bahwa
Honor Killing yang terjadi di Eropa sebenarnya pelaku pembunuhannya berasal
dari Keluarga Imigran. Yakni keluarga dari Timur Tengah. Ironisnya, meskipun
banyak negara di dunia telah meratifikasi berbagai instrumen internasional
terkait hak asasi manusia (HAM), praktik honor killing masih tetap
meluas.
Kemudian, pertanyaan lain yang muncul adalah,
apakah tindakan tersebut berkaitan dengan praktik keagamaan?. Merujuk pada
tulisan Johannes Beller dan Crishtoph Kroger, Disentangling Honor-Based
Violence and Religion: The Differential Influence of Individual and Social
Religious Practice and Fundamentalism on Support for Honor Killings in a
Cross-National Sample of Muslims, ia menyatakan bahwa tindakan Honor
Killing tidak ada sama sekali kaitannya dengan praktik keagamaan apapun,
praktik tersebut adalah hasil dari modernitas dan marjinalisasi budaya.
Ketika Pembunuhan Dibingkai sebagai Kebaikan
Merujuk pada buku The Oxford Handbook
of Value Theory, Garrett Cullity memperkenalkan nilai netral dan nilai
relatif dapat di aktualisasikan pada konteks kehidupan. Ia menjelaskan bahwa
nilai relatif merupakan nilai yang
bergantung pada pesfektif individu, sementara nilai netral berlaku universal,
tanpa tergantung pada perspektif individu. Nilai
kehormatan seringkali menjadi landasan moral yang mendefinisikan identitas
individu dan keluarga. Dalam masyarakat yang masih mempraktikkan honor
killings, kehormatan dianggap sebagai tradisi atau aset sosial yang mesti dijaga
demi reputasi nama keluarga di dalam komunitas.
Dalam konteks honor killings yang terjadi
di beberapa negara Timur Tengah, bahkan di Indonesia, ungkapan “membunuh adalah
keburukan
yang bersifat netral” nampaknya tindakan tersebut tidak lagi menjadi netral
ketika berkaitan dengan konteks budaya di seuatu wilayah. Cullity menegaskan
bahwa, sesuatu yang dikatakan netral memiliki beberapa beberapa syarat: (1)
sesuatu dianggap netral, jika tidak melibatkan responden tertentu, dan tidak
bergantung pada individu tertentu (nonindexation). (2) sesuatu dianggap
netral jika semua orang setuju bahwa hal tersebut baik/buruk tanpa terkecuali.
(3) sesuatu dianggap netral jika benar-benar tidak memihak kemana pun dan pada
siapapun. (4) sesuatu dianggap netral jika melibatkan orang ketiga dalam
permasalahan, dan orang ketiga tersebut tidak memihak.
Jika kita mengacu pada syarat nilai netral yang
disebutkan dalam buku The Oxford Handbook of Value Theory, pada
umumnya, tindakan membunuh dianggap sebagai keburukan yang inheren. Manusia
secara umum sepakat bahwa hak untuk hidup adalah nilai fundamental yang harus
dihormati. Bahkan, agama Islam memerintahkan untuk menjaga diri (hifdz
an-nafs) dan melarang untuk membunuh makhluk apapun, terlebih manusia. Jika
kita mengikuti syarat yang dikemukakan Cullity seperti, “bisa dikatakan netral,
bilamana benar-benar tidak memihak pada siapapun dan kemanapun.” namun ternyata
honor killings justru dilakukan dengan memihak pada norma budaya dan
kepentingan keluarga. Hal ini terntu saja bertentangan dengan prinsip
netralitas yang tidak memihak kemana pun.
Oleh karena itu, kita tidak bisa menyatakan
bahwa tindakan pembunuhan demi mempertahankan nilai kehormatan dapat dianggap
sebagai keburukan yang sifatnya netral. Tindakan honor killings tersebut
malah jatuh ke ranah relative value. Sebab,
dalam penilaian hanya ada baik dan buruk. Secara universal, manusia pasti
akan mengatakan bahwa tindakan membunuh adalah keburukan. Namun, bagi
masyarakat yang melanggengkan honor killings di beberapa wilayah
memiliki filosofi sendiri, yaitu untuk menghindari rasa malu dan menjaga
kehormatan menjadi pedoman dalam tindakan seseorang, sekaligus berperan dalam
mempertahankan identitas unik mereka. Maka, bagi mereka pembunuhan dianggap
sebagai cara yang paling tepat untuk menebus kehormatan keluarga.
Bertahun-tahun sudah fenomena honor killings
langgeng di negara seperti Pakistan, Afghanistan, dan India. Namun nyatanya di
Indonesia ada tradisi yang masih mempertahankan tindakan tersebut sebagai
bentuk kehormatan keluarga. Yang perlu digaris bawahi pada fenomena ini adalah
meskipun “semua sepakat bahwa membunuh adalah sesuatu yang buruk perspektif neutral
value”, namun pada konteks wilayah tertentu yang masih melanggengkan
tradisi honor killings, tindakan tersebut seakan
menjadi nilai relatif. Hal ini lah yang memunculkan paradoks, di satu sisi, pembunuhan
melanggar nilai universal hak untuk hidup. Namun, di sisi lain, dalam konteks
budaya tertentu, pembunuhan dianggap bermoral jika dilakukan demi menjaga
nilai-nilai yang dianggap fundamental seperti menjaga kehormatan dan nama baik
keluarga.
Namun, penting untuk dicatat bahwa relativitas
nilai dalam fenomena ini bukan berarti bentuk pembenaran moral. Perspektif nilai relatif dapat
membantu kita memahami fenomena ini secara kontekstual, tetapi tidak menghapus
kewajiban untuk menilai dampaknya terhadap nilai universal seperti hak asasi
manusia. Dengan demikian, pendekatan filosofis terhadap honor killings
harus mencakup refleksi kritis terhadap konflik antara nilai universal dan
nilai lokal.
Referensi
Cullity,
Garrett., 2015, Neutral and Relative Value in The Oxford Handbook of Value
Theory, United States of America: Oxford University Press.
Dinal
Maula, Haris Fatwa., 2021, Kehormatan atau Kejahatan? “Honor Killings”
dalam Perspektif CEDAW, https://crcs.ugm.ac.id/kehormatan-atau-kejahatan-honor-killings-dalam-perspektif-cedaw/
diakses pada tanggal 7 Desember 2024 pukul 10.22
Kulczycki, Andrzej.,
Windle, Sarah., 2011, Honor Killings in the Middle East and North Africa: A
Systematic Review of the Literature, Sage Journal.
Singh,
Deler., Bhandari, S. Dipali., 2021, Legacy of Honor and Violence: An
Analysis of Factors Responsible for Honor Killings in Afghanistan, Canada,
India, and Pakistan as Discussed in Selected Documentaries on Real Cases, Sage
Journal.
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Antara Kehormatan dan Kejahatan: Sulitnya mencari nilai netral dalam Fenomena Honor Killings"
Posting Komentar