Antara Kehormatan dan Kejahatan: Sulitnya mencari nilai netral dalam Fenomena Honor Killings

Oleh: Hafidz Iman

hafidziman2000@mail.ugm.ac.id

Honor killing atau pembunuhan atas nama kehormatan sering kali dilihat sebagai bentuk ekstrem dari upaya menjaga nama baik keluarga. Praktik ini berakar pada budaya patriarki yang menempatkan kehormatan keluarga di atas hak individu, terutama perempuan. Namun, dalam kerangka nilai universal seperti hak asasi manusia, tindakan ini menimbulkan paradoks: bagaimana sebuah keburukan seperti pembunuhan dapat dianggap bermoral dalam konteks tertentu? Tulisan ini akan mengeksplorasi fenomena honor killing melalui teori nilai netral dan relatif Garrett Cullity, untuk memahami konflik antara nilai budaya lokal dan nilai universal yang mendasarinya.

Honor Killing adalah pembunuhan yang dibingkai oleh pembenaran kultural bahwa setiap anggota keluarga laki-laki berhak untuk membunuh anggota keluarga perempuan apabila teridentifikasi melakukan pelanggaran yang dinilai telah merusak kehormatan keluarga. Pembunuhan dilakukan bisa berupa penembakan, penusukan, ataupun yang lainnya. Salah satu contoh kasus terjadi ada tahun 2020 di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Warga digemparkan dengan kasus pembunuhan seorang anak perempuan bernama Rosmini dibunuh oleh keluarganya sendiri. Ia dituduh mencemarkan kehormatan keluarga karena diduga melakukan hubungan seks di luar pernikahan.

Fenomena yang terjadi pada kasus Rosmini menuai tanggapan yang beragam. Di satu sisi, budaya dan nilai-nilai yang telah mengakar kuat dalam masyarakat cenderung melegitimasi praktik honor killing. Tindakan ini dianggap sebagai respons wajar terhadap perilaku korban yang dinilai merusak kehormatan keluarga. Akibatnya, pelaku tidak merasa bersalah, dan masyarakat pun tidak memberikan stigma terhadap tindakan tersebut. Namun, di sisi lain, tindakan tersebut tetap masuk dalam kategori pembunuhan yang melanggar hukum pidana di banyak negara, sehingga memunculkan konflik nilai.

 

Asal Muasal Fenomena Honor Killing

Sebenarnya, praktik honor killing memiliki akar sejarah yang panjang. Matthew A. Goldstein dalam The Biological Roots of Heat-of-Passion Crimes and Honor Killings menyebutkan bahwa hukum dalam Undang-undang Hammurabi, salah satu prasasti hukum tertua di dunia (1750 SM), menetapkan kewajiban bagi seorang suami untuk membunuh istrinya yang tidak setia beserta selingkuhannya. Namun, akar permulaan fenomena ini banyak yang beranggapan bermula dari Timur Tengah di negara Afghanistan dan Pakistan. Namun, dalam pandangan John Alan Cohan dalam Honor Killings And The Cultural Defense praktik ini terekam pernah terjadi di beberapa negara Eropa seperti, Turki, Israel, Britania Raya, Spanyol, dan Italia. Namun pendapat John bisa dibantah oleh Johannes Beller dan Crishtoph Kroger yang menyatakan bahwa Honor Killing yang terjadi di Eropa sebenarnya pelaku pembunuhannya berasal dari Keluarga Imigran. Yakni keluarga dari Timur Tengah. Ironisnya, meskipun banyak negara di dunia telah meratifikasi berbagai instrumen internasional terkait hak asasi manusia (HAM), praktik honor killing masih tetap meluas.

Kemudian, pertanyaan lain yang muncul adalah, apakah tindakan tersebut berkaitan dengan praktik keagamaan?. Merujuk pada tulisan Johannes Beller dan Crishtoph Kroger, Disentangling Honor-Based Violence and Religion: The Differential Influence of Individual and Social Religious Practice and Fundamentalism on Support for Honor Killings in a Cross-National Sample of Muslims, ia menyatakan bahwa tindakan Honor Killing tidak ada sama sekali kaitannya dengan praktik keagamaan apapun, praktik tersebut adalah hasil dari modernitas dan marjinalisasi budaya.

 

Ketika Pembunuhan Dibingkai sebagai Kebaikan

Merujuk pada buku The Oxford Handbook of Value Theory, Garrett Cullity memperkenalkan nilai netral dan nilai relatif dapat di aktualisasikan pada konteks kehidupan. Ia menjelaskan bahwa nilai relatif  merupakan nilai yang bergantung pada pesfektif individu, sementara nilai netral berlaku universal, tanpa tergantung pada perspektif individu. Nilai kehormatan seringkali menjadi landasan moral yang mendefinisikan identitas individu dan keluarga. Dalam masyarakat yang masih mempraktikkan honor killings, kehormatan dianggap sebagai tradisi atau aset sosial yang mesti dijaga demi reputasi nama keluarga di dalam komunitas.

Dalam konteks honor killings yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah, bahkan di Indonesia, ungkapan “membunuh adalah keburukan yang bersifat netral” nampaknya tindakan tersebut tidak lagi menjadi netral ketika berkaitan dengan konteks budaya di seuatu wilayah. Cullity menegaskan bahwa, sesuatu yang dikatakan netral memiliki beberapa beberapa syarat: (1) sesuatu dianggap netral, jika tidak melibatkan responden tertentu, dan tidak bergantung pada individu tertentu (nonindexation). (2) sesuatu dianggap netral jika semua orang setuju bahwa hal tersebut baik/buruk tanpa terkecuali. (3) sesuatu dianggap netral jika benar-benar tidak memihak kemana pun dan pada siapapun. (4) sesuatu dianggap netral jika melibatkan orang ketiga dalam permasalahan, dan orang ketiga tersebut tidak memihak.

Jika kita mengacu pada syarat nilai netral yang disebutkan dalam buku The Oxford Handbook of Value Theory, pada umumnya, tindakan membunuh dianggap sebagai keburukan yang inheren. Manusia secara umum sepakat bahwa hak untuk hidup adalah nilai fundamental yang harus dihormati. Bahkan, agama Islam memerintahkan untuk menjaga diri (hifdz an-nafs) dan melarang untuk membunuh makhluk apapun, terlebih manusia. Jika kita mengikuti syarat yang dikemukakan Cullity seperti, “bisa dikatakan netral, bilamana benar-benar tidak memihak pada siapapun dan kemanapun.” namun ternyata honor killings justru dilakukan dengan memihak pada norma budaya dan kepentingan keluarga. Hal ini terntu saja bertentangan dengan prinsip netralitas yang tidak memihak kemana pun.

Oleh karena itu, kita tidak bisa menyatakan bahwa tindakan pembunuhan demi mempertahankan nilai kehormatan dapat dianggap sebagai keburukan yang sifatnya netral. Tindakan honor killings tersebut malah jatuh ke ranah relative value. Sebab, dalam penilaian hanya ada baik dan buruk. Secara universal, manusia pasti akan mengatakan bahwa tindakan membunuh adalah keburukan. Namun, bagi masyarakat yang melanggengkan honor killings di beberapa wilayah memiliki filosofi sendiri, yaitu untuk menghindari rasa malu dan menjaga kehormatan menjadi pedoman dalam tindakan seseorang, sekaligus berperan dalam mempertahankan identitas unik mereka. Maka, bagi mereka pembunuhan dianggap sebagai cara yang paling tepat untuk menebus kehormatan keluarga.

Bertahun-tahun sudah fenomena honor killings langgeng di negara seperti Pakistan, Afghanistan, dan India. Namun nyatanya di Indonesia ada tradisi yang masih mempertahankan tindakan tersebut sebagai bentuk kehormatan keluarga. Yang perlu digaris bawahi pada fenomena ini adalah meskipun “semua sepakat bahwa membunuh adalah sesuatu yang buruk perspektif neutral value”, namun pada konteks wilayah tertentu yang masih melanggengkan tradisi honor killings, tindakan tersebut seakan menjadi nilai relatif. Hal ini lah yang memunculkan paradoks, di satu sisi, pembunuhan melanggar nilai universal hak untuk hidup. Namun, di sisi lain, dalam konteks budaya tertentu, pembunuhan dianggap bermoral jika dilakukan demi menjaga nilai-nilai yang dianggap fundamental seperti menjaga kehormatan dan nama baik keluarga.

Namun, penting untuk dicatat bahwa relativitas nilai dalam fenomena ini bukan berarti bentuk pembenaran moral. Perspektif nilai relatif dapat membantu kita memahami fenomena ini secara kontekstual, tetapi tidak menghapus kewajiban untuk menilai dampaknya terhadap nilai universal seperti hak asasi manusia. Dengan demikian, pendekatan filosofis terhadap honor killings harus mencakup refleksi kritis terhadap konflik antara nilai universal dan nilai lokal.

 

Referensi

Cullity, Garrett., 2015, Neutral and Relative Value in The Oxford Handbook of Value Theory, United States of America: Oxford University Press.

Dinal Maula, Haris Fatwa., 2021, Kehormatan atau Kejahatan? “Honor Killings” dalam Perspektif CEDAW, https://crcs.ugm.ac.id/kehormatan-atau-kejahatan-honor-killings-dalam-perspektif-cedaw/ diakses pada tanggal 7 Desember 2024 pukul 10.22

Kulczycki, Andrzej., Windle, Sarah., 2011, Honor Killings in the Middle East and North Africa: A Systematic Review of the Literature, Sage Journal.

Singh, Deler., Bhandari, S. Dipali., 2021, Legacy of Honor and Violence: An Analysis of Factors Responsible for Honor Killings in Afghanistan, Canada, India, and Pakistan as Discussed in Selected Documentaries on Real Cases, Sage Journal.

 

 

 

Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "Antara Kehormatan dan Kejahatan: Sulitnya mencari nilai netral dalam Fenomena Honor Killings"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel