Mendengar kata uqûq (durhaka), secara spontan pikiran kita akan tertuju pada uqûq terhadap orang tua.Namun banyak orang yang malah tidak tahu, bahwa ada sisi uqûq lain yang ada dalam hubungan keluarga. Ialah uqûq terhadap anak.
    Tidak dapat dipungkiri bahwa, setiap anak wajib mentaati orang tuanya. Karena taat padanya, sama saja dengan taat kepada Allah. Begitu pula menyakitinya termasuk dalam katagori dosa besar, bahkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis dikatakan lebih besar dari syirik kepada Allah Swt..
Hal tersebut dikuatkan dengan firmah Allah Swt. dalam al-Qur’an “Dan sembahlah dan janganlah engkau mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada orang tua…”, juga sabda Rasulullah Saw. “maukah kamu sekalian aku beri tahu sepaling-paling besarnya dosa? —mengulangnya tiga kali—, sahabat menjawab:”baik, wahai Rasulullah Saw.”. “menyekutukan Allah, mendurhkai orang tua.”
    Jika orang tau mempunyai hak untuk ditaati, diperlakukan dengan baik oleh anaknya —selain perbuatan-perbuatan yang dikatagorikan maksiat kepada Allah Swt.—, maka ketika anak tersebut mampu memenuhinya, ia dianggap sebagai anak yang taat pada orang tua. Namun sebaliknya, jika ia tidak mampu, ia digolongkan ke dalam orang-orang yang durhaka. Begitu pula anak, ia mempunyai hak-hak yang mesti dipenuhi oleh orang tuanya. Orang tua yang mampu memenuhin hak-hak anaknya, ia juga termasuk seperti golongan yang di atas, begitu pula sebaliknya.
    Hak anak terhadap orang tua itu lebih banyak dari hak orang tua terhadap anak. Jika hak-hak orang tua terhadap anaknya itu terhitung sejak si anak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk., Jika seorang anak dibebankan syariat sejak ia balig —artinya ada rentan waktu yang cukup lama sejak kelahirannya— maka hak anak terhadap orang tua itu tehitung sejak sebelum dilahirkannya si anak, bahkan sebelum ia menjadi janin dalam rahim ibunya. Hal tersebut karena hak-hak anak ada sejak calon bapak mulai memikirkan pernikahnnya dan bagaimana membangun keluarganya. Dari sini, calon bapak tersebut harus memilih pasangan yang sekiranya masuk dalam kriteria wanita solihah yang ia idamkan. Dalam hal ini Rasulullah Saw. menegaskan dalam sabdanya: “perempuan dinikahi karena empat perkara; harta, perangainya, kedudukan dan agamanya..”. ketika berniat untuk menikah, seorang muslim sudah sepatutnya menjadikan keinginannya tersebut untuk kebaikan agama, serta keistiqomahanya dalam menjalankan perintah Allah Swt.
    Jika harta, paras, serta kedudukan ada pada si calon pasangan tentunya baik. Namun, alangkah baiknya  ketika memilih pasangan, kriteria utamanya adalah yang baik agamanya. Karena hal tersebut adalah yang paling tepat. Dengannya, hak-hak keluarga mampu terpenuhi, ketentraman, kenyamanan, serta kasih sayang akan betah berada di rumah. sosoknya pula yang paling tahu tentang seluk beluk dalam rumah tangga, ketimbang sosok bapak yang lebih banyak menyibukan dirinya di luar untuk memenuhi kebutuhan keluarga, serta menyelesaikan segala masalah yang ada.
    Sementara, hak seorang anak ketika ia masih menjadi janin adalah ketika ia dalam kandungan, orang tuanya harus benar-benar menjaga, juga mengikuti pertumbuhannya. Ketika ia lahir, ia berhak untuk diberikan nama oleh orang tuanya, mendidiknya, mengajarkannya agama serta kebiasaan-kebiasaan baik lainnya, dan yang tidak kalah pentingnya mengawasi pergaulan juga budi pekertinya. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah Saw. “perintahkan anakmu untuk shalat ketika ia berumur 7 tahun, pukulah mereka ketika meninggakannya ketika berumur 10 tahun, serta pisahkan tempat tidurnya!”.
    Yang tidak bisa dilupakan dari hak anak terhadap orang tua adalah hak pemberian nafkah serta jaminan kehidupan; kebutuhan primer, seperti makan, pakaian dan tempat tinggal dengan tetap meninjau kemampuan ekonomi orang tua tersebut. dalsm hal ini, Rasulullah Saw. mengingatkan kita dalam sabdanya: “Cukuplah seorang dikatakan berdosa, jika ia menyianyiakan orang yang di bawah tanggung jawabnya.”
    Hadis di atas mengindikasikan para orang tua tentang pentingnya berlaku proporsional terhadap anak, tanpa menganak emaskan satu sama lainnya dalam menunaikan kebutuhan mereka.  Hal ini terjadi karena setiap anak mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda, sesuai dengan umur, jenjang pendidikan dan lain sebagainnya. Di sisi yang berbeda, dalam pembagian harta warisan, orang tua dituntut untuk seadil mungkin dalam pembagiannya. Sejak dahulu, Rasulullah Saw. mengajarkan kita dalam sabdanya: ”Dari Nu’man bin Basyir Ra. ia berkata, “ketika ayahku memberiku sesuatu, Rasulullah Saw. melihatnya. Lantas bertanya, “apakah setiap anakmu juga engkau beri hal yang sama?”, “tidak!” jawab ayahku, “berlaku adilah terhadap anak-anakmu dalam memberi, sebagaimana kalian ingin disetarakan dalam kebaikan”. Lanjut Rasulullah Saw..
    Selanjtunya, di antara hak anak terhadap orang tau adalah mengarahkan mereka serta berinteraksi baik dengannya. Sehingga mereka mampu hidup mandiri dan membangun keluarga baru.
Seorang bapak tidak seharusnya berfikir bahwa kewajiban mereka terhadap anak terbatas pada manafkahisya saja —kondisi seperti ini sering kali terjadi—. Pada akhirnya, mereka hanya memberikan anak-anaknya harta. Ketika anaknya gagal tersandung dalam sekolahnya, atau berakhlak kurang baik misalnya, mereka dengan tegas mengatakan bahwa kami telah menafkahinya, semua kebutuhannya telah kamu penuhi. Padahal anak yang baik adalah yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakatnya yang  hidup di bawah payung agama yang bahkan hampir tidak memiliki sepeser pun mengenal bongkahan dunia!
Oleh karena itu, pendidikan, pengayoman, serta penanaman nilai-nilai yang benar adalah  bentuk perhatian yang sesungghunya untuk diri mereka juga bangsanya. Malah, mudahnya orang tua ketika mengeluarkan mengeluarkan uang ini yang terkadang merusak anak itu sendiri. Karena realitas tidak bisa kita tutupi, bahwa banyak di antara para pengedar narkoba, pelayan-pelayan bar, bahkan radikalis pun merupakan korban kurangnya perhatian orang tua mereka terhadap pendidikan, arahan, ayoman baik secara spiritual maupun sosial. Meskipun mereka ini bergelimang harta yang justru malah memudahkan mereka terjerumuh kenikmatan-kenikmatan dunia dan nafsu mereka.
Dari sini, orang tua sudah sepatutnya harus berbuat baik pada anak-anaknya, jika ingin mendapatkan hal setimpal. Maka jangan sekali kali mengharapkan kebaikan anak-anak mereka, jika mereka sendiri tidak mendidik, mengajarkan, mengawasi anak-anak mereka sendiri.        

Related Posts

There is no other posts in this category.
Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "Memaknai Sisi Lain Kata Uqûq"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel