Cerpen; Kisah Kotak Pensil

Oleh: MZ

 

Aku adalah sebuah kotak pensil yang terpajang di salah satu rak di toko alat tulis kecil yang terletak di sebuah kompleks perumahan di Bekasi. Warnaku hitam polos, tak ada satupun motif ataupun gambar yang melekat padaku. 


Dibandingkan dengan kotak pensil lain, aku jauh tidak semenarik mereka. Baik dari warna, dibandingkan mereka yang berwarna cerah yang membawa kesan bahagia, entah merah, kuning, hijau, aku hanya berwarna hitam pekat yang membawa suasana muram bagi siapapun yang melihatku. Apalagi corak mereka yang begitu indah dan menawan, begitu pula gambar-gambar yang lucu, pastinya memikat para pembeli yang datang ke sini. 


Pada suatu pagi yang cerah datanglah seorang anak perempuan yang diantar mamahnya ke toko ini. Dia seorang gadis yang lucu. Nampaknya dia kisaran usia enam sampai tujuh tahun, usia rata-rata seseorang menginjakkan kakinya di kelas 1 SD.


Namanya Fatma, setidaknya itulah yang aku tahu saat sang mamah bicara padanya. “Fatma, pilih mana yang kamu sukai!” ujarnya.


Fatma pun berlari dengan kaki kecilnya ke deretan rak yang berisi kotak pensil. Aku sangat berharap dia akan memilihku, dan mengeluarkanku dari toko ini. Aku sungguh bosan dan merasa terkekang hanya bisa diam di rak, dan menunggu seseorang membeliku.


Sembari aku bergumam, tiba-tiba tangan seseorang mengambilku. “Ini tangan Fatma!” ujarku dengan terkejut. “Mamah, aku mau yang ini saja, ya?” ujar Fatma. Aku sangat bahagia, karena akhirnya penantianku selama ini tercapai juga. 


“Kamu yakin, Fatma? Banyak yang lebih lucu, lho,” ujar mamahnya. “Ada yang warna warni, lihat juga ini, Doraemon!” lanjutnya. Jujur saja, itu sedikit menyakiti hatiku. Tapi, aku sangat bersyukur dan bahagia dengan jawaban Fatma, “Engga, Mah, aku mau yang ini,”. Dan pada akhirnya, aku dibeli dan dibawa ke rumah Fatma. 


Fatma seorang anak yang cukup rajin. Dia selalu mengerjakan PR yang diberikan di sekolah. Biasanya, dia mengeluarkanku dari tasnya beserta buku-bukunya sepulang sekolah. Lalu dia tidur siang, dan baru mengerjakan PR pada malam hari setelah dia shalat maghrib bersama mamahnya. 


Dia juga senang bermain. Terkadang dia bermain bersama teman-teman sebayanya di ruang keluarga yang bisa terlihat dari meja belajar ketika pintu kamar terbuka. Terkadang dia bermain ular tangga, kejar kejaran, kadang pula dia meminjam Nokia mamahnya untuk bermain Bounce di HP itu. 

Saat di sekolah, dia dapat menjawab soal-soal yang diberikan oleh guru dengan cukup baik. Apalagi saat mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, dia sangat ahli dalam menggambar. Bisa dibilang, keahlian dia dalam menggambar berada di atas rata-rata. 


Waktu demi waktu pun berlalu, sampai saatnya dia menghadapi Ujian Nasional pertamanya. Banyak waktu bermainnya yang disisihkan demi ujian tersebut. Waktu belajar pun bertambah sampai cukup malam. Aku menatap matanya. Mata bulat yang indah itu sudah mulai memerah. “Fatma, cukup belajar hari ini, sekarang waktunya tidur,” ucapku dengan lembut. Diapun menutup bukunya. Nampaknya dia dapat mengerti ucapanku. Lalu, dia tertidur dengan pulasnya. Dan tak lama kemudian mamahnya datang, menyelimuti Fatma, dan mengecupnya dengan penuh kasih sayang.


Saat Ujian Nasional, Fatma bertarung dengan begitu banyaknya soal yang tercantum di lembar pertanyaan. Aku selalu memandanginya dari meja, seraya berharap segala yang terbaik selalu terlimpahkan kepadanya. Dia berusaha sangat keras. Terkadang, dia menggaruk garuk kepalanya karena tak tahu jawaban mana yang harus dia pilih. Terkadang pula, aku melihat ekspresi cemasnya yang tak bisa disembunyikan. “Fatma, kamu pasti bisa!” ucapku sambil kugenggam tangannya yang sedang meraih penghapus yang ada pada diriku. 


Beberapa minggu berlalu hingga waktu pengumuan nilai ujian. Ternyata dia berhasil lulus dengan nilai yang cukup baik, meski bukan sempurna, itu sudah cukup. Dia terlihat sangat gembira saat mengetahui kelulusannya, sebuah senyuman yang bahkan dapat menghentikan perputaran dunia. Sebuah lengkungan di bibir yang begitu lepas, seakan akan semua beban yang dia tanggung berguguran. Aku turut bahagia karena mengetahui perjuanganmu yang begitu hebat terbayarkan sudah. Tak mau terlalu larut dalam arus bahagia, Fatma memasang target selanjutnya, SMP. 


Karena nilainya yang cukup baik, dia diterima di SMP Negeri yang bisa dikatakan favorit di daerahnya. Tidak jauh dari rumahnya, hanya 5 menit dengan berjalan kaki. Lapangannya luas, lingkungannya nyaman, bahkan toiletnya bersih. Piala-piala berjejer begitu banyaknya di lobi sekolah. Baik akademik, kesenian, olahraga, dan lainnya. Tak salah bila dibilang ini adalah sekolah favorit.


Saat SMP, dia sering senyam-senyum sendiri sambil memegang HP nya. Mungkin itu dari gebetannya. Terasa cukup panas diriku, apa mungkin ini rasa cemburu? Tetapi, jika itu yang terbaik untuknya, aku tak mempermasalahkannya. Lagipula, kondisi ini jauh lebih dari cukup. Lagipula, dia adalah penyelamatku.


Aku tak tahu bagaimana sosok yang dapat membuatnya tersenyum begitu. Mungkin dia bukan teman sekelasnya. Mungkin dia bertemu Fatma di kantin atau di luar. Mungkin mereka bercengkrama saat diriku tertidur di dalam tas Fatma. Mungkin, mungkin, dan mungkin. Itulah yang ada dalam pikiranku, karena saking penasaran dengan dia yang bisa membuat Fatma tersenyum. Tak ada niat buruk, hanya penasaran. 


Pada suatu sore yang cukup dingin, Fatma mengajakku ke sebuah rumah makan yang cukup digandrungi anak muda. Saat dia mengeluarkanku dari tas, aku melihatnya bersama teman-temannya. Mereka sedang kerja kelompok rupanya. Aku kenal mereka. Levi, Irwin, Mika, dan Erin. Yang kutahu mereka semua orang baik serta dapat diandalkan. Aku percaya Fatma tak akan menemui halangan yang berarti. 


Beberapa waktu berlalu, datanglah sepasang muda-mudi ke tempat itu. Mereka tampak begitu mesra. “Sebentar,” dalam bekakku berpikir. “nampaknya aku kenal si wanita,” dia adalah Sasa, teman sebangku Fatma. Setelah aku menyadarinya, aku menengok melihat Fatma. Air matanya berlinang. Atau jangan jangan?


“Rin, Niko itu pacarnya Sasa?” Fatma bertanya kepada Erin dengan nada lirih. Aku langung tahu dia menahan air matanya. “Iya, Ma, kamu baru tahu? Ada apa, Fatma?” ujar Erin “Dia dekati aku, aku sering SMS an dengannya, dia bilang dia single,” jawab Fatma. “Serius, ma? kalau begitu ayo kita labrak dia!” ujar Mika dengan nada tinggi. “Ga perlu lah, aku cukup menjauh saja dari dia. Ini pelajaran, jangan mudah percaya dan bergantung pada seseorang. Mending, kita lanjutkan tugas kita ini,” Fatma pun melanjutkan tugasnya sambil menahan rasa sakit hati yang begitu dalam. 


Sesampainya di rumah, Fatma langsung berlari ke kamar, menutup pintu dan menangis sekeras-kerasnya. Air matanya mengalir membasahi bantal. Tangisan yang keras itu tetap terdengar meski Fatma sudah menutupi mukanya dengan bantal itu. “Fatma, sudahi air matamu, banyak yang mencintaimu. Orangtuamu, adikmu, dan teman temanmu. Satu orang seperti dia tak akan bisa menghancurkanmu! dia hanyalah orang bodoh yang tega menyakiti wanita sebaik dan semanis dirimu,” Aku menyemangati Fatma yang hatinya diliputi kelabu.


“Fatma, Mamah masuk, ya?” Mamah Fatma pun masuk ke kamar. Tak pikir panjang, dia langsung mendekap Fatma. “Anakku, ada apa? Ada mamah di sini. Sejahat apapun dunia kepadamu, mamah akan selalu berada di sampingmu, sayang!”. Tangis pun pecah pada malam itu. Butuh waktu cukup lama agar Fatma dapat tersenyum lega kembali. Dia menjalani hidup SMP nya sambil mencoba melupakan apa yang telah terjadi. Dan waktu pun berlalu, dia berhasil menyelesaikan Sekolah Menengah Pertamanya.


Pada suatu waktu makan malam, Fatma beserta kedua orangtuanya sedang duduk di meja makan. Mereka menyarankan agar Fatma masuk sebuah pesantren. Hal itu cukup mengejutkannya. Namun, setelah mereka berbincang, Fatma mengiyakan ajakan orangtuanya. Meski dalam hatinya masih cukup berat.


Kehidupan pesantren jauh lebih berat dibanding kehidupan lama Fatma. Selain jauh dari orangtua, Fatma juga harus menghadapi ketatnya peraturan di pesantren. Berkali-kali Fatma terjatuh dalam hukuman seperti denda dan bersih-bersih. Belum lagi bullying yang ternyata prakteknya hidup dalam pesantren layaknya parasit.


Seberat apapun hidup di pesantren, Fatma tetap berdiri tegak, dengan wajah tanpa ragu, dia terus menerjang badai cobaan yang selalu datang lagi dan lagi. Juga aku ucapkan terima kasih kepada Helwa, sahabat Fatma selama di pesantren. Dialah tempat Fatma berkeluh kesah, mencurahkan isi hati kecilnya, dan berbagi kebahagiaan yang dia punya. Mereka berdua berjalan beriringan melewati 3 tahun ini dengan senyum dan tangis bersama.


Fatma memutuskan untuk berkuliah jauh ke Utara Afrika, Mesir. Tepatnya di Al-Azhar. Namun, perlu seleksi yang sangat ketat untuk dapat berkuliah di sana. Dia pun belajar jauh lebih giat dibanding siapapun di pesantren. Pagi, siang, sore, dan malam ia habiskan untuk belajar. Apalagi dia hanya bersekolah di pesantren selama 3 tahun dan sebelumnya ia hanya bersekolah di SMP Negeri, di mana ilmu agama yang diajarkan begitu sedikit. Ia belajar begitu keras demi mengejar ketertinggalannya.


Waktu yang begitu mendebarkan tiba, seleksi camaba Timur Tengah. Pada hari itu, 20 santri dari pesantren Fatma berjuang demi melanjutkan kuliah di Timur Tengah. “Fatma, kamu pasti bisa! Tenang saja, aku percaya pada kemampuanmu. Aku percaya pada doamu yang selalu kamu kirimkan pada Tuhanmu. Aku percaya Dia akan menjawabnya. Aku percaya Dia selalu memberikan yang terbaik padamu,” Tangannya menggenggamku erat seakan berteriak “Aku bisa!” sambil melawan rasa tidak percaya diri serta rasa takutmu. 


Lembaran pertanyaan pun dibagikan, dan soal demi soal terjawab. Seperti tak ada beban lagi setelah dia melihat soal itu. Aku ikut merasa lega saat melihat senyumnya. Tes lisan pun berjalan dengan lancar. Dia menjawab dengan tenang dan baik. Aku yang berada di dekat tangan kanannya pun makin merasa optimis Fatma dapat meraih mimpinya.


Seusai ujian, Fatma dan teman-temannya mengambil foto bersama di halaman UIN Jakarta, tempat diselenggarakannya ujian ini. Dan sesampainya di rumah, Dia mengunggah foto itu di sosial media. Begitu banyak komentar membanjiri. Banyak yang tidak percaya, bahkan cenderung meremehkan. Banyak ucapan julid yang dilontarkan teman-temannya. bahkan ada guru yang meremehkan seorang lulusan sekolah negeri yang hanya belajar di pesantren selama 3 tahun bisa melanjutkan studinya di Mesir. 


“Fatma, hiraukan mereka! Mereka hanya iri padamu,” ujarku pada Fatma yang termenung di kursi belajarnya, sambil meletakkan kepalanya di atas meja. “Aku tahu kemampuanmu. Aku tahu kamu belajar jauh, jauh lebih banyak dari yang lain. Jauh lebih lama dari yang lain. Aku tahu betapa lepasnya dirimu saat duduk mengisi satu persatu jawaban itu.” Fatma pun mengangkat kepalanya, dan melihat ke arahku sambil membuat sebuah gestur senyuman. “Terima kasih banyak, aku baik baik saja, Cuma lelah dan hanya ingin tidur,” ujar Fatma. Dia pun beranjak ke kasurnya dan tidur, sembari menenangkan pikiran, melepas segala penat yang hinggap di dirinya.


Satu bulan kemudian, saat pengumuman tiba. Kabar-kabar itu tersebar di grup Whatsapp seperti cahaya yang menyinari sebuah ruang. Fatma diberi sebuah tautan dalam pesan Whatsapp itu. Dia pun membuka Tautan itu, dan isinya adalah sebuah berkas bertuliskan nama-nama peserta yang lulus. Dimulai dengan membaca basmalah, Al-Fatihah, dan solawat, dia mencari namanya “Fatma, Fatma, Fatma..” “Fatma Nur Shi’ra!” “Nama aku ada!” “Mamah!” ujarnya dengan sangat girang sambil berlari menghampiri Mamahnya yang sedang memasak di dapur.


Tiba-tiba, aku teringat hari-hariku bersamanya. Akupun bergumam “Fatma, selamat atas kelulusanmu! Kamu sudah besar, ya! Aku ingat dulu pertama kali tanganmu menggapaiku, tanganmu masih begitu kecil. Kamu akan berangkat ke Mesir, ya? Semoga baik-baik saja, dan segala yang terbaik terlimpah padamu. Aku sudah mulai senja, jahitan dan tenunanku sudah mulai terbuka, ritsletingku mulai tidak berfungsi dengan baik, meski kamu beberapa kali memperbaikinya. Kalau kamu membawaku jauh ke sana, aku akan senang hati menemanimu. Kalau kau meninggalkanku di sini pun tak apa, aku akan beristirahat di hari tuaku. Yang mana yang kau pilih? Entahlah, kamu yang menentukan. Satu yang aku tahu pasti, aku mencintaimu. Terima kasih telah membebaskanku, terima kasih telah menggunakanku dengan baik, terima kasih telah menjadi bagian hidupku!”

Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    1 Komentar untuk "Kisah Kotak Pensil"

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel