Oleh:
Pajarudin
Jamak
diketahui, sejarah adalah ilmu meliputi segala hal. Sejarah adalah filsafat yang
tugasnya mengungkapkan kebenaran masa lalu dan masa kini. Bahkan kearifan dunia
dan perkembangannya, juga menjadi objek sejarah. Tanpa sejarah seluruh
pengetahuan sudah punah sejak dahulu kala. Para ilmuan dan orang-orang
terpelajar datang dan pergi, namun sejarah mencatat pencapaian-pencapaian
intelektual mereka. Sejarah mampu memulihkan hubungan antara masa lalu dan masa
kini. Sejarah memberi kita informasi mengenai berbagai peristiwa tak terduga
dan ihwal segala perspektif manusia di dalamnya.
Dalam
momentum agama Islam, setiap tahun terdapat dua hari yang dimuliakan oleh Allah
SWT. Pada hari tersebut umat Islam dilarang berpuasa yaitu Idul fitri dan Idul
Adha. Termaktub di dalam hadis yang menjelaskan bahwa sejarah adanya dua hari yang
mulia itu berkaitan dengan kebiasaan orang jahiliyyah, mereka mengkhususkan dua
hari tersebut dengan bermain dan melakukan maksiat, lantas diganti oleh Nabi
dengan hari yang lebih baik yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Agar tradisi
masyarakat jahiliyyah pun hilang.
Dari
Anas bin Malik berkata: “Masyarakat Jahiliyyah setiap tahunnya memiliki dua
hari yang digunakan untuk bermain, ketika Nabi SAW datang ke Madinah, beliau
bersabda: “Kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan untuk bermain,
sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik
yaitu; Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Penjelasan
hadis di atas bahwa dua hari tersebut digunakan untuk pesta pora oleh
masyarakat jahiliyyah itu disebut dengan Nairuz dan Mahrajan. Di
dalamnya mereka melakukan mabuk-mabukan serta menari-nari. Dikatakan, bahwa Nairuz
dan Mahrajan adalah hari raya orang Persia kuno. Setelah turunnya
kewajiban puasa Ramadan, lantas Nabi SAW mengganti dua hari raya tersebut
dengan dua hari raya yang mulia dan besar serta sangat masyhur di telinga umat
Islam. Tujuannya, agar manusia memiliki tradisi yang lebih baik serta sejalan
dengan apa yang disyari’atkan oleh Allah SWT. (K.H. Hasyim Asy’ari, Irsyadu
as-Saari’, juz III, h 68).
Kendati
demikian, pada dua hari raya Islam itu hendaknya masyarakat muslim bisa
menggunakan waktu dengan baik, seperti mengisi waktu dengan bersilaturrahmi,
saling memaafkan, memperbanyak dzikir serta membaca takbir. Dengan begitu
tujuan adanya hari raya besar Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari terbaik nan
mulia yang datang setiap tahun dapat terwujud.
Menelisik sedikit tentang momen hari raya Idul Adha kerap diasosiasikan dengan peristiwa yang melibatkan Nabi Ibrahim AS dengan putranya yang elok nan rupawan, Ismail AS. Seperti yang termaktub dalam al-Qur’an, Nabi Ibrahim diuji oleh Allah SWT dengan perintah untuk menyembelih anaknya. Tetapi kemudian penyembelihan itu tidak benar-benar terjadi. Karena jasad Ismail diganti dengan seekor hewan sembelihan. al-Qur’an melafalkannya sebagai “sembelihan yang agung” (dzibhun ‘azhim).
Sehingga tradisi berkurban pun disyari’atkan, antara lain; untuk
mengingat pengorbanan besar Nabi Ibrahim AS. Peristiwa spektakuler itu
dinyatakan dalam al-Qur’an: “Ibrahim berkata: Hai anakku! sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembekihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?
Dia (Ismail) menjawab: Wahai bapakku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah)
kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Menyaksikan
tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia
itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Lantas, Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha
illahu Allahu Akbar.” Kemudian disambung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar
Walillahil Hamdu.” Pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah
umat manusia itu membuat Ibrahim menjadi seorang nabi dan rasul yang mulia nan
agung.
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Sepintas Tentang Sejarah Idul Adha"
Posting Komentar