Oleh: Mohammad Rizkyllah Syaputra 


وما الحياة الدنيا إلا لعب ولهو وللدار الآخرة خير للذين يتقون أفلا تعقلون (الأنعام 32)

“Dan tidaklah kehidupan dunia itu kecuali hanya permainan dan senda gurau. Adapun kehidupan akhirat itu lebih baik. Tidakkah kalian berpikir?”

Menganalisis ayat di atas, memang secara general merupakan sebuah anjuran kepada seorang yang beragama untuk lebih mementingkan akhirat ketimbang dunia. Karena dunia sering kali dinilai sebagai tempat kekecewaan, banyak orang yang terjerumus ke dalamnya. Tapi benarkah demikian? Apakah akhirat itu lebih baik daripada dunia bagi seorang muslim? Apakah kita dilarang untuk mencari gemerlap dunia?

Untuk memahami ayat di atas, kita harus ber-tafakkur kepada penggalan akhir ayat, afala ta’qilun. Kenapa Tuhan memasukkan kata yang bersumber dari aql yang ia pakai untuk menutup ayat? Apa rahasia dari akal? Kenapa ia dinilai penting untuk bisa membedakan kehidupan dunia dan akhirat?

Aql berasal dari akar kata fi’l mujarrad yaitu aqala ya’qalu yang berarti memahami, mengerti, dan mengikat. Sehingga jika dijadikan masdar berarti pemahaman, pengertian, dan ikatan. ‘Aql bisa diartikan juga sebagai logika. Logika berasal dari bahasa Yunani yaitu logos, yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa (id.m.wikipedia.org).

Logika dinilai penulis sebagai mabda’ (awal mula) dari ilmu pengetahuan. Dari logika semua informasi yang diserap pancaindra akan terkumpul di dalamnya,  direkontruksi dan disusun menjadi sebuah informasi, sehingga dapat disampaikan lewat bahasa secara lisan. Setelah melalui proses tadi, ia yang awalnya bersifat pasif, stagnan, dan berantakan berubah melewati logika menjadi aktif, dinamis, dan lebih rapih.

Dalam islam, logika juga berperan penting untuk menghasilkan banyak disiplin ilmu, di antaranya; tafsir, ushul fikih, mantik, nahwu, shorof, balaghah dan cabang-cabang ilmu lainnya. Kita akan ambil contoh dari salah satu disiplin, yaitu tafsir. Seperti tafsiran tentang buah khuldi; ada yang berpendapat, ia berbentuk seperti apel, ada yang berpendapat, ia seperti kurma.

Habib Husein Ja’far al-Hadar berpendapat buah khuldi itu adalah pengetahuan. Sebab pengetahuan itu, Adam rela meninggalkan surga untuk mendapatkan pengetahuan dan akan kembali lagi ke sana, setelah mempunyai pengatahuan, daripada kekal di sana dari awal tapi dalam keadaan kebodohan.

Buya Prof. Dr. KH. Ahmad Syakur berpendapat buah khuldi itu adalah jimak -Adam boleh tinggal di surga asalkan jangan jimak dengan Hawa. Karena menurut beliau, “tidak mungkin ada buah yang secara harfiah bisa menafikan semua kebahagiaan surga, seenak apa buah itu sampai ia bisa terlena dengannya daripada sesuatu yang selainnya yang ada di surga.”

Sedangkan menurut Muhammad Abduh, cerita Adam dan Hawa hanya simbolis, bukan benar-benar manusia pertama -melihat beliau seorang yang memercayai teori Darwin. Memang tidak ada yang salah dalam memercayai terori Darwin. Ia juga bukan seorang atheis. Ia adalah seorang agnostik yang masih memercayai adanya wujud Pencipta. Ini merupakan butiran atom dari banyaknya molekul-molekul pendapat yang berserakan dalam organ keilmuan.

Manusia adalah satu-satunya mahluk yang memiliki logika, Tuhan menjadikan kita para homo-sapiens ini sebagai khalifah fi al-ardh. Akal manusia berprofesi sebagai mujid yang menghasilkan ilmu yang mumkin ini menjadi ada ataupun tiada. Jika Dia menjadikannya ada, maka Dia menjadi hakim kepadanya, mengubah statusnya menjadi bermanfaat atau tidak.

Dia juga yang menentukan level-level sebuah tingkatan ilmu; apakah itu yaqin yang yuthabiq al-waqi’, yaqin yang yukhalif al-waqi’, zhanni yang yuthabiq al-waqi, ataupun zhanni yang yukhalif al-waqi’. Karena tidak semua yang diyakini itu benar, dan yang diragukan salah, justru terkadang malah bisa sebaliknya.

Menjadi pertanyaan saat ini, apakah logika adalah raja yang berkuasa secara penuh dalam “kerajaan nalar” yang disebut “agama”? Tentu, tidak. Logika memang al-malik al-‘adil, tapi ada kemiskinan rakyatnya yang belum bisa ia selesaikan, ada perkara sosial yang belum bisa ia tuntaskan. Perkara-perkara tersebut, seyogianya, raja membutuhkan penasehat, dan penasehatnya adalah hati. Berapa banyak akal manusia yang tenggelam dalam ke-tasalsul-an pencarian Tuhan karena dia tidak meminta nasehat kepada hatinya. Setidaknya, jika ia meminta nasehat kepadanya walaupun ia tenggelam ia akan menemukan mutiaranya, ia akan menemukan tuhannya.

Dalam beberapa kisah, memang tak dapat dinafikan, bahwa akal pernah tak sejalan dengan ketentuan Tuhan, seperti Azazil yang tak ingin bersujud kepada Adam. Musa yang berpisah dengan gurunya serta Bani Israil yang meragukan nabinya karena Thalut hanya seorang petani kurma. Tapi dapat dipungkiri juga, akal sejalan dengan ketentuab Tuhan yang benar-benar melakat, seperti Ibrahim yang menyembelih anaknya, Yukabad (Ibu Nabi Musa AS) yang menghanyutkan anaknya, dan Sultan Muhammad al-Fatih serta para tentara terbaiknya, dapat  memindahkan 72 kapal mereka dari bukit Galata ke Golden Horn (Tanduk Emas).

Dari pemaparan di atas, kita dapat paham bahwa logika itu sangat penting dalam menjalani kehidupan dalam beragama. Logika dapat membedakan urgensi dunia dengan urgensi akhirat, karena acap kali, seseorang salah mengartikan amalan akhirat dengan amalan dunia sebagai dua kubu yang saling bersebrangan, dan mempolarisasinya. Semestinya, tidak ada yang namanya amalan akhirat maupun dunia. Amal adalah satu wujud merdeka yang tidak ada hubungannya dengan dunia maupun akhirat.

Seperti hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “berapa banyak amalan yang dianggap sebagai amalan dunia karena niat yang baik ia menjadi amalan akhirat, dan berapa banyak amalan yang dianggap sebagai amalan akherat ia menjadi amalan dnuia karena niat yang buruk.”

Dari sini penulis bisa beri kesimpulan, logika dan agama adalah dua hal yang ber-talazum. Dua esensi yang tidak dapat dipisahkan. Jika mati salah satunya, maka mati keduanya. Dua esensi yang memiliki dunianya masing-masing dan keduanya tidak bisa hidup di dunia yang bukan dunianya. Seperti kata seorang sufi, Jalaluddin ar-Rumi, “di alam cinta akal dipancung”. Akal adalah penguasa dan hati adalah penasehatnya.

Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "Menemukan ke-talazum-an Antara Agama dan Logika"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel