وما الحياة الدنيا إلا لعب ولهو وللدار الآخرة خير للذين يتقون أفلا تعقلون (الأنعام 32)
“Dan tidaklah kehidupan dunia
itu kecuali hanya permainan dan senda gurau. Adapun kehidupan akhirat itu lebih
baik. Tidakkah kalian berpikir?”
Menganalisis ayat di atas, memang secara general merupakan sebuah anjuran kepada seorang yang beragama untuk lebih mementingkan akhirat ketimbang dunia. Karena dunia sering kali dinilai sebagai tempat kekecewaan, banyak orang yang terjerumus ke dalamnya. Tapi benarkah demikian? Apakah akhirat itu lebih baik daripada dunia bagi seorang muslim? Apakah kita dilarang untuk mencari gemerlap dunia?
Untuk memahami ayat di atas, kita
harus ber-tafakkur kepada penggalan akhir ayat, afala ta’qilun.
Kenapa Tuhan memasukkan kata
yang bersumber dari aql yang ia pakai untuk menutup ayat? Apa rahasia
dari akal? Kenapa ia dinilai penting untuk bisa membedakan kehidupan dunia dan
akhirat?
‘Aql berasal dari akar
kata fi’l mujarrad yaitu aqala ya’qalu yang berarti memahami,
mengerti, dan mengikat. Sehingga jika dijadikan masdar berarti
pemahaman, pengertian, dan ikatan. ‘Aql bisa diartikan juga sebagai
logika. Logika berasal dari bahasa Yunani yaitu logos, yang berarti
hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam
bahasa (id.m.wikipedia.org).
Logika dinilai penulis sebagai mabda’
(awal mula) dari ilmu pengetahuan. Dari logika semua informasi yang diserap
pancaindra akan terkumpul di dalamnya, direkontruksi dan disusun menjadi sebuah
informasi, sehingga dapat disampaikan lewat bahasa secara lisan. Setelah
melalui proses tadi, ia yang awalnya bersifat pasif, stagnan, dan berantakan berubah
melewati logika menjadi aktif, dinamis, dan lebih rapih.
Dalam islam, logika juga berperan
penting untuk menghasilkan banyak disiplin ilmu, di antaranya; tafsir,
ushul fikih, mantik, nahwu, shorof, balaghah dan cabang-cabang ilmu lainnya.
Kita akan ambil contoh dari salah satu disiplin, yaitu tafsir. Seperti tafsiran tentang buah
khuldi; ada yang berpendapat, ia berbentuk seperti apel, ada yang berpendapat, ia seperti kurma.
Habib Husein Ja’far al-Hadar
berpendapat buah khuldi itu adalah pengetahuan. Sebab pengetahuan itu, Adam
rela meninggalkan surga untuk mendapatkan pengetahuan dan akan kembali lagi ke sana,
setelah mempunyai pengatahuan, daripada kekal di sana dari awal tapi dalam
keadaan kebodohan.
Buya Prof. Dr. KH. Ahmad Syakur
berpendapat buah khuldi itu adalah jimak -Adam boleh tinggal di surga asalkan
jangan jimak dengan Hawa. Karena menurut beliau, “tidak mungkin ada buah
yang secara harfiah bisa menafikan semua kebahagiaan surga, seenak apa buah itu
sampai ia bisa terlena dengannya daripada sesuatu yang selainnya yang ada di surga.”
Sedangkan menurut Muhammad Abduh, cerita Adam dan Hawa hanya simbolis, bukan benar-benar manusia pertama
-melihat beliau seorang yang memercayai teori Darwin. Memang tidak ada yang
salah dalam memercayai terori Darwin. Ia juga bukan seorang atheis. Ia adalah
seorang agnostik yang masih memercayai adanya wujud Pencipta. Ini merupakan
butiran atom dari banyaknya molekul-molekul pendapat yang berserakan dalam
organ keilmuan.
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang memiliki
logika, Tuhan menjadikan kita
para homo-sapiens ini sebagai khalifah fi al-ardh. Akal manusia
berprofesi sebagai mujid yang menghasilkan ilmu yang mumkin ini
menjadi ada ataupun tiada. Jika Dia menjadikannya ada, maka Dia menjadi hakim
kepadanya, mengubah statusnya menjadi bermanfaat atau tidak.
Dia juga yang menentukan
level-level sebuah tingkatan ilmu; apakah itu yaqin yang yuthabiq
al-waqi’, yaqin yang yukhalif al-waqi’, zhanni yang yuthabiq
al-waqi, ataupun zhanni yang yukhalif al-waqi’. Karena tidak
semua yang diyakini itu benar, dan yang diragukan salah, justru terkadang malah
bisa sebaliknya.
Menjadi pertanyaan saat ini, apakah logika adalah
raja yang berkuasa secara penuh dalam “kerajaan nalar” yang disebut “agama”? Tentu, tidak. Logika
memang al-malik al-‘adil, tapi ada kemiskinan rakyatnya yang belum bisa
ia selesaikan, ada perkara sosial
yang belum bisa ia tuntaskan. Perkara-perkara tersebut, seyogianya, raja membutuhkan
penasehat, dan penasehatnya adalah hati. Berapa banyak akal manusia yang
tenggelam dalam ke-tasalsul-an pencarian Tuhan karena dia tidak meminta
nasehat kepada hatinya. Setidaknya, jika ia meminta nasehat kepadanya walaupun
ia tenggelam ia akan menemukan mutiaranya, ia akan menemukan tuhannya.
Dalam beberapa kisah, memang tak dapat
dinafikan, bahwa akal pernah tak sejalan dengan ketentuan Tuhan, seperti
Azazil yang tak ingin bersujud kepada Adam. Musa yang berpisah
dengan gurunya serta Bani Israil yang meragukan nabinya karena Thalut hanya seorang petani
kurma. Tapi dapat dipungkiri juga, akal sejalan dengan ketentuab Tuhan yang
benar-benar melakat, seperti Ibrahim yang menyembelih anaknya, Yukabad (Ibu
Nabi Musa AS) yang menghanyutkan anaknya, dan Sultan Muhammad al-Fatih serta para
tentara terbaiknya, dapat memindahkan 72
kapal mereka dari bukit Galata ke Golden Horn (Tanduk Emas).
Dari pemaparan di atas, kita dapat paham bahwa logika itu sangat
penting dalam menjalani kehidupan dalam beragama. Logika dapat membedakan urgensi dunia dengan urgensi akhirat, karena acap kali, seseorang salah mengartikan
amalan akhirat dengan amalan dunia sebagai dua kubu yang saling bersebrangan, dan mempolarisasinya.
Semestinya, tidak ada yang namanya
amalan akhirat maupun dunia. Amal adalah satu wujud merdeka yang tidak ada hubungannya
dengan dunia maupun akhirat.
Seperti hadis Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam: “berapa banyak amalan yang dianggap sebagai amalan
dunia karena niat yang baik ia menjadi amalan akhirat, dan berapa banyak amalan
yang dianggap sebagai amalan akherat ia menjadi amalan dnuia karena niat yang
buruk.”
Dari sini penulis bisa beri
kesimpulan, logika dan agama adalah dua hal yang ber-talazum. Dua esensi
yang tidak dapat dipisahkan. Jika mati salah satunya, maka mati keduanya. Dua
esensi yang memiliki dunianya masing-masing dan keduanya tidak bisa hidup di
dunia yang bukan dunianya. Seperti kata seorang sufi, Jalaluddin ar-Rumi, “di
alam cinta akal dipancung”. Akal adalah penguasa dan hati adalah
penasehatnya.
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Menemukan ke-talazum-an Antara Agama dan Logika"
Posting Komentar