Oleh: Mohammad Rizkyllah Syaputra

Tulisan ini dinilai sebagai juara 2 lomba menulis esai pada peringatan haul AGH. Abdurrahman Ambo Dalle XXV 

ABSTRAK

Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin. Ia merupakan juru selamat bagi siapa saja yang ingin berserah diri. Agama yang unggul, ideal, dan akan terus terjaga oleh Allah SWT. Dari situ, agama ini tidak bisa menjadi juru selamat dengan sendirinya. Ia tidak bisa menyebrangi lautan yang sangat dalam tanpa ada kendaraan. Salah satu kendaraan yang mesti ditaiki oleh agama ini adalah perahu wasathiyyah. Dimana konsep ini merupakan konsep yang mengajarkan kepada orang yang mendalaminya agar bersikap adil, moderat, dan menghargai keberagaman (pluralisme). Tulisan ini hadir untuk membahas beberapa elemen, diantaranya makna Islam, moderat, dan bagaimana Islam moderat dihadapan pluralisme.

PENDAHULUAN

Islam adalah agama terakhir yang diutus oleh Allah SWT. Agama yang dibawakan oleh nabi terakhir sekaligus nabi pertama, terakhir dalam aspek pengutusan (irsal), pertama dalam aspek penciptaan (khalq). Seorang nabi yang sangat moderat sebelum istilah moderat itu ada. Nabi yang paling toleran sebelum kalimat toleran itu tercipta. Ia membawakan agama dan segala perangkat-perangkatnya dalam hal keadaan ummi (tak bisa baca dan tulis) yang membuktikan bahwa agama ini merupakan murni dari Zat Yang Maha Tinggi dan tidak tercampur dogma-dogma apapun dari luar.

Salah satu ajaran yang diajarkan agama ini adalah kemoderatan atau sering kita dengar dengan Islam moderat, yang dinilai penulis merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Layaknya jauhar dan ‘aradh kita bisa memahami islam moderat. Keduanya saling ber-talazum (berikatan), tanpa adanya pemisah yang bisa memisahkan mereka berdua.

Islam moderat layaknya pulpen dan biru, perwakilan dari jauhar dan ‘aradh. Seandainya kata “biru” tidak disematkan bersandingan dengan pulpen, setiap kita membaca kata “pulpen” pun akan tergambar pulpen dengan warna lain (jauhar lain) atau mungkin warna yang sama di dalam benak kita.

Adapun pluralisme, ia merupakan bayangan yang timbul dari tubuh Islam moderat. Yang bentukannya itu sama persis dengan perbedaan ukurannya saja tergantung dari sudut mana cahaya itu dipancarkan. Penjelasan lengkapnya bisa dibaca di Kajian Teori.

KAJIAN TEORI

A. Islamuna

Islam dari segi bahasa diambil dari kata bahasa Arab, yaitu aslama yuslimu islaman. Ia merupakan bentuk masdar dari kata aslama, bentuk fi’il tsulatsi mazid biharf yang berarti khudhu’, dan inqiyad (patuh). Islam juga bisa diartikan keselamatan. Namun yang dimaksud “Islam” di sini adalah agama langit yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.[1] Allah turunkan wahyu-Nya yang pertama di Gua Hira dengan kalimat iqra dan Ia tutup dengan alyauma akmaltu lakum dinakum.

Kalimat Iqra sendiri dinilai penulis merupakan sebuah kalimat yang sangat sakral lagi esensial. Dimana dari kalimat itu penulis bisa paham darimana pijakan kaki pertama yang harus penulis mulai. Iqra’ sendiri berasal dari kalimat qara’a yaqra’u yang awalnya berarti menghimpun. Walaupun bisa ditemukan makna-makna lain di dalam kamus-kamus bahasa arab seperti membaca (makna yang sering kita pakai), menelaah, memahami, mendalami, meneliti, mengetahui ciri suatu zat/esensi.[2] Pastinya, kalimat iqra’ merupakan kalimat yang memliki kedudukan sangat tinggi, dikarenakan Al-Qur’an sendiri memiliki akar kata yang sama dengan iqra’.

Dari sana, baru penulis memulai untuk mencari, membaca, memahami beberapa literatur-literatur yang membahas tentang moderasi Islam untuk meaktualisasikan faham penulis terhadap kalimat iqra’.

Islamuna merupakan istilah tersendiri yang penulis buat. ia merupakan bentuk tarkib idhafi dari kalimat islam dan na (dhamir muttashil majrur lil mutakalimin) yang berarti Islam kita. Setelah kita mengetahui apa makna dari kalimat Islam, lalu siapa nahnu yang disandangkan bersamaan dengan kalimat islam; sehingga si-nahnu dinilai memliki kedudukan yang mulia.

Islam kita bermakna islam milik kita, karena islamuna memliki taqdir idhafi yaitu islamun lana (islam milik kita) yang terdapat huruf jarr lam di dalamnya. Memangnya ada Islam yang bukan milik kita?

“Kita” yang penulis maksud adalah kita yang menjalankan prinsip-prinsip agama Islam, baik dari aspek akidah, syariah, sosial, ekonomi, budaya, politik. Kita yang menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya menurut kemampuan masing-masing individu “kita”, tanpa perlu memakai kalimat ‘segala perintah dan segala larangan’, karena itu akan memunculkan paradoks tersendiri. Semudah itu kita memahami kata “kita”. Hanya saja dalam prakteknya banyak yang tidak terealisasikan, bahkan terbilang nihil.

Sangat mudah sekali menjadi muslim yang dimaksud dalam islam kita. Islam hanya terdiri dari dua syathr (bagian); tark al-ma’ashi (meninggalkan maksiat) dan fi’l at-tha’at (melaksanakan ketaatan).[3] Fragmen yang pertama biasanya lebih berat dari yang kedua. Adapun, kalimat yang ditulis Imam Ghazali ini memiliki lafaz yang sangat ringkas dan makna yang sangat mendalam. Salah satu cangkupannya masuk ke dalam moderasi beragama.

B. Al-Islam Al-Wasathiyy (Islam yang Moderat)

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu".[4]

Banyak daripada makna wasath yang bisa dihadirkan dari penggalan ayat diatas. Diantaranya, Dari Abu Said Al-Khudri ra, Nabi saw menjelaskan makna ummatan wasathan dalam ayat ini adalah “keadilan” (HR. Tirmidzi, Shahih). Al-Qurthubi berkata: wasathan adalah keadilan, karena sesuatu yang paling baik adalah yang paling adil”.[5] At-Thabari mengutip Ibnu Abbas ra, Mujahid dan Atha’ saat menafsirkan ayat di atas berkata: “Ummatan Washathan adalah “keadilan” sehingga makna ayat ini adalah “Allah menjadikan umat Islam sebagai umat yang paling adil”.[6] Dan ada beberapa makna lain dari kata wasath selain yang paling adil dan baik di kalangan para mufassir, seperti paling berilmu dan makna pertengahan. Allah berfirman:

قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ

“Berkatalah seorang yang awsath (paling berilmu) di antara mereka: "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?"[7] dan

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa[8] (asar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'”.[9]

Maka, jika digabungkan kata Islam dan wasath akan menjadi kata al-islam al-wasathiyy (Islam yang moderat, yang paling adil dan paling baik). Kata wasath-nya akan menjadi na’t atau sifat bagi man’ut atau maushuf-nya, sehingga menegaskan islam yang mana yang seharusnya kita pahami dan realisasikan.

Wasathiyyah telah banyak menjadi pembahasan dan diskursus di masa-masa abad 20 ini. Ini bukan sesuatu yang baru dan tertakhlik akhir-akhir ini. Wasathiyyah (Moderasi) Islam itu sudah ada semenjak turunnya wahyu dan lahirnya Islam di muka bumi, bukan sebuah ijtihad yang baru. Hanya saja, wujudnya direvitalisasikan lagi oleh beberapa kalangan mujtahid, ulama, dan cendikiawan muslim.

Konsep wasathiyyah juga mengarahkan penganutnya agar bersikap adil dan seimbang di setiap dimensi dan anasir kehidupan. Orang yang wasathiyy dituntut untuk menjadi orang yang awsath (yang paling tengah/netral), sehingga perannya menjadi bersih dan tidak ada keberpihakkan ke golongan manapun. Walaupun berada di tengah itu akan memunculkan falacy (kesalahan berpikir) baru yang akan penulis jelaskan selanjutnya.

Dewasa ini, segala lini kehidupan sering terpolarisasikan, baik itu dari segi akidah, hukum, sosial, budaya, dan politik. Dari segi pemikiran, maka akan kita dapati dua kubu, yaitu: kaum tekstualis dan kaum liberalis. Kaum tektualis adalah kelompok atau golongan yang terbilang kaku dan keras. Mereka terlalu berpaku pada nash dan tak mengindahkan akal. Mereka menolak perubahan yang dimana itu bersifat absolut dan konstan. Mereka menilai bahwa semua nilai-nilai Islam, baik akidah, hukum, politik dan semacamnya itu harus kembali ke zaman awal, yaitu zaman Nabi dan para sahabat. Golongan ini bisa disebut al-Khawarij al-Judud (New Khawarij[10]).

Sedangkan kaum liberalis merupakan golongan yang tak mempedulikan nash. Mereka sangat mengedepankan akal dibanding prinsip-prinsip syariahnya. Mereka sangat, bahkan pasti terbuka terhadap perubahan-perubahan apapun yang mereka anggap itu sebagai pembaruan konsep-konsep agama. Golongan ini biasa dikenal dengan al-Muktazilah al-Judud (New Muktazila[11])

Nah, dimanakah posisi seseorang yang wasathiyy? Apakah ditengah? Jawabannya adalah belum tentu.

Penulis mencoba membuat satu analogi. Jika golongan kiri berkata, “1+1=3”  dan golongan kanan berkata, “1+1=5”, apakah kita sebagai wasathiyy akan berkata, “1+1=4” sebagai jalan tengah? Tentu, tidak. Ini yang sering disebut midle range falacy. Malah menjadi jauh dari makna wasathiyyah jika kita melakukan sesuatu yang ‘1+1=4’ tadi (walaupun berada di tengah di antara kedua golongan) dan jawaban yang benar padahal 1+1=2, lebih kiri daripada jawaban dan sikap golongan kiri sebelumnya.

Jadi, menjadi wasathiyy belum tentu berada di tengah secara posisi maupun konsep. Benar belum tentu tengah. Benar juga belum tentu netral. Walaupun posisi tengah merupakan posisi paling aman. Akan tetapi, keberpihakkan kita terhadap suatu golongan kadangkala dibenarkan (dan harus sesuai konteks pastinya). Menjadi wasathiyy adalah menjadi pribadi cendekiawan yang paham kondisi. Pribadi yang kadang menjadi penengah terhadap dua kubu yang berseberangan, kadang juga membela golongan tertentu yang kita yakini sebagai kebenaran dengan catatan harus sesuai prinsip-prinsip agama dan maqashid as-syari’ah.

C. Moderasi Islam dalam Cermin Pluralisme

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ


"Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.[12]

Pluralitas merupakan wujud yang keberadaaanya tidak bisa dipungkiri, tidak bisa di-i’damkan-kan (ditiadakan). Di setiap esensi mesti ada nilai ke-pluralitas-an. Baik itu di ranah negara yang terdiri dari multi-etnis, multi-suku, multi-agama. Maupun dari individu masing-masing manusia yang memiliki sikap dan kepribadian yang majemuk. Ayat di atas juga menegaskan bahwa Tuhan memang menghendaki ke-pluralitas-an makhluk-Nya, dari perbedaan seks, gender, ras, kearifan, falsafah hidup, dan beberapa yang telah disebutkan. 

Dari perbedaan tadi bukan menjadikan sebab perpecahan antara setiap individu maupun golongan kita. Bahkan, itu bisa menjadi wasilah bagi kita untuk saling mengenal dan saling memahami. Perbedaan juga yang berimplikasi kepada keragaman pola pikir dan kecendrungan ideologi. Jikalau tidak ada perbedaan-perbedaan itu, maka tidak ada yang harus dikenal dan dipahami. Bukankah kita bisa membedakan barang kepemilikan kita dari orang lain itu karena perbedaan ciri-cirinya, bukan karena persamaannya?

Pluralisme secara harfiah adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).[13] Menurut Anton M. Moeliono, Pluralisme merupakan suatu hal yang memberikan makna jamak dari segi kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat. Rasa hormat akan nilai kebudayaan lainnya dan sikap saling menghargai merupakan dasar landasan terciptanya plurarisme. 

Tidak semua pluralisme diaminkan oleh Islam. Ada sebagian yang ditentang, salah satunya dalam hal agama (theological pluralism), walaupun tidak mutlak juga. Pluralisme dalam agama merupakan obat tidur yang ampuh untuk melumpuhkan badan seutuhnya tanpa peminumnya pun tahu bahwa dia telah dilumpuhkan. Nyatanya, pluralisme akan menyebabkan kerancuan berfikir, kebingungan yang konstan, jika tidak diolah dengan benar. Alih-alih membela agama, malah membenarkan semua agama.

Tidak semua juga pluralisme agama itu ditentang. Agama memiliki truth claim­-nya masing-masing. Alangkah jahatnya jika truth claim semua agama itu disatukan dalam satu mangkuk yang bernama pluralisme. Tapi semua agama bisa disatukan dalam wadah pluralisme yang lain, yang wadahnya bertuliskan humanisme (kemanusiaan). Inilah pluralisme agama yang diterima oleh Islam

PENUTUP

Islam moderat menjadi diskursus yang sangat krusial belakangan ini. Ini menjadi penting untuk dibahas agar umat islam memiliki kesadaran terhadap pemahaman ajaran agamanya sendiri. Ajaran yang jauh dari kekerasan, diskriminasi, dan kekakuan. Begitu  pun, pluralisme merupakan cerminan nyata yang dihasilkan Islam moderat. Tentu yang diyakini adalah konsep kemanusiaanya bukan pembenaran semua dogma agama. Jikalau umat islam seluruhnya memahami semua konsep-konsep ini, maka akan sangat dekat agama Islam menjadi agama yang rahmatan lil alamin.

Wabakdu, tulisan ini penulis tutup dengan kutipan, “Moderat dalam pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan (inklusivisme). Baik beragam dalam mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak menghalangi untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan,” (Darlis, 2017)


DAFTAR PUSAKA

Al-Qur’an Al-Karim

Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah (Beirut: Dar al-Minhaj, 2021),

Al-ma’ani Arabi Arabi

Ibnu Jarir At-Thabari, Tafsir At-Thabari (Kairo: Maktabah At-Taufiqiyah, 2004)

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Mardan, Iqra Kunci Kemajuan

Muhammad Al-Khair Abdul Qadir, Ittijahaat Haditsah fi Al-Fikr Al-Almani (Khurtum: Ad-Daar As-Sudaniyah Lil Kutub, 1999)

Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Quthubi, Tafsir Al-Qurthubi

 


[1] Al-ma’ani Arabi Arabi

[2] Mardan, Iqra Kunci Kemajuan

[3] Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah (Beirut: Dar al-Minhaj, 2021), hal 137

[4] QS. Al-Baqarah: 143

[5] Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Quthubi, Tafsir Al-Qurthubi, hal 477

[6] Ibnu Jarir At-Thabari, Tafsir At-Thabari, vol 2 (Kairo: Maktabah At-Taufiqiyah, 2004), hal 8

[7] QS. Al-Qalam: 28

[8] Shalat wustha bisa diartikan shalat yang waktunya berada di pertengahan. Karena sahala wustha (asar) berada di tengah-tengah antara shubuh, zhuhur dan magrib, isya’. Wustha juga merupakan bentuk muannats dari kata wasath.

[9] QS. Al-Baqarah: 238

[10] Lihat Ittijahaat Haditsah fi Al-Fikr Al-Almani, Muhammad Al-Khair Abdul Qadir, (Khurtum: Ad-Daar As-Sudaniyah Lil Kutub, 1999), hal 11-23.

[11] Lihat Ittijahaat Haditsah fi Al-Fikr Al-Almani, Muhammad Al-Khair Abdul Qadir, (Khurtum: Ad-Daar As-Sudaniyah Lil Kutub, 1999), hal 11-23.

[12] QS. Al-Hujurat: 13

[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia


Supported by:




Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "Islam Moderat vis-à-vis Pluralisme"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel