Oleh: Mohammad Rizkyllah Syaputra
Pendahuluan
Ulama-ulama kalam sangat berintensitas dalam penarikan konklusi (istidlal, selanjutnya penulis akan menyebut demikian) mukjizat untuk membenarkan status kenabian Nabi Muhammad SAW. Di antara ibarah mereka yang terkenal yaitu, “Mukjizat itu kedudukannya sama dengan firman Tuhan,” juga seperti yang disebutkan dalam hadis qudsi, “Hambaku (Muhammad) benar terhadap apa yang ia sampaikan tentangku.” Kutipan ini dinilai sebagai aksioma (postulat),[1] karena, mukjizat memang sebuah substansi yang menjadi dalil kebenarannya status kenabian Nabi Muhammad SAW. Dengan dan melalui mukjizat tadi, kita dapat ber-istidlal akan kebenaran dakwah dan risalahnya. Walaupun dapat disepakati bahwa mukjizat bukan dalil satu-satunya. Jamak terdapat dalil-dalil lain yang dapat kita istidlal-kan untuk menunjukkan kebenaran para anbia dalam dakwah-dakwah mereka.
Quran
terkadang menyinggung beberapa pembahasan mengenai etika para nabi, rasul, juga
sejarah mereka sebelum kenabian dan sesudahnya. Terdapat beberapa tanda-tanda
di sebagian ayat Quran yang menegaskan bahwa biografi (riwayat hidup)nya dapat
menjadi sebab utama dalil pembenaran dakwah mereka, seperti dalam Yunus: 16
قُلْ لَّوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا تَلَوْتُهٗ عَلَيْكُمْ وَلَآ
اَدْرٰىكُمْ بِهٖ ۖفَقَدْ لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمُرًا مِّنْ قَبْلِهٖۗ اَفَلَا
تَعْقِلُوْنَ
“Katakanlah
(Muhammad), “Jika Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu
dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu.” Aku telah tinggal bersamamu
beberapa lama sebelumnya (sebelum turun Al-Qur'an). Apakah kamu tidak mengerti?”
,
Hud: 62
قَالُوْا يٰصٰلِحُ قَدْ كُنْتَ فِيْنَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هٰذَآ
اَتَنْهٰىنَآ اَنْ نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ اٰبَاۤؤُنَا وَاِنَّنَا لَفِيْ شَكٍّ
مِّمَّا تَدْعُوْنَآ اِلَيْهِ مُرِيْبٍ
“Mereka
(kaum samud) berkata, “Wahai Saleh! Sungguh, engkau sebelum ini berada di
tengah-tengah kami merupakan orang yang di harapkan, mengapa engkau melarang
kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami
benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau
serukan kepada kami.”
dan
88,
قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ
رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ
اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ ۗاِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ
مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ
وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ
“Dia
(Syuaib) berkata, “Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang
nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku
menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang
aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku
masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku
bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.”
juga al-Qalam: 4
وَاِنَّكَ
لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan
sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”
Dari
ayat-ayat di atas, menjelaskan kepada kita bahwa kehidupan, perjalanan sejarah,
dan etikanya Nabi Muhammad SAW merupakan sekelintir dalil dari kenubuatannya.
Begitu juga, dapat diambil istidlal dengan substansi risalah atas
kesahihan dan kebenaran pemangku mukjizat. Berikut adalah beberapa dalil-dalil risalah
kenabian, diantaranya: mukjizat, kehidupan Nabi plus sejarahnya, dan substansi (apa
yang terkandung dalam sebuah) risalah—yang dalam hal ini kita hanya membahas
poin ketiga.
Substansi Risalah Kenabian
Setelah
banyaknya dalil yang telah dimaktubkan, tersisalah bahwa yang paling kuat untuk
membuktikan sebuah kenubuatan adalah mukjizat. Imam Juwaini pun berpandangan
bahwa tidak ada lagi cara untuk membutikan kebenaran pemangku nubuat kecuali
dengan mukjizat. Mukjizat menjadi satu-satunya dalil pembuktian kenabian. Tersebab,
mukjizat itu tergolong perkara yang di luar nalar dan adat kebiasaan (khariq
li al-‘adah, selanjutnya penulis akan menyebut demikian), seperti
pandangannya Imam al-Baqilani dan beberapa ulama ahlussunnah.[2]
Di
luar itu, sering kali hukum Tuhan (sunnah Allah) menguatkan status
kenubuatan para nabi dan rasul-Nya dengan mukjizat dan ayat-ayat yang zahir
(tersurat). Para nabi dan rasul menyampaikan kepada para pengikutnya dengan
cara yang dapat menarik pandangan juga perhatian mereka untuk menunjukkan bahwa
kenubuatan merupakan perkara yang agung. Secara bersamaan, susah sekali bagi
akal untuk mempersepsikan substansi kenabian. Nabi juga hanya merupakan manusia
biasa, dengan kebiasaan manusia, dia bergaul dengan masyarakat sosial, dan begitu
juga sebaliknya (masyarakat bergaul dengan Nabi).
Dalih
terkait aspek ini merupakan sesuatu yang esensial. Sangat niscaya hukumnya
untuk mencari dalil yang kuat untuk membuktikan kebenaran para pemangku nubuat.
Pun, dalilnya pula harus yang khariq li al-‘adah, sampai tidak bisa lagi
dibantah ataupun ditiru oleh individu-individu lain. Imam Baghdadi berkata,
“Seorang nabi itu musti memiliki mukjizat untuk membuktikan kebenarannya.
Akibatnya, jika dia mampu untuk mendatangkan mukjizat demikian dan nampak
kepada kaumnya, tidak ada alasan lagi untuk tidak membenarkannya, tidak
mentaatinya, juga untuk meminta mukjizat lain yang lebih kuat,”[3]
Kutipan
tadi diperkuat dengan kaulnya Imam al-Qadhi Abdul Jabbar (seorang muktazilah),
“Jikalau Tuhan mengutus kepada kita seorang rasul untuk mengajarkan kita
maslahat-maslahat (ajaran-ajaran agama), maka, wahib bagi-Nya (beliau sampai
berkata demikian) untuk membuktikan kenubuatannya dengan cara mukjizat (amal
mu’jiz) yang menunjukkan kebenarannya sebagai tuntutan sebuah pemberitaan
kenubuatan.”[4]
Dari
sini kita dapat menarik sebuah benang merah bahwa terdapat korelasi kuat antara
kenubuatan dan mukjizat. Mukjizat yang diketahui sebagai sebuah esensi kuat
untuk membuktikan status kenabian. Ia juga dasar (ashl) pembuktian
kenubuatan (itsbat an-nubuwwah).
Syahdan,
dapat didefinisikan bahwa mukjizat adalah perkara yang di luar nalar, adat, dan
kebiasaan (khariq li al-‘adah) yang ditampakkan oleh Tuhan atas pemangku
kenubuatan untuk membuktikan, juga melemahkan orang-orang yang ingkar untuk
mendatangkan semisalnya. Sudah menjadi sunnatullah bahwa mukjizat setiap
nabi bergantung terhadap apa yang sedang populer di zaman nabi tersebut. Layaknya
kisah-kisah rasul sebelumnya, mereka memiliki mukjizat yang sesuai dengan
kekhususan risalahnya. Aspeknya juga sesuai dengan tempat, waktu, dan
masyarakat sosial untuk memperkuat argumentasi (hujah). Jika, seandainya
pengaruh yang dihasilkan mukjizat itu kecil, niscaya berakhirlah masa suatu
risalah kenabian yang diutus oleh Tuhan. Dengan demikian Tuhan akan mengutus
rasul yang baru dengan mukjizat yang baru juga. Sampai akhirnya datang rasul
terakhir, Nabi Muhammad SAW, sebagai utusan yang menyeluruh juga penutup. Mukjizat Nabi Muhammad juga
sangat bermacam-macam secara hissi maupun maknawi.
Bersamaan dengan status mutawatir-nya dalil
yang menunjukkan realisasi kemukjizatan nabi dengan dua macamnya dan
pembuktiannya, tetap saja ada golongan kecil (syarmadzaj) yang
mengingkari mukjizat-mukjizat ini. Golongan kecil inilah yang kemudian hari mengingkari
mukjizat-mukjizat Nabi dengan berkedok
klaim-klaim palsu, syubhat-syubhat yang tidak kokoh, juga argumen-argumen
mereka yang tidak sahih. Mereka menubikan kaul-kaul mereka yang tidak
disandarkan kepada dalil yang dapat membangun sebuah hujah. Anehnya lagi,
mereka menyangka bahwa itu adalah sebuah pembaharuan terhadap agama dan juga
hukum-hukumnya—yang pada hakikatnya adalah sebuah pembobrokkan dalam hal agama.
Berikut ini merupakan beberapa pengingkaran mereka berdasarkan lagam klaim-klaim
yang bermacam-macam, di antaranya:
Diskualifikasi Akal
Di antara beberapa motif yang mendorong kepada
pengingkaran mukjizat adalah diskualifikasi (istib’ad ‘aqli). Mereka
membuat syubhat yang didasari hukum-hukum logika juga menolak mukjizat
berdasarkan esensinya yang khariq li al-‘adah. Padahal, mukjizat itu
hukumnya mungkin-mungkin saja terjadi di realita semesta dan setiap yang
mungkin itu bisa-bisa saja terjadi (ja’iz fi al-waqi’). Setiap yang
mungkin tadi, mudah sekali hukumnya lagi isometrik jika ditinjau berdasar
kudrah-Nya Tuhan.[5]
Contoh dari diskualifikasi akal mereka terhadap
peristiwa Isra dan Mikraj. Mereka mengingkari peristiwa tersebut berdasarkan
hukum logis, melihat jarak yang ditempuh oleh seekor keledai untuk pergi
dan kembali ke tempat pemberangkatan. Tersebab diskualifikasi ini,
banyak dari manusia yang meninggalkan agama Islam dan menjadi murtad.[6]
Di dalam permasalahan isra dan mikraj, kita dapati bahwasanya Tuhan memudahkan manusia dengan pengetahuan teoritis juga pengetahuan praktis—di zaman sekarang—untuk dapat memperkuat pembuktian mukjizat. Kemajuan pengetahuan praktis memungkinkan kita untuk memotong jarak dengan cepat. Dengan itu, dapat menampar segala syubhat bahwasanya kejadian isra tidak mungkin dilakukan dengan badan jasmani.
Lalu, kemajuan pengetahuan teoritis memperkuat
segala percobaan yang hasilnya dapat menepis segala syubhat bahwasanya mikraj
itu menjadi masuk akal jika dilakukan dengan ruh saja. Cukup dengan pembuktian
bahwa manusia dapat melakukan perjalanan dengan cepat seperti menggunakan
pesawat jet yang kecepatannya lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan suara
dan satelit luar angkasa (sekitas 1 km/3 detik atau 0,333 km/detik). Jikalau
seorang manusia melakukan perjalanan melebihi kecepatan satelit luar angkasa
ketika memutari bumi (yang kecepatannya mencapai 8 km/detik), maka, menjadi
mungkin perjalanan isra hanya beberpa detik saja dan ia kembali ke tempat tidurnya
dalam keadaan tempat tidurnya masih hangat.[7]
Segala diskualifikasi bukti terjadinya
mukjizat, ilmu modern dan hukum-hukumnya membuktikan kemungkinannya.
Kredo Hukum Kausalitas
Telah jamak diketahui bahwa sebab adalah bukti
utama sebuah hasil perbuatan. Karena sebab, subjek (pelaku pekerjaan)
melakukannya.[8]
Basis hukum ini adalah berpegang teguh terhadap konkretnya
korelasi antara sebab dan akibat. Para penganutnya banyak berpegang teguh
dengan premis tadi untuk mengingkari mukjizat. Alasannya karena mukjizat itu di
luar nalar, adat, dan kebiasaan yang itu telah keluar dari bingkai hukum
kausalitas. Dari situ, mereka tidak percaya ada mukjizat yang bisa mengeluarkan
air untuk memenuhi segala kebutuhan tentara yang jumlahnya sangat masif. Mereka
juga tidak memercayai mata Qatadah yang sembuh akibat diludahi. Semua kejadian
ini, mereka mengingkarinya tersebab raibnya hubungan sebab dan akibat. Dengan
memperkuat klaim itu para penganut hukum kausalitas berkata, “Sebab itu
berhubungan erat dengan akibat. Layaknya janin dengan tali pusar dan plasenta.
Apabila putus salah satunya, gugurlah janin.”[9]
Sebenarnya, menyangkal mukjizat berdasarkan dengan
motif ini tidak ada gunanya, kecuali hanya menimbulkan kecurigaan terhadap
pengingkaran yang dibutikan secara definitif. Secara bersamaan, mengingkari
mukjizat merupakan bentuk ingkar juga terhadap kenubuatan. Berlipat-liparlah
kedunguan, jika ada seseorang yang mengimani para nabi tapi tidak mengimani
kenabian. Nubuat para nabi dan rasul juga bermula dari bentuk kiasan yang tidak
memiliki konjugasi terhadap tantangan penghadiran yang serupa (tahaddi). Jika
demikian, itu merupakan mukjizat dari segi khariq li al-‘adah.
Pengingkaran mukjizat juga termasuk bentuk pengingkarannya dari segi khariq
li al-‘adah.[10]
Berpijak kepada Penemuan
Pengetahuan Ilmiah
Selain hukum kausalitas, beberapa motif yang
mendorong orang-orang untuk mengingkari mukjizat adalah tidak dapat terjangkau
oleh sarana pengetahuan ilmiah. Mereka meremehkan dan mengkerdilkan kejadian
mukjizat dengan izin Tuhan secara langsung tanpa menjangkaunya dengan
sarana-sarana ilmiah yang tidak keluar dari sarana-sarana tabiat. Ini merupakan
keistimewaan mukjizat yang dapat menundukkan keagungan penemuan ilmiah.[11]
Pengingkaran golongan ini berangkat dari klaim
mereka bahwa pengetahuan modern tidak meyakini
adanya mukjizat karena mukjizat keluar dari aturan-aturan pengetahuan ilmiah.
Jika demikian, dapat diartikan pengingkaran terhadap aturan-aturan tabiat—dalam
hal ini pengetahuan modern—merupakan sebuah kedunguan akal juga keburukan
tabiat.[12]
Contohnya, mereka tidak membenarkan kejadian
terbelahnya bulan oleh tangan Nabi Muhammad SAW. Padahal, sudah jelas bahwa terbelahnya
bulan merupakan perkara yang tidak mustahil di akal. Yang mustahil adalah
membuat bulan dari ketiadaan. Sejarah juga mencatat peristiwa terbelahnya bulan.[13]
Mereka
juga tidak membenarkan kejadian Ibrahim yang terbakar api tanpa meninggalkan
luka sedikitpun. Mereka juga mensilogiskannya atas seluruh
mukjizat-mukjizat yang lain. Alasan mereka mengingkarinya adalah karena mereka
membawa klaim ‘pengetahuan’. Di lain sisi, mereka tidak mau untuk melakukan uji
ilmiah dan tidak mau mengeluarkan mukjizat dari kerangka ujaran berikut: “Mukjizat
dengan segala maknanya yang khariq li al-‘adah merupakan perkara yang
mustahil dibuktikan secara definitif (pasti). Juga, mustahil bagi siapa yang
mempelajari fisika untuk membuktikan realisasi kejadian tertentu yang itu
merupakan khariq li al-‘adah, selama tidak diasumsikan bahwa fisika itu
merupakan ilmu sempurna yang mempelajari segala perbuatan tabiat sebagaimana
dapat menafikan mukjizat dari setiap ilat tabiat.”[14]
Oleh
karenanya, jika mukjizat terbina dari bahasa pengetahuan dan sarana-sarananya
yang kontemporer akan menjadi perkara yang tidak ada gunanya untuk mencoba
membuktikannya ataupun percaya dengan kejadiannya.
Berikut tadi merupakan salah satu daripada
perkataan-perkataan golongan yang ingkar yang menjelaskan penolakannya terhadap
setiap yang keluar dari hukum-hukum pengetahuan. Dikatakan, “Seorang penulis
halaman-halaman ini sangat membutuhkan kepada waktu yang lama, jika dirinya
mengikuti satu kelompok mukmin tertentu dengan pengetahuan kontemporer dan beberapa
deskripsinya—yang tidak memerlukan tradisi yang lama...Kemudian beliau berkata:
“Bagi saya, sesuatu yang lama hanyalah omong kosong dan tidak bermanfaat bagi
sahibnya secara khusus juga manusia secara umum. Saya percaya bahwa umat ini
akan mengambil bagiannya dari sebuah peradaban dan akan terus bertambah atau berkurang
dengan kadar yang diambil dari bagian pengetahuan dan metodologi,”[15]
Lompatan Besar dalam Penelitian
Rekayasa Genetika
Kesuksesan ilmu pengetahuan modern yang dilahirkan
oleh para ilmuan rekayasa genetika menjadi salah satu sebab utama dalam pengingkaran
mukjizat. Mereka yang meningkari mukjizat lewat metode ini mendapatkan sesuatu
yang kemudian diberi nama dengan "obsesi sains". Salah satunya dengan menaikkan
status produk-produknya di atas keyakinan akidah juga di atas konstanta nilai
dan moral. Mereka juga disibukkan dengan kelangsungan perjalanan pencarian
kebenaran mereka melalui data-data pengetahuan di setiap lini kehidupan.[16]
Penelitian dan lompatan ini berdiri di atas asas
serikat (kebebasan). Yakni, memasukkan bagian khusus dari satu makhluk hidup ke
dalam makhluk hidup lain. Penelitian ini juga berpegang kepada penelitian
genetik pada gen-gen dan upaya untuk mengidentifikasinya. Juga bereksperimen
dengan bagian-bagian yang mungkin.[17]
Agar terealisasi identifikasi banyak daripada mekanisme-mekanisme kehidupan. Sebagai
contoh, kita menempatkan bayi tabung dan mengganti susunan genetikanya lalu
menciptakan organ-organ buatan (prostetik) untuk jasad kita. Kita mengubah pola
pikiran kita. Kita memperpanjang umur kita. Atau mungkin, suatu saat nanti kita
akan menciptakan kehidupan itu sendiri. Revolusi biologi tidak mengubah raga
kira secara fisiologi saja, mungkin kita bisa juga mengubah pola berpikir kita
juga orang lain.[18]
Ini merupakan beberapa motif yang menyebabkan
orang-orang mengingkari mukjizat dengan cara yang lampau maupun kontemporer.
Orang-orang silam biasanya mengingkarinya karena alasan keluar dari hukum alam
semesta dan aturan-aturannya—yang demikian itu dikecualikan secara akal.
Demikian ini yang dipegang oleh beberapa kaum modernis, bahkan mereka
menambahkannya dengan kepatuhan terhadap penemuan-penemuan ilmiah dan
kesuksesan cemerlang di dalam penelitian rekayasa genetika. Ini juga merupakan
faktor pendukung di antara keduanya.
Pun, jikalau bukan karena motif-motif yang telah
disebutkan, syubhat apalagi yang dapat Anda pegang teguh? Demikian. wallahu a'lam
Tulisan ini merupakan hasil resume tulisan Dr. Nadhir Muhammad 'Iyad di majalah Azhar
edisi Maret 2022, Sya’ban 1443 dengan judul Min Dalail an-Nubuwwah
[1] Manahil al-‘Irfan, Imam Zarqani, 1/73
[2] Lihar al-Irsyad, Imam Juwaini, hal.
134 dan al-Inshaf, Imam Baqilani, hal. 61
[3] Ushul ad-Din, Imam Bagdadi, hal. 173
[4] Syarh Ushul al-Khamsah, hal. 56
[5] Mauqif al-‘Aql wa al-Ilm wa al-‘Alam min
Rabb al-‘Alamin, Syekh
Musthafa Shabri, 4/39
[6] Lihat as-Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu
Hisyam 1/368,369 dan Fiqh as-Sirah, Muhammad al-Gazali, hal. 137 dan 138
[7] Lihat al-Islam wa al-Falsafah al-Ilm,
Dr. Ahmad Ramadhan, hal. 603, 604
[8] Lihat al-Hawamil wa as-Syawamil,
beberapa pertanyaan Abu Hayyan at-Tauhidi terhadap Abu Ali Miskawaih, hal. 30,
juga al-Islam wa al-Falsafah, Dr. Ahmad Ramadhan, hal. 171
[9] Lihat al-gazaliyyat fi as-sam’iyyat, Dr.
Muhammad al-Ghazali, hal. 33
[10] Mukhtashar Mauqif al-‘Aql al-Musamma al-Qaul
al-Fashl, Syekh Mushthafa
Shabri, hal. 35
[11] Mauqif al-‘Ilm wa al-‘Alam min Rabb
al-‘Alamin, Syekh
Mushthafa Shabri, 4/129
[12] Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, Dr. Hasan Hanafi, 4/77, Lihat juga al-Islam
fi Ash al-‘Ilm, Dr. Ghamrawi, hal. 106
[13] Lihat al-Islam wa Falsafah al-‘Ilm,
Dr. Ahmad Ramadhan, hal. 602 dan 603
[14] Dikutip dari Muwajahah al-Ilhad
al-Mu’ashir wa ‘Aqaid al-‘Ilm, Dr. Yahya Hasyim, hal. 50
[15] Lihat WIjhah Nazhar, Dr.
Dzaki Nagib Mahmud, hal. 5 dan al’Mantiq al-Wadh’i, Dr. Dzaki Mahmud,
1/2
[16] Al-Atsar ad-Diniyyah wa al-Akhlaqiyyah li
Buhuts al-Handasah al-Wiratsiyyah nukhbah min al-‘Ulama, Bag. 1, hal. 3
[17] Lihat al-Handasah al-Wiratsiyyah li
al-Jami’, William Betz, Penerjemah: Dr. Ahmad Mustajir, hal. 10, Lihat al-Handasah
al-Wiratsiyyah, al-Amal wa al-Alam, Abdul Basith al-Jamal, hal 83-84
Related Posts
There is no other posts in this category.
Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Bagaimana Cara Membuktikan Status Kenabian?"
Posting Komentar