Oleh: Pajarudin
Syekh Abdul Halim Mahmud
merupakan Grand Syekh al-Azhar ke-40 dan salah satu ulama yang masyhur di Mesir
sebagai sosok pengamal tasawuf. Baginya, jalan tasawuf adalah salah satu jalan yang
selamat. Sebab, tasawuf dapat menyesuaikan diri dan memperbaiki kehidupan serta
kemajuan yang membawa kebahagiaan dunia maupun akhirat. Beliau lahir pada 12
Mei 1910 M di Desa al-Salam. Desa itu dahulu dikenal dengan
nama Abu Ahmad, Provinsi Syarqiyah, Mesir.
Daerah tersebut
melahirkan banyak ulama besar. Selain Syekh Abdul
Halim Mahmud, beberapa dari ulama daerah tersebut sempat menjabat sebagai Grand
Syekh al-Azhar, seperti Syekh Salim Hifni (Grand Syekh ke-8), Syekh Abdullah
Syarqawi (Grand Syekh ke-12) dan Syekh Dhawahiri (Grand Syekh ke-34). Syekh
Abdul Halim Mahmud merupakan keturunan Rasulullah SAW melalui jalur Sayidina
Husain RA. Beliau terlahir di lingkungan keluarga penghafal al-Quran. Oleh
karena itu, sejak kecil beliau telah bersahabat dengan al-Quran, mulai dari
menghafal, memahami sampai mengamalkannya. Sedangkan, perjalanan intelektualnya
dimulai dari desa kelahirannya, kemudian melanjutkan ke sekolah menengah
al-Azhar, Kairo. Setelah lulus dari sana, beliau melanjutkan
pendidikannya di Universitas al-Azhar.
Selama menjadi mahasiswa al-Azhar dari tahun 1923-1932 M, beliau menimba ilmu kepada ulama besar zaman itu. Di antaranya, Syekh Muhammad Mustafa al-Maraghi, Syekh Mahmud Syaltut, Syekh Hamid Muhaisin, Syekh Sulaiman Nawar, Syekh Muhammad Abdullah Diraz, Syekh Abdul Lathif Diraz, dan Syekh Musthafa Abdul Raziq. Setelah beberapa tahun belajar di al-Azhar, beliau menghadapi ujian doktoral dengan dewan pengurus ujian yang terdiri dari lima ulama senior al-Azhar yang sudah bestari keilmuannya. Sang ayah senantiasa menemaninya pada hari-hari berlangsungnya ujian.
Waktu ujian berlangsung, ayahnya segera pergi ke makam Imam Dardir. Di sana, beliau beriktikaf, membaca al-Quran, serta bersimpuh di hadapan Allah sembari berdoa agar anaknya diberikan kemudahan dan kelulusan. Berkat keikhlasan doanya, Syekh Abdul Halim Mahmud pun lulus ujian tersebut. Selain mendapat gelar doktor dari al-Azhar, beliau juga merupakan salah satu ulama besar yang berhasil meraih gelar doktor dari Universitas Sorbone, Prancis pada 1940 M. Disertasinya yang berjudul “Tasawuf Islam” membahas tokoh sufi pada abad pertengahan, al-Harits bin Asad al-Muhasibi, lantas ia mendapat predikat Cumlaude dari para penguji. Adapun pembimbing beliau dalam disertasi adalah seorang orientalis Prancis bernama Louis Masignon.
Setelah menyelesaikan studinya di Prancis, beliau kembali ke Mesir. Pada tahun 1951 M, beliau diberi amanah menjadi staf pengajar di bidang sosiologi Fakultas Bahasa Arab, Universitas al-Azhar, Kairo. Pada tahun yang sama, beliau dipercaya juga menjadi dosen di jurusan akidah dan filsafat. Tersebab beliau seorang yang amanah ketika menjadi staf pengajar di al-Azhar, maka beliau dipercaya untuk menjadi Dekan Fakultas Ushuludin tahun 1964 M. Ketika menjabat sebagai dekan, beliaulah yang pertama kali menambahkan Tasawuf sebagai mata kuliah di Fakultas Ushuludin. Pada tahun itu juga beliau menjadi Anggota Lembaga Riset Keislaman (Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah). Kemudian tahun 1971 M, beliau menjabat sebagai Menteri Perwakafan dan Urusan al-Azhar.
Setelahnya, beliau
didaulat sebagai pemimpin tertinggi di al-Azhar (Grand Syekh al-Azhar)
berdasarkan keputusan Presiden Anwar Sadat pada 1973 M. Saat menjabat, beliau
dikenal sebagai sosok Grand Syekh yang zahid dan bertakwa. Beliau telah
membenahi dan memperbaiki al-Azhar serta mengembalikan wakaf-wakafnya sampai
memimpin al-Azhar. Beliau juga sudah membangun banyak majelis ilmu yang
berkesinambungan hampir di seperempat wilayah Mesir. Seperti majelis ilmu yang
sampai sekarang dapat dirasakan oleh masyarakat Mesir itu merupakan jerih payah
beliau saat menjabat sebagai Grand Syekh al- Azhar. Prestasi
ini sangat menakjubkan dan belum pernah dilakukan oleh Grand Syekh al-Azhar
sebelumnya. Hal ini tidak lain karena keberkahan yang dimiliki oleh beliau
serta pertolongan dari Allah SWT. Lantaran jamak diakui beliau adalah
kekasih-Nya yang mengetahui kebesaran-Nya yang agung, maka masyarakat Mesir memandang beliau sebagai
wali Allah dan sufi besar di zamannya.
Seiring perkembangan dunia yang semakin modern, beliau sebagai pelaku tasawuf
tetap melestarikan ajaran tasawuf. Hal ini bisa dilihat dari kehidupan beliau
yang sederhana, sebagaimana yang diceritakan oleh murid beliau, Prof. M.
Quraish Shihab, bahwa Syekh Abdul Halim Mahmud hidup di rumah yang sederhana,
bahkan meskipun beliau menjadi pemimpin tertinggi al-Azhar. Diceritakan pula,
beliau selalu naik bus ketika pergi mengajar ke Universitas al-Azhar, baik
sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Dekan Fakultas Ushuludin (1964 M).
Sebagai sosok yang pernah hidup bertahun-tahun di Barat, hiruk-pikuk dan glamor
ala kehidupan Barat tidak berbekas pada diri dan hatinya. Beliau tetap
menjaga penghayatan dan pengamalan nilai-nilai spiritual Islam.
Di samping itu, beliau
sebagai sosok yang sangat mengagumi Imam Ghazali dan pengamal tasawuf tarekat
Syadziliyah, beliau meyakini akan hal-hal suprarasional (gaib). Selanjutnya,
perjuangan dan kegigihan beliau dalam menjelaskan ajaran Islam secara rasional
diakui oleh semua pihak. Oleh sebab itu, beliau diberi gelar kehormatan
sebagai, “Al-Ghazali dari abad ke-14 H.” Gelar ini diberikan karena
kemampuannya untuk mengintegrasikan dimensi eksoterik dan esoteris Islam (yang
sering dianggap bertentangan).
Beberapa pandangan beliau
mengenai tasawuf adalah tasawuf merupakan ruh kemajuan yang bisa menjadi metode
ilmiah untuk memahami realita. Esensi tasawuf didefinisikan sebagai cakrawala
yang memiliki sisi metafisika; ilmu yang menjelaskan makna tentang rahasia
sifat-sifat Allah SWT yang tersembunyi. Beliau juga menambahkan bahwa tasawuf
berbeda dengan tradisi mysticism dalam tradisi Barat. Artinya, tasawuf
bukan hanya metode takhayul belaka, tetapi ia merupakan jalan yang mengantarkan
para sufi menuju gerbang Allah SWT dan derajat yang tertinggi. Hal ini selaras
dengan apa yang disampaikan oleh sufi besar asal Aljazair, Syekh Abdurrahman
al-Ahdari, “Alangkah mulianya jalan para sufi menghantarkan mereka menuju
derajat yang tinggi.”
Hingga akhirnya beliau
kembali ke haribaan sang Ilahi pada Selasa, 15 Dzulqadah tahun 1396 H (17
Oktober 1978 M). Dunia Islam ditimpa kesenduan, tapi karya serta kontribusi
beliau terhadap al-Azhar dan umat telah membuat namanya terus terkenang. Di
antara karyanya yang masyhur adalah al-Mundiq Min al-Dhalâl (tahkik),
al-Madrasah al-Syâdziliyyah, al-Tashawwuf ‘inda Ibn Sînâ, Qadhiyyât
al-Tashawwuf al-Munqidz min Dhalâl li al-Ghazâli, al-Falsafah wa al-Haqîqah,
al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm dan lain sebagainya.
*Tulisan
ini diambil dari Buletin Bedug Edisi-38, dicetak pada bulan Juli 2020 yang
bertemakan AKLIMATISASI LITERASI DIGITAL.
Supported by:
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Syekh Abdul Halim Mahmud; Pelopor Tasawuf Kontemporer"
Posting Komentar