Oleh: Wilda Rahmi

الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على رسوله المصطفى وعلى آله وصحبه ومن اهتدى أما بعد

Seperti yang kita tahu, bahwa Arab mempunyai ka’bah sebagai kiblat ibadah shalat orang muslim serta dijadikan latar untuk menunaikan salah satu rukun islam yang ke lima, yaitu haji. Demikian pula Mesir yang mempunyai Azhar Asy-Syarif sebagai kiblat ilmu seluruh muslim di penjuru dunia. Oleh karena itu, berbagai macam ras tentu ikut ambil tangan dan bercampur pada satu tempat yang sama. Nah, pada kesempatan ini, majalah Azhar mencoba mengupas Hakikat kesetaraan antara sesama manusia yang bersumber dari salah satu khutbah Nabi dan beberapa kutipan dalam Al-Quran. Topik ini juga sedikit banyak menyinggung tentang batasan toleransi dan sebagainya.

Namun, sebelum masuk ke pokok pembahasan, pada paragraf pertama penulis mengingatkan kita tentang pentingnya ketelitian dalam mengkaji sirah nabi. Hal ini menjadi sebuah tuntutan agar talib dapat membenarkan paham-paham yang menyimpang yang telah menyebar luas dan tak jarang bertentangan dengan kebenaran dan realita serta bertolak belakang dengan tujuan agama.

Salah satu paham yang menyimpang yang butuh diterangkan adalah Hakikat kesetaraan antara sesama manusia. Oleh karena itu, Pada kesempatan Haji Wada’, tepatnya di depan seluruh umat dari segala penjuru dunia nabi mendeklarasikan khutbahnya, “Wahai manusia, bukankah Tuhanmu satu? Bukankah bapakmu satu? Dan bukankah tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang selain Arab atau sebaliknya, dan tidak ada kelebihan bagi yang berkulit merah dengan yang berkulit hitam atau sebaliknya kecuali taqwa.” Ungkapan ini hanya membahas tentang kesetaraan antara manusia tanpa membedakan antara mereka dalam hal apapun, baik itu jenis kelamin atau warna kulit, negara asal, bahasa, atau bahkan agama dan kedudukan sosial, semuanya setara dalam mizan Islam. Tidak ada perbedaan keistimewaan juga kelebihan di antara mereka kecuali dengan satu tolak ukur, yaitu ketaqwaan.

Dan tolak ukur ini telah dinaskan dalam alquran:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian, Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Qs. Alhujurat:13)


Singkatnya, khutbah ini berisi larangan fanatisme dalam sebuah suku. Yakni, larangan untuk saling menghina, mencaci ataupun berbangga diri. Karena sejatinya, semua manusia berasal dari Nabi Adam.

Namun, jika lebih diteliti lagi isi dari khutbah Nabi ini, disebutkan di dalamnya dua pilar penting, yaitu poin sisi ketuhanan dan kemanusiaan. Maka, persaudaraan antara manusia itu terbagi menjadi dua sisi, yaitu persaudaraan rububiyah dan basyariah.

Ini merupakan isyarat bahwasanya ada ukhuwah diniyah (persaudaraan secara agama) yang lebih khusus daripada persaudaraan manusia. Juga ruang lingkupnya lebih sempit dan lebih banyak hak serta kewajiban di dalamnya. Tapi ukhuwah diniyah ini tidak serta-merta meniadakan ukhuwah insaniyah yang ruang lingkupnya lebih luas dan umum atau mencakup semua manusia. Namun, begitu bukan berarti ukhuwah insaniyah tadi menjadikan semua orang bagaikan umat yang satu, sehingga menghilangkan semua perbedaan dan keistimewaan yang ada dan sepakat dalam satu kepercayaan dan juga tujuan. Karena itu menyalahi sunah kauniah dan hikmah ilahiah.

Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًاۗ اُولٰۤىِٕكَ يُعْرَضُوْنَ عَلٰى رَبِّهِمْ وَيَقُوْلُ الْاَشْهَادُ هٰٓؤُلَاۤءِ الَّذِيْنَ كَذَبُوْا عَلٰى رَبِّهِمْۚ اَلَا لَعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الظّٰلِمِيْنَ ۙ

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan suatu kebohongan terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata, “Orang-orang inilah yang telah berbohong terhadap Tuhan mereka.” Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang zalim.”

الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَيَبْغُوْنَهَا عِوَجًاۗ وَهُمْ بِالْاٰخِرَةِ هُمْ كفِٰرُوْنَ

“(Yaitu) mereka yang menghalangi dari jalan Allah dan menghendaki agar jalan itu bengkok. Dan mereka itulah orang yang tidak percaya adanya hari akhirat.”

Tafsir Ringkas Kemenag RI

Termasuk orang zalim juga adalah mereka yang menghalangi manusia dari hidayah Allah serta merintangi mereka dari jalan menuju Allah. Dan mereka ingin menyelewengkan jalan-Nya serta menghendaki agar jalan menuju kebenaran itu bengkok sehingga orang lain mengingkari agama yang benar. Dan mereka itulah orang yang tidak percaya adanya hari akhirat, hari dibangkitkannya manusia dari kubur untuk mempertangungjawabkan amal perbuatan mereka di dunia. Orang-orang yang berusaha menghalangi dari jalan Allah akan dilipatgandakan siksaannya di akhirat. (Qs. Hud 18-19)

Sebagai contoh yang terjadi dalam masyarakat kini adalah banyak orang Islam yang ikut mengucapkan selamat natal pada orang kafir, tak jarang juga mereka memakai perintilan natal dalam menyambut hari tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan ajaran agama islam. Seperti yang dikatakan Ustad Abdul Shomad, Lc. Di dalam cuplikan dakwahnya, “Orang yang mengucapkan selamat natal, berarti dia mengakui tiga hal;

1.     Ia mengakui bahwa Nabi Isa adalah anak Tuhan.

2.     Ia mengakui bahwa Nabi Isa lahir pada tanggal 25 Desember.

3.     Ia mengakui bahwa Nabi Isa mati di palang salib.”

Bukan paham toleransi seperti ini yang dimaksud oleh Nabi. Melainkan toleransi dalam makna persaudaraan sesama manusia yang sebenarnya adalah kita hidup saling berdampingan dalam damai dan saling membantu sesama. Tidak ada yang boleh menzalimi satu sama lain, orang yang lebih kuat tidak boleh menindas orang yang lemah, dan cukup menghormati segala perbedaan yang ada. Karena sejatinya, perbedaan yang ada itu adalah sunnatullah dan tidak meniadakan persaudaraan antara manusia.

Dari yang sudah dijelaskan sebelumnya bisa kita lihat bahwa islam adalah agama penuh toleransi dan menerima perbedaan tanpa melihat kebudayaan atau akidah atau gender dan warna kulit.*

 

*Tulisan merupakan hasil resume dari rubrik iftitahiyyah Majalah Azhar edisi Bulan Muharram 1444 H, Agustus 2022 karya Dr. Muhammad ‘Iyad

 

 Supported by:


 

Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "Khutbah Wada’ Rasulullah; Hakikat Kesetaraan antara Sesama Manusia."

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel