Oleh: Hafidz Iman Irhamni

Sejak dulu, manusia cenderung membedakan antara unsur materialnya yang tercermin dalam jasad dan unsur spiritualnya yang tercermin dalam ruh. Hidup dan mati selalu dikaitkan dengan adanya ruh yang memberinya hidup. Maka, ruh dalam pemahaman ini bisa kita artikan nafs, jiwa, karena jasad tidak dapat berlangsung tanpa adanya ruh.

Tak jarang kita mendengar atau mengucapkan kalimat “jiwa dan raga”. Bahkan, kedua kata itu seperti tak bisa dipisahkan satu sama lain, karena ketidakhadiran salah satunya agaknya sedikit pincang. Bak saudara kembar yang tak dapat dipisahkan jiwa dan raga manusia ini harus terpenuhi nutrisi kehidupannya, untuk menjaga kesehatan jasmani raga perlu makan, istirahat dan olahraga, begitupun jiwa perlu asupan zikir untuk mencapai ketentraman.

Keseimbangan keduanya ini sangat diperhatikan oleh agama, bahkan itu yang menjadi poin washatan (moderat) yang terjemahannya begitu beragam, dengan mengindikasikan kepada keseimbangan dan proporsional.

Kata “nafs” dalam Al-Qur’an dan hadis hadir sebagai mufrad dan jamak, juga sebagai nakirah dan ma’rifah. Al-qur’an juga menggunakan kalimat “nafs” dengan berbagai macam makna, di antaranya:

  1.   Untuk mengungkapkan eksistensi kesempurnaan manusia secara ruh dan jasad.

قوله تعالى: (يأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نقس واحدة خلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساءا واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا) سورة النساء الاية 1

Hadis pun mengungkapkan yang demikian dalam hadis riwayat Imam Muslim dalam shahih-nya:

من قال لاإله إلا الله وحده لا شريك له, له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير, عشر مرار, كان كمن أعتق أربعة أنفس من ولد) إسماعيل)

  2.   Mengisyaratkan kepada zat Allah SWT.

قوله تعالى: (تعلم ما في نفسي ولا أعلم ما في نفسك إنك أنت علام الغيوب)



Kemudian, jiwa (soul) sendiri memiliki beberapa definisi, di antaranya dari St. Agustinus, ia memaknai jiwa manusia itu sebagai jawhar non material dan dapat kekal. Dari definisi Agustinus dapat kita simpulkan bahwa sejatinya jiwa manusia itu abadi dan tak dapat musnah. Tak sampai di situ, Agustinus juga memiliki dalil tersendiri atas anggapannya yang mengatakan bahwa jiwa itu abadi, di antara dalilnya: Secara tabiat atau alamiah suatu hakikat itu tak dapat musnah atau hancur, dan jiwa manusia adalah tempat hakikat manusia itu sendiri, maka konklusinya, bahwa jiwa manusia itu tak dapat musnah dan hancur. Hal demikian sudah pernah dikemukakan oleh Plato sebelumnya.

Di dalam buku filsafat eropa milik Yusuf Karam, Agustinus tercengan dan merasa heran jika jiwa manusia bisa disatukan dengan raganya, itu perkara yang aneh menurutnya, karena Plato beranggapan bahwa manusia itu hanya dari komponen jiwa saja, tidak ada unsur jasmani dan raga. Makanya, Agustinus mengatakan bahwa jiwa itu adalah batin manusia, sedangkan raga itu adalah sampulnya.

Definisi berikutnya datang dari filsuf muslim Al-Kindi yang mengutip definisi Aristoteles, bahwa jiwa itu adalah penyempurna pertama bagi raga manusia yang memiliki kehidupan abadi. Ibnu Miskawaih juga mendefinisikan bahwa jiwa itu jawhar yang hidup yang dapat menyelundup ke badan manusia.

Ibnu Sina pun sejalan dengan dengan kedua filsuf di atas dan berpendapat bahwa jiwa manusia itu jahwar yang abadi. Dan tanpa ragu Ibnu Sina mengatakan jiwa manusia itu tidak akan mati seiring dengan matinya jasad, dan tidak akan musnah, bahkan kekal sebab kekal Sang Penciptanya.

Berlanjut ke abad-6 H, di era filsuf muslim Syihabuddin Yahya Suhrawadi, Ia berpendapat selaras dengan para pendahulunya semisal Al-Ghazali dan Abi Al-Barakat Al-Baghdadi bahwa jiwa manusia itu akan tetap kekal meskipun setelah jasadnya mati, dengan berdalil bahwa jiwa itu berasal dari alam malakut, sedangkan jasad berasal dari alam material.  


Lalu, dari mana asal jiwa itu? 

Orang-orang manisme atau manikeisme beranggapan bahwa jiwa manusia itu berasal dari zat Tuhan. Dari pendapatnya itu memunculkan dua konklusi: pertama, bahwa jiwa manusia ada yang kekal seperti Tuhan, atau kedua, Tuhan dapat berubah-ubah seperti jiwa, tetapi kedua konklusi ini tidak sah. Lalu, Plato berpendapat bahwa jiwa manusia itu qodim yang turun ke bumi dan akan kembali dengan bereinkarnasi, dan menurutnya realitas manusia yang sebenarnya adalah jiwa.

Bagi Plato, jiwa manusia itu bukan hanya bersifat abadi, dalam arti bahwa jiwa itu tak akan mati (immortal), tapi juga bersifat kekal karena sudah ada sebelum hidup di bumi, sebelum bersatu ke jasad.

Bersebrangan dengan Plato, Aristoteles termasuk ke dalam golongan orang yang tak mempercayai keabadian jiwa manusia, Aristo menyatakan bahwa jiwa itu akan fana atau musnah seiring musnahnya raga. Hal itu yang diklaim oleh Ibnu Sina bahwa Al-Farabi sependapat dengan pemikiran Aristoteles terkait masalah jiwa manusia dan tidak menjelaskan sikapnya tentang kekalnya jiwa.

Kemudian, setelah jasad mati akan kembali kemana jiwa manusia?

Al-Qur’an ketika berbicara tentang hakikat dan asal mula jiwa manusia, begitu juga berbicara terkait kembalinya jiwa manusia, seperti yang tertulis di surat Ali Imran ayat 169, Allah SWT berfirman:

(ولا تحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون)

Maka jiwa manusia itu tidak akan mati, melainkan akan tetap hidup meskipun berpisah dengan badan dan akan kembali ke penciptanya (Allah SWT) dengan keadaan yang sama seperti di dunia. Di perkuat lagi dengan ayat lain nya dalam surah Al-Fajr ayat 27-28, Allah SWT berfirman:

(يأيتها النفس المطمئنة * ارجعي إلى ربك راضية مرضية)

Dengan jelas Al-Qur’an menjelaskan kemana kembalinya jiwa manusia ketika sudah berpisah dengan jasad, dan dengan kondisi yang sama seperti ketika menyatu dengan jasad di dunia.

Hemat saya, dari berbagai pandangan para filosof di atas menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa di mana selain ia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, manusia juga merupakan makhluk dua dimensi yakni dimensi fisik dan spiritual, dimensi jasmani dan ruhani, dimensi materi dan immateri. Dari dimensi fisik (jasmani dan materi), manusia memiliki tubuh dengan berbagai sistem yang memiliki fungsi khusus seperti sistem syaraf, sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem penginderaan, sistem pernafasan dan sistem reproduksi yang semuanya bekerja dengan sangat efektif, efisien dan sistematik. Dari dimensi spritual (ruhani dan immateri), manusia memiliki jaminan keabadian dan akan menuju Tuhan saat berpisah dengan raganya. Suatu saat nanti. 



Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "Jiwa Manusia; Abadi? Atau Bisa Mati?"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel