Oleh: Ahmad Luqi Wijayanto
Akal
merupakan sebuah peralatan bagi manusia yang berfungsi untuk memperoleh
pengetahuan. Ia juga merupakan sebuah anugerah sangat berharga dari Allah SWT
yang dimiliki oleh umat manusia, karena tidak ada makhluk di muka bumi ini yang
mempunyai akal untuk berpikir selain manusia. Bumi yang sekarang kita pijak ini
memiliki peradaban—tidak lain dan tidak bukan—karena adanya peran manusia berakal
sehingga bumi memiliki peradaban. Oleh karena itu, akal adalah keistimewaan
manusia di antara seluruh makhluk yang ada di muka bumi. Lantas bagaimana
kacamata Islam terhadap akal? Di sini penulis akan memberikan setitik
pengetahuan akal dalam kacamata Islam.
Telah
jamak kita ketahui bahwa manusia adalah khalifah
di muka bumi, sebagaimana yang Allah firmankan dalam surah Al-Baqarah yang
berbunyi:
(وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة)
"(Ingat)
ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, ‘Aku ingin menjadikan khalifah di
bumi."
Lantas
mengapa Allah menjadikan manusia sebagai
khalifah di muka bumi apa yang membedakan manusia
dari makluk lain sehingga kedudukan manusia di muka bumi ini begitu tinggi. Hanya satu alasan yang menjadikan manusia memiliki
kedudukan mulia tersebab pemberian Allah yang sangat luar biasa yaitu akal. Dimana
akal tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia.
Kata
“akal” sering dikaitkan dengan kata “otak”. Walau keduanya memiliki kesamaan,
keduanya juga memiliki perbedaan yang mendasar. Otak sendiri merujuk pada
pengertian suatu materi yang berada di dalam tempurung kepala. Tak hanya
manusia yang memiliki otak, binatang pun demikian. Oleh karena itu, sahih saja
bila dikatakan seseorang memiliki otak namun tidak berakal. Secara bahasa akal
berasal dari bahasa arab al-aql yang berarti paham dan mengerti.
Di dalam Al-Qur'an sendiri kata “akal” memang tidak secara langsung disebut
oleh Allah SWT, akan tetapi Allah SWT memberikan isyarat yang merujuk pada akal,
di antaranya adalah dengan lafaz al-qalb dan al-fuad, dengan
shigoh fiil seperti يعقلون، يبصرون ،يفقهون، ينظرون، يتدبرون، يعلمون , dan dengan lafazh أولي الأبصار ،
أولي النهى ، أولي الألباب
Dari
penjelasan di atas, kita tahu bahwa akal adalah instrumen terpenting dalam
kehidupan manusia. Karenanya, Islam sangat menganjurkan memanfaatkan instrumen
ini sebaik-baiknya, Hujjatul islam
Al-Imam Ghazali mengatakan "akal adalah implementasi dari cahaya
Allah". Bahkan dalam Al-Qur'an orang yang tidak menggunakan akal di
ibaratkan lebih sesat dari hewan ternak:
لَهُمْ
قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ
وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ
اَضَلُّ.....
Berangkat dari situ Islam
memiliki peran yang besar terhadap pemikiran salah satunya adalah "wasathiyyah"
yang berarti pertengahan. Kata-kata
wasathiyyah di dalam Al-Qur’an is akita dapati di dalam surah Al-Baqarah ayat
143 yang berbunyi;
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.” (Q.S Al- Baqarah: ayat 143)
Dari
pengetahuan kita terhadap arti kata wasth, bisa kita pahami pertengahan yang berada di
antara dua ujung. Lawanan dari kata washt yaitu tathoruf yang
berarti ujung atau tepi. Seseorang
yang berada di tepian jurang, dia akan rawan terpeleset dan jatuh ke dalam, karena
tepi adalah ujung dari sesuatu. Beberapa manusia yang berada di ujung akhirnya
terpeleset ke dalam jurang kegelapan sehingga mudah mengkafirkan sesama muslim.
Padahal telah jamak diketahui di kalangan orang muslim bahwa tidak boleh
mengkafirkan sesama ahlul qiblah (umat islam). Maka dari itu,
wasathiyyah berjalan pada jalan pertengahan di antara dua tepi berbahaya. Kalau
mau dianalogikan seperti halnya ketika kita menaiki sepeda motor harus seimbang
badan kita sehingga motor yang kita kendarai berjalan. Karena berjalannya motor
itu tergantung pada keseimbangan badan kita. Begitu pun agama harus seimbang dalam artian tidak berlebih-lebihan
dalam sesuatu hingga terkesan keras, juga tidak menggampangi hingga terkesan meremehkan.
Tentu
sebagai insan berakal, manusia dapat mengetahui mana baik dan buruk. Keburukan
akan mendatangkan kerusakan dan kebaikan akan mendatangkan kelestarian. Antara
kebaikan dan keburukan adalah dua kata yang berlawanan dan keduanya tak bisa
disatukan. Sudah pasti sebagai manusia berakal kita akan memilih kebaikan, karena
pada tabiatnya manusia memiliki kecenderungan terhadap kelestarian. Tapi, pada
realitanya kita tetap akan mendapati manusia yang berjalan menuju kepunahan
dengan mendatangkan berbagai kerusakan di muka bumi. Mereka beralasan “kami
memperbaiki bumi ini!” Jelas pergerakan mereka menuju kerusakan dan
kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Sudah pasti kekerasan ini akan
menciderai nama baik agama. Sedangkan agama sendiri tidak mengajarkan
kekerasan, karena agama adalah kedamaian, apalagi kita sebagai umat Islam yang
mana Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.
Supported by:
Related Posts

Subscribe Our Newsletter
MasyaAllah tabarakallah✨
BalasHapus