Oleh: Hafidz Iman Irhamni

I.                  Mukadimah

Segala puji hanyalah milik Allah Swt, dengan kehendak-Nya-lah saya dapat menuangkan tinta digital ini dengan diiringi kemudahan. Selawat serta salam selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, sebab beliau kita tidak lagi terpenjara dalam taklid buta para pendahulu.

Allah Swt memang menciptakan manusia dan membedakan dengan ciptaan lainnya dengan akal dan pikiran, seraya itu adalah isyarat bahwa manusia adalah makhluk yang paling tinggi posisinya diantara ciptaan yang lainnya. Dalam kajian humaniora dan agama, peran logika selalu ingin bekerja secara kritis dan logis dan tentu saja sangat penting. Pada langkah pertama, nalar bekerja melakukan pengamatan pada situasi sekeliling. Di langkah selanjutnya, dibuatlah identifikasi, kategorisasi, komparasi, klasifikasi, dan definisi sehingga realitas menjadi terstruktur dan mudah dipahami dan diterangkan. Maka, untuk menjadi ilmuwan atau saintis diperlukannya kondimen antara logika dan empiris, membuktikan bahwa sangat terbatas jika menggunakan logika saja.

II.                 Dari abad pertengahan ke era modern

Rekam jejak abad pertengahan memang dianggap sebagian orang sepenuhnya gelap. Manusia pada saat itu tunduk sekali kepada orang-orang gereja dalam hal agama, dan mengikuti pemikiran Arestoteles dalam hal logika.

Hari berganti hari, tahun berganti tahun pemikiran barat mulai terbuka dan tak mau terkekang oleh keduanya, barulah mereka mulai menghilangkan mimpi buruk itu, dan berupaya terbebas, sejak saat itulah mulai ada fajar modern yang muncul, seperti berkembangnya pemikiran, sastra, dan keilmuan. Beranjaknya ke abad modern bukan berarti jejak yang ada di era filsafat kuno dan abad pertengahan dihanguskan begitu saja, ada sepercik peninggalan yang masih ada sampai abad modern.

Fase dimulainya era modern itu dari masa renaisans (masa peralihan) sekitar abad 15-17M sampai sekarang ini.  Era modern ini, alih-alih muncul secara tiba-tiba dan tanpa mukadimah, justru ada proses panjang yang terjadi di sana. Sebagian orang, fase ini disebut juga sebagai era berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dari segi teknologi, filsafat, dan sosial. Johannes Hirschberger[1] menggambarkan era modern seperti manusia hidup yang sangat berupaya untuk merdeka dan bebas, serta mencari jalan sendiri dengan tetap menjaga akal pikirannya dari gangguan orang lain. Hal ini untuk membedakan antara abad pertengahan dan era modern sampai sekarang.

Prof. Hamdi Zaqzouq memberikan beberapa ciri dari filsafat di era modern, diantaranya:

1.       Lepas dari cengkeraman otoritas keagamaan (misalnya gereja).

Ketika manusia sudah tak lagi terkekang oleh cengkeraman gerejawan dan bisa berpikir independen maka sudah bisa dibilang mereka berada di era modernitas.

2.       Menjadikan sains sebagai objek pengetahuan.

Pembahasan tentang ketuhanan nampaknya sudah tak lagi digemari di era ini. Justru di waktu itu cenderung lebih ingin membahas suatu yang baru dan penemuan yang sebelumnya tidak ada.

3.       Kembali ke turots Yunani tanpa membahas tentang teologi dan berfokus ke permasalahan manusia, dengan membentuk satu mazhab yaitu humanisme.

III.              Keberlangsungan filsafat abad modern

Fase pertama: fase kebangkitan kembali. Fase ini berlangsung dari abad 15-16M. Di fase ini tak sedikit jejak di era Yunani kuno yang masih membekas. Masih ada penganut mazhab Plato misalnya. Kemudian ada penganut pemikiran Ibn Rusyd dan Arestoteles, juga para cendikiawan yang berupaya mencoba menyingkap sebuah rahasia sains dengan sihir dan ilmu perbintangan. Sebagian cendikiawan lain mempelopori dasar-dasar ilmu pengetahuan modern seperti matematika, sains, dan ilmu tentang alam semesta.

Fase kedua: terjadi di abad 18, dimana inggris menjadi pengaruh aliran filsafat pragmatis dan empirisme, para tokohnya seperti David Hume dan Immanuel Kant.

Fase ketiga: dimulai di pertengahan pertama abad 19 berfokus pada pembenahan dan pembangunan besar-besaran di Jerman, Inggris, dan Perancis. Di Jerman sendiri muncul beberapa filsuf terkenal seperti Hegel dan Arthur Schopenhauer.

Fase keempat: dipenghujung abad 19, terjadi kontoversi antar kaum materialis, terdapat penemuan terbaru pada teori perkembangan makhluk hidup, diantara tokohnya yaitu Darwin dan Spencer.

IV.               Ekspresi terhadap filsafat modern

Di era modern banyak orang yang beranggapan dan memberikan ekspresinya terhadap filsafat, bukan berarti filsafat berjalan dengan tenang-tenang dan biasa saja, tetapi banyak kontroversi terhadap hakikat dan esensinya, seperti:

1.       Filsafat tak memberikan sedikit pun faidah, sebab ia hanyalah sebuah teori bukan suatu terapan, juga tak dapat membantu manusia pada umumnya—yang jika disandingkan dengan sains, itu hanyalah pembahasan yang sia-sia.

2.       Filsafat tak lain hanya, tempat lahir satu madzhab yang akan mengkritisi mazhab lainnya, seperti Immanuel kant yang mengkritisi Descartes.

3.       Filsafat hanya mengandalkan logika semata, sementara untuk mencapai kepada hakikat dan esensi sesuatu, sangat diperlukan suatu terapan dan praktikal.

4.       Filsafat membuat keimanan seseorang mudah goyah, juga mudah membuat orang yang sudah yakin menjadi rancu dan terjebak dalam keraguan. Hal ini disebabkan karena filsafat yang rancu terhadap agama. 

V.                 Sepintas tentang Empirisme

Aliran empirisme dibangun pada abad ke-17 yang muncul setelah lahirnya aliran rasionalisme. Aliran empirisme ini lumayan bertolak belakang dengan aliran rasionalisme. Menurut paham empirisme bahwa pegetahuan bukan hanya didasarkan pada rasio belaka. Konsep mengenai filsafat empirisme muncul pada abad modern yang lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum agamawan (rijal kanisah) di abad pertengahan. Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia dan mengecilkan peranan akal.

Empirisme dari bahasa Yunani “empeiria” yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme pula adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, telinga, lidah, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.

Pada zaman kita ini, empirisme menjadi sikap dasar segala bentuk penelitian ilmiah. Pengetahuan harus didasarkan pada observasi empiris, demikianlah pengandaian ilmu-ilmu dewasa ini. Sikap empiris macam ini cukup menggejala di Inggris, sehingga kerap kali anglo-saxson[2] disamakan dengan tradisi empiris.

Sebetulnya, dalam pemikiran Francis Bacon di akhir Renaisans, kita sudah mendapati empirisme ketika dia menjelaskan induksinya. Akan tetapi, baru dalam filsafat Hobes, Locke, Berkeley, dan Hume, pengalaman entah yang bersifat indirawi atau batiniah menjadi pokok refleksi utama. Karena itu, disini kita menyebut keempat filsuf ini sebagai perintis sikap empiris yang menggejala pada zaman ilmu dan teknologi dewasa ini.

VI.               Ajaran-ajaran pokok Empirisme

Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah sebuah pengalaman. Maksud dari pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan logika atau akal tugasnya hanya mengolah dan mengatur data yang diperoleh dari pengalaman. Pokok ajaran Empirisme meliputi:

a). Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa (pengalaman) yang dialami.

b). Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.

c). Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita.

d). Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.

 

VII.            Para tokoh empiris era modern

A.      Jhon Locke (1632-1704 M)

a.       Biografi 

Jhon Locke dianggap sebagai pembesar filsafat aliran empirisme, sebelumnya ada Hobbes dan Bacon. Bahkan, ia dianggap sebagai bapak empirisme karena pandangannya yang menolak aliran rasionalis. Ia lahir di Bristol, sebuah kota kecil di Inggris pada 29 Agustus 1632, ditahun yang sama lahir pula Spinoza. Jhon locke dibesarkan oleh seorang ayah yang berprofesi sebagai pengacara yang ikut berperang dalam perang saudara untuk membela parlemen. Ayahnya mendidik Locke dengan menumbuhkan rasa kebebasan. Locke kemudian didaftarkan di sebuah sekolah untuk belajar bahasa-bahasa kuno dan sains, sedikit mempelajari geografi. Ketika umur 20 tahun ia berkesempatan belajar di Oxford University dan belajar selama 6 tahun. Saat itu ia belum merasakan aroma filsafat sedikitpun, melainkan manakala ia membaca buku Descartes dan Pierre Gassendi, dia merasa sangat terkejut dan terkesima melihat bukunya, saat itulah Locke mengakui bahwa buku yang ia baca memiliki keistimewaan dan sangat berpengaruh. Setelah itupun ia memiliki ketertarikan belajar fisika, kimia dan kedokteran, juga memiliki antusias yang besar pada ilmu-ilmu terapan (tajribi).

Pada tahun 1671 Locke pergi ke Perancis untuk ikut berkecimpung dalam dunia ilmiah di sana dan belajar filsafat dengan Gassendi. Lalu karena alasan kesehatannya, ia pergi ke selatan Perancis pada tahun 1675 dan tinggal selama 4 tahun. Kemudian di tahun 1683 ia bertolak ke Belanda dan tinggal disana selama 6 tahun. Locke mendapat kedudukan tinggi dari raja William III. Namun pada tahun 1689, Locke menderita sakit sampai mengharuskan ia untuk kembali ke negaranya sampai akhir hidupnya.

b.      Innate Ideas (Ide-ide Bawaan)

            Seperti yang sudah kita tahu bahwa Locke dianggap sebagai “Bapak Empirisme Era Modern” pada pembahasan di atas. Aliran empiris ini yang menyatakan bahwa sumber pengetahuan manusia itu hanya satu, yaitu dari eksperimen atau pengalaman yang dilakukan manusia.

            Persoalan utama yang dikemukakan oleh Locke ialah dari mana asal pengetahuan manusia? Kemudian bagaimana cara suatu ide atau konsep itu bisa sampai ke akal pikiran manusia? Locke ingin mengatakan bahwa tidak ada sebuah ide bawaan di akal pikiran manusia baik itu secara teoritis atau pragmatis.

            Di benaknya, Locke bertanya apakah jiwa mampu hadir ke dunia dengan berbekal semua pengetahuan? Maka jelas ia menolaknya. Kemudian locke ingin memberikan kritik atas pendapat Descartes terkait ide bawaan ini dengan menggunakan beberapa bantahan atas ide tersebut, diantaranya:

Kalau memang ada ide bawaan ini, maka seorang anak kecil atau balita pun tentu memilikinya, akan tetapi faktanya mengatakan tidak; ada banyak orang dewasa yang tak mengetahui prinsip-prinsip ilmu mantik (logika) misalnya. Bahkan konsep tentang ketuhanan tidak bisa kita dapati di semua tempat. Namun pembuktian ini tak berjalan dengan mulus, ada pula yang mengkritisi pandangannya Locke ini, semisal Cousin[3] yang menolak pandangannya.

c.       Eksperimen

Jhon Locke mengibaratkan jiwa manusia yang baru lahir itu seperti kertas putih yang masih kosong dari segala coretan (white paper void of all characters). Lalu, apa asal sebuah pengetahuan manusia? Darimana bisa datang suatu pemikiran ke akal manusia?.

Jawaban Locke sudah pasti mengarah kepada pengalaman (tajribah) yang dilalui manusia adalah satu-satunya sumber pengetahuan atau epistimologi manusia, termasuk juga observasi yang cenderung mengarah kepada objek-objek eksternal yang dapat dirasakan oleh Indera. Pula, observasi yang cenderung mengarah kepada proses pikiran bawah sadar yang dapat memperluas logika manusia dengan substansi pemikiran.

Dari sini Locke membagi eksperimen kepada dua bagian. Pertama, yaitu pengalaman sensorik (melalui indera). Kedua, pengalaman batin atau yang disebut dengan reflection—dengan catatan yang dimaksud refleksi disini adalah yang telah dilalui oleh Indera. Locke juga beranggapan bahwa tidak akan ada suatu pemikiran tanpa melalui indera, dan tak ada satu apapun di akal manusia kecuali setelah melalui pengalaman inderawi.

d.      Etika (rasa nikmat dan sakit sebagai dasar moral)

Terkait tentang pembahasan etika, Locke tidak membahas teori secara komprehensif, sebab semua sudah ada refrensi di buku-bukunya. Adapun terkait pandangannya tentang etika, ia menolak adanya sebuah kebebasan kehendak, karena menurutnya kehendak atau kemauan itu sebuah potensi untuk mengarahkan atau menghantarkan kepada bergerak atau diam. Lalu ia memaknai bahwa bergerak itu adalah proses berpikir sementara diam adalah berhenti berpikir. Kemudian ia juga beranggapan bahwa kenikmatan itu adalah sebuah kebaikan sedangkan kesengsaraan adalah sebuah kejahatan. Dan keduanya adalah stimulus bagi perilaku manusia.[4]

e.       Ajaran Politik

Dalam Two Treatises on Government, locke membayangkan keadaan asli masnusia, bukanlah sebagai keadaan perang, melainkan sebuah Firdaus. Dalam keadaan asali itu manusia hidup bermasyarakat dengan diatur oleh hukum-hukum kodrat dan masing-masing individu memiliki hak-hak yang tidak boleh dirampas darinya.

Muncul sebuah pertanyaan, mengapa kemudian ada negara? Locke menjawab karena keadaan asli yang bebas dan independen itu mau dipertahankan dalam masyarakat. Individu-individu mengadakan kontrak sosial. Locke tidak percaya bahwa manusia pada dasarnya baik. Pemerintah diperlukan justru untuk menjamin keamanan seluruh masyarakat. Fungsi pokok pemerintah menurut Locke adalah menjaga hak milik pribadi.

d.      Klasifikasi Ide-ide

            Dalam permasalahan ini, Locke menguraikannya hingga 2 bagian, yakni ide sederhana dan ide yang tersusun (ide yang terbentuk dari ide sederhana) dengan pengertian sebagai berikut:

1.       Simple Idea: atau disebut simplisitas ide. Sebuah ide yang dapat membentuk bangunan kecil di pikiran manusia, atau sebuah gambaran sederhana. Ide ini bersumber dari panca indera eksternal atau dari pikiran alam bawah sadar yang dianggap sebagai sumber impresi manusia.

Ide sederhana ini akan sampai ke akal manusia hanya melewati satu pintu, yaitu indera manusia, seperti halnya warna merah, putih, hitam, dan lain-lain. Itu terjadi melalui penglihatan mata. Namun terkadang, ada juga cara lain yaitu dengan bentuk, sesuatu yang bergerak, dan yang diam.  Ada juga yang bersumber dari alam bawah sadar manusia seperti suatu kehendak.

2.       Complex Idea: atau disebut kompleksitas ide. Sebuah ide/kesan yang kompleks tersusun atas kesan-kesan yang simpel. Selain itu, setiap ide yang simple berasal dari kesan tunggal yang berhubungan secara langsung. Di sisi lain, sebuah ide kompleks tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks. Sebaliknya, ide-ide kompleks dapat dikembangkan dari variasi kesan simpel atau kompleks, atau ide-ide kompleks itu dapat disusun dari ide-ide simple.

 

Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "EMPIRISME; GUGATAN ATAS RASIONALISME"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel