Oleh: Wilda Rahmi

Di sudut kamar minimalis bernuansa sand-grey terdapat susunan polaroid berbentuk love dengan titel, “They’re my history”. Yura sedang mengamati setiap tokoh dan tempat yang dicetak lalu ditempel sedemikian rupa oleh Binna—si pemilik kamar— salah satu sahabat Yura yang terkenal gemar mengambil gambar. Binna pernah mengatakan bahwa baginya foto ialah perwujudan memori yang suatu saat akan pudar dimakan usia. Oleh karena itu, Binna sebisa mungkin memanfaatkan kameranya mengabadikan setiap momen yang terjadi dalam hidupnya, agar kelak ia bisa menyusun kembali semua kenangan itu saat ia lupa. Yura baru merasakan kebenaran prisip Binna itu setelah ia melihat foto OSPEK mahasiswa yang diambil sekitar dua tahun lalu. Dimana Yura, Binna, juga Qila memakai baju bersablon wajah senior yang mereka kagumi beserta tanda tangannya. Hanya Binna yang menyablon wajah ketua BEM, sisanya Yura dan Qila tampak kompak menyablon wajah Baskara si penyiar radio kampus yang tengah on air menggunakan topi putih –satu-satunya foto yang pernah Baskara unggah—. Yura ingat kekompakan itu terjadi bukan karena mereka rencanakan. Tanpa foto OSPEK ini mungkin Yura lupa bahwa dua tahun lalu, Qila pernah menjadi dirinya yang mengagumi orang yang sama. Namun, di masa ini Qila telah berhasil membalikkan keadaan, sedangkan Yura masih menjadi pengagum rahasia entah akan sampai kapan.

Ingatan Yura dibuat terbang pada kejadian menyayat hati yang ia saksikan tadi pagi. Dimana Yura melihat Baskara menemui Qila di depan loker sembari memeluk sebuah novel sejarah yang mempunyai 500 halaman yang sudah Yura idamkan sejak dua minggu lalu, tapi Baskara malah memberikan novel tebal itu pada Qila yang notabenenya lebih menyukai drama atau film, pria itu juga memberi cokelat crispy kesukaan Yura pada Qila yang merupakan penggemar produk susu fermentasi seperti yogurt dan keju. Hal itu membuat batin Yura berteriak bahwa Baskara salah orang, sejak awal kedua benda itu selalu tentang Yura, bukan Qila. Seharusnya bukan Qila tujuan Baskara, melainkan Yura.

Yura melihat Kedua benda yang disodorkan Baskara pada Qila langsung didorong kembali kepada empunya. Qila menolak, dan satu alasan pasti terlintas di kepala Yura, yaitu kenyataan bahwa Qila memiliki pacar yang possessive. Qila menunjuk ke arah loker Yura yang berada tepat di samping loker Qila. Mereka sedang beradu argumen, tapi Yura tidak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan dikarenakan jarak Yura terhadap keduanya terlalu jauh. Setelah beradu argumen, Baskara membuka loker Yura dan meletakkan novel serta cokelat ke dalamnya. Melihat hal itu, Yura justru berkecil hati. Pasalnya, Baskara memasukkan kedua benda itu ke dalam lokernya sesaat setelah pria itu ditolak oleh sahabatnya. Bukankah mereka juga sempat beradu argument sebelum itu? Mungkin saja apa yang dikatakan oleh Qila saat itu ialah, “Alih-alih kau merasa tertolak olehku, bagaimana jika kau memberinya pada sahabatku Yura, yang sudah lama menjadi pengagum rahasiamu?” Lalu, Baskara menjawab, “Oh, apa menurutmu lebih baik begitu? Baiklah, aku juga sudah lama tidak bersedekah.” Skenario semacam itu memenuhi pikiran Yura, dan itu semakin membuat perasaannya tertolak. Haha, setidaknya Yura tidak pernah mempermalukan dirinya sendiri dengan mendengar penolakan langsung dari Baskara. Lagi pula siapa yang tidak akan jatuh cinta pada kecantikan Qila yang membuatnya dipilih sebagai duta wisata Kota Kembang oleh seluruh mahasiswa di Bandung, siapa saja pasti akan mudah terpikat, termasuk Baskara.

Yura mengelus wajah Qila di foto itu. Andai Yura memiliki mata yang besar, bulu mata lentik, alis tebal nan rapi, serta bibir yang sedikit berisi. Pasti sudah lama ia menangkan hati pria pujaannya. Jari Yura merambat ke atas pada foto rumah jaman dulu. Satu-satunya foto yang terasa sangat asing bagi Yura. Mungkin ada “Teman gaib” Binna di sana, mengingat Binna adalah orang yang peka terhadap hal gaib. Sedangkan Yura sedikit skeptis dengan hal itu.

Suasana hati Yura yang semula riang karena akan menginap bersama dua sahabatnya, kini berubah menjadi sendu, hati dan pikirannya kacau, serta tubuhnya menjadi lemas dan tidak bergairah. Yura lalu merebahkan dirinya di atas kasur, mengabaikan pesan-pesan masuk yang Binna dan Qila kirimkan untuk mengajak Yura ikut membantu mereka di dapur mempersiapkan keperluan pesta piama mereka nanti malam.

Yura memejamkan mata, bermaksud untuk melarikan diri dari kenyataan dunia yang tidak berjalan sesuai harapan. Namun, otaknya sudah merancang bayang-bayang suatu kebiasaan yang mereka lakukan, yaitu saat dimana tiga serangkai itu tidur dalam satu kasur, bercerita tentang kejadian-kejadian yang mereka alami saat sedang tidak bersama. Memikirkan bagaimana jika nanti Qila memberitahu Binna bahwa Yura menerima novel dan cokelat dari Baskara, emosi apa yang harus Yura perlihatkan pada mereka? Apakah sudah saatnya Yura mengungkapkan keresahannya terhadap Qila selama ini? Lalu merusak malam mereka dengan kenyataan bahwa Yura, salah satu yang mengakui dirinya sebagai sahabat mereka, ternyata selama ini menaruh rasa iri pada Qila?



Baru memikirkankannya saja, air mata Yura sudah mengalir dan mulai membuat bulatan besar karena Yura tidur menyamping, Yura lalu mengubah posisinya menjadi terlentang kemudian meraih bantal untuk meredam wajahnya. Sesak. Sahabat macam apa dia yang menyimpan rasa iri terhadap sahabatnya sendiri? Tapi, itulah yang ia rasakan selama ini.

Sebelum ia mengetahui Baskara juga menyukai Qila, rasa iri Yura hanya sebatas melihat Qila yang selalu tampil menjadi sorotan di beberapa event ternama. Dulu, Yura iri namun turut senang dan percaya bahwa apa yang diraih Qila selama ini adalah tak luput dari keahlian yang Qila miliki. Tapi sekarang, Yura jadi berpikir sama dengan wanita lainnya, dimana kesempatan yang Qila dapati selama ini tak lain adalah karena wajah cantiknya. Oleh karena itu, dalam sayup-sayup kesadarannya ini Yura ingin dirinya menjadi lebih cantik dari Qila! Setelah berpikir begitu, Yura terlelap dan mulai berganti dunia.

***

 

Lagu I Got You (I Feel good) James Brown mengisi ruangan dapur yang luas, ditambah teriakan dua orang gadis yang turut menyanyikan lagu R&B itu, cukup membuat tetangga yang terganggu waktu istirahatnya siang bolong ini melapor pada orang tua Binna yang sedang berada di luar kota. Tapi, Binna tidak ingin mengambil pusing dan memilih lanjut menikmati waktu bersama sahabatnya, si primadona kampus yang paling susah diajak kumpul, Qila. Binna sudah siap jika besok uang jajannya dipotong, toh, dia memiliki dua sahabat yang royal.



Binna memiringkan gagang teflon mengajak pasta di dalamnya untuk menari berputar mengitari sisi teflon, lalu Binna melempar isi pasta itu ke atas seperti yang biasa ia lakukan saat membalikkan telur ceplok dan Boom! Api di bawahnya menyambar ke atas mengikuti ketinggian pasta yang Binna lemparkan, lalu tak lama kembali menyusut seperti sedia kala. Alih-alih berteriak panik, Qila justru bersorak dan tak lupa mengabadikan atraksi Binna itu menggunakan kamera polaroid yang pernah Binna berikan padanya.

“Aku mengeluarkan energi yang besar untuk bisa terlihat di kamera, bagaimana ya hasilnya, apa aku akan terlihat lebih muda?” Binna mendengar celotehan yang tak bisa didengar oleh Qila di telinga kanannya, Binna lalu melotot ke arah sosok kakek memakai baju celemek dan topi khas koki. Ia bersicepat mematikan kompor, lalu berlari merebut kertas polaroid yang masih hitam dari Qila. Takut penampakan kakek nanti akan mengejutkan Qila.

“Aku yang mengajarimu atraksi itu, tidakkah aku pantas berada di samping muridku?” Binna mendengus, membelakangi Qila dan menunduk untuk melihat hasil gambar, mengabaikan Qila yang bingung dengan tingkahnya barusan. “Hey ada apa denganmu? Biarkan aku melihat hasilnya! Apakah aku berhasil menangkap api itu?”. Tubuh Qila yang jauh lebih tinggi dari Binna membuatnya mudah saja mengintip di balik bahu Binna. Tapi, mata minus Qila tidak akan membantu, Qila justru mendengar bisikan Binna yang seolah sedang berbicara dengan seseorang selain dirinya. 

“Ah wajahku, dulu pernah setampan laki-laki yang kau sebut idol. Mengapa aku tidak bunuh diri ketika muda saja ya?” Binna memasukkan foto ke dalam saku, bola matanya memutar ketika mendengar celotehan konyol Si Kakek, “Lalu kau akan lebih menyesal dari yang sekarang jika benar-benar melakukannya.” Mendengar itu wujud kakek yang semula sama seperti waktu ia hidup dahulu seketika berubah pucat dan terdapat tali yang berlumuran darah terikat di lehernya, “Pasta akan cocok dengan Panna cotta dan kemarin aku melihat ibu membuatnya. Kuharap kau tidak melupakan resep compote yang pernah kuajarkan padamu” Kakek menghilang setelah mengatakan itu.



Tiba-tiba saja Qila merasakan angin sejuk lewat di depannya. Hal itu membuat Qila mengusap lengan menidurkan bulu halus yang berdiri tegak. “Apa kau baru saja berbicara dengan teman gaibmu, Bin?” Binna membalikkan tubuh menghadap Qila kemudian mengangguk, “Dia sudah pergi sekarang” Satu bulir air mata jatuh dari mata kiri Binna saat gadis itu mengatakannya. Hal itu tak luput dari pandangan Qila, “Bukankah pasta akan cocok dengan panna cotta? Mari kita cari resepnya!” Binna terkekeh mendengar seruan Qila, ia lalu menghapus jejak air mata yang spontan saja turun, “Kau mengatakan hal yang sama persis dengan kakek. Apa kau tidak tahu panna cotta membutuhkan waktu empat jam di dalam suhu minus untuk bisa dinikmati?” Qila tersenyum. Ia tahu panna cotta akan selalu berhasil mendistraksi Binna, Qila berpura-pura menekuk wajahnya, “Ah, benarkah?” Binna lalu berjalan ke depan kulkas, mengeluarkan satu vanilla panna cotta dari sana. Bibir kecil Qila membulat, “Aku tahu kau sudah membuatnya” Binna menggeleng, menaruh kembali panna cotta lalu mengeluarkan dua buah naga berukuran kecil. “Bukan aku tapi ibu. Kita hanya perlu membuat compote. Apa kau menginginkan rasa lain?” Qila mengambil alih buah naga dari tangan Binna, “Kau tahu kita semua menyukai buah unik ini, dan sampaikan salam terima kasihku pada ibu karena tidak membuatnya menjadi rasa cokelat.” Binna terkekeh sembari mengeluarkan whipping cream yang akan digunakan untuk membuat compote dari lemari penyimpanan.

Qila menyerahkan buah naga yang sudah dicuci dan dikeruk kecil-kecil pada Binna, “Bin, sejak kapan kau menjadi sangat lihai dalam hal memasak? Apa kau mempunyai “teman” koki atau semacamnya, sekarang?” Binna sekilas melirik Qila, menimbang akan menceritakan sosok kakek atau merespon dengan gurauan seperti yang biasa ia lakukan.

Qila memperhatikan Binna yang sudah selesai dengan compote-nya “Tadi itu atraksi sekelas koki ternama, aku hanya penasaran apa aku berhasil menangkap api itu atau tidak” Mendengar itu Binna mengeluarkan foto dari dalam saku, “Aku hanya takut akan mengejutkanmu” Ucap Binna ketika menyerahkan foto. “Aku pasti terkejut jika kau tidak pernah menceritakan tentang keberadaannya, Bin. Tidak perlu malu, kau memiliki kelebihan. Yura mungkin belum percaya, dan ia akan mempercayainya. Kau hanya perlu ingat akan selalu ada aku yang percaya padamu” Qila mengatakannya sembari menyapu halus pundak Binna menggunakan ibu jari, membuat hati Binna berdesir hangat.



Tidak ingin membuat suasana menjadi sendu, Qila memperhatikan wujud kakek yang sedang tersenyum bangga melihat atraksi Binna di foto itu, “Bin, apa kakek mempunyai seorang cucu atau cicit?” Binna terkekeh, cara Qila membalikkan mood lawan bicaranya menurut Binna cukup unik, “Entahlah aku tidak pernah bertanya, Tapi yang pasti dia selalu membanggakan wajahnya ketika muda” Qila tertawa menyebarkan radiasi bahagia di sekitarnya. Namun, di  saat yang sama ponsel Qila berdering, Qila hanya melirik siapa yang membuat panggilan lalu mengabaikannya, dan tingkah Qila barusan tak luput dari pengawasan Binna. “Karena kakek merupakan koki Belanda asli, aku mungkin sedikit percaya dengannya” Masih dengan nada ceria Qila kembali melanjutkan obrolan dengan Binna.

Binna menatap ponsel Qila yang masih berdering, “Apa kau akan pergi dan terus terjebak bersamanya Qila?” Ucap Binna merubah topik pembicaraan mereka. Bukan tanpa alasan, Binna tahu persis panggilan dari siapa yang tidak berani Qila tolak, dan panggilan itu akan selalu membuat Qila pergi darinya. “Apa aku terlihat seperti akan pergi? Kurasa ini rumahku sekarang.” Qila menunjukkan senyum terbaiknya, membuat pipi roti Binna ikut mengembang. Binna baru menyadari suatu perubahan yang terjadi pada Qila. Senyuman itu biasanya adalah raut gelisah Qila setiap mendengar dering ponselnya. Binna langsung memeluk Qila, “Aku senang sekarang otakmu sudah tidak terbengkalai!” Qila membalas pelukan Binna, “Ah, kau terlalu cepat membaca keadaan, Bin. Seharusnya aku memberi tahu ini saat kita bertiga hendak tidur nanti”

Lagu Grenade Bruno Mars mengalir memecah pelukan hangat duo sahabat.

“’Cause what you don’t understand is

I’d catch a greenade for ya (yeah-yeah-yeah)

Throw my hand on a blade for ya (yeah-yeah-yeah)

I’d jump in front of a train for ya (yeah-yeah-yeah)

You know I’d do anything for ya (yeah-yeah-yeah)

Oh-oh, oh, I would go through all this pain

Take a bullet straight trough my brain.

Yeah, I would die for you baby,

but you won’t do the same.”

“Itu lagu Yura” Kata Binna. Qila mengangguk menyetujui karena hampir setiap kesempatan Yura mendengarkan lagu itu. “Yeah, most stupid song I’ve ever heard” Binna berjalan mundur kembali ke dapur untuk menata panna cotta, “Stupid? That sounds like you” Gurau Binna. Namun, Qila memikirkan hal lain tentang lirik yang barusan terdengar, “That song just like him. But the girl mentioned wasn’t me. Aku sudah memberikan yang terbaik yang aku bisa, aren’t I?” Qila menegaskan sesuatu dengan suara yang terdengar serak di ujung. Hal itu membuat Binna berbalik, ia tidak mengerti maksud Qila, tapi Binna tahu ia harus selalu berada di pihak sahabatnya, “Yeah, you are, Qil” Qila tersenyum berterima kasih pada Binna karena telah mengatakannya lalu pamit sembari membawa pasta ke kamar.

***



Binna mendorong troli makanan yang berisi empat gelas panna cotta, beberapa gelas air putih, dan sebotol besar air soda. Suara tangis Yura langsung menyeruak ke indra pendengaran Binna begitu pintu kamarnya terbuka. Dilihatnya Yura tengah memeluk Qila dengan erat sembari menangis. Binna menanyakan apa sudah ia lewatkan memakai bahasa isyarat pada Qila yang dijawab oleh gelengan Qila.

Setelah dirasa Yura tenang, dengan penuh kehati-hatian Binna menanyakan apa yang sudah menimpa Yura, dan Yura menjawab, “Aku bermimpi aneh tentang seseorang yang bernama Imelda.” Binna terkejut mendengar nama yang sudah lama tidak ia dengar. “Siapa Imelda?” Tanya Qila satu-satunya orang yang sangat asing dengan nama itu. Tiba-tiba Kotak hitam besar jatuh dari rak buku paling atas yang terdapat di sisi kanan kamar Binna disaat jendela kamar terkunci dan hanya ada semilir angin dari air conditioner, “Itu dia, salah satu teman gaibku, Imelda”

Bersambung

***

Supported by:


Related Posts

Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa Mesir
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Subscribe Our Newsletter

    Belum ada Komentar untuk "If I Was You"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel