Oleh:
Aura Sukma Yulia
Bagi kita seorang pelajar ilmu agama Islam, pasti sudah tidak asing lagi dengan kitab Arba’in Nawawiyah, karya Imam Nawawi. Salah satu syarah yang paling terkenal dari kitab tersebut adalah kitab Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah yang ditulis oleh imam Ibnu Daqiq al Ied. Siapakah beliau?
Lahir:
Nama lengkap beliau adalah Taqiyuddin Abu Al Fath Muhammad bin Ali
bin Wahb bin Muthi’ Al Qusyairi Al Manfaluthi Ash Sha’idi Al Maliki Asy Syafi’i
atau yang kerap disapa dengan panggilan Imam Taqiyuddin Ibnu Daqiqil ‘Ied. Beliau lahir pada bulan Sya’ban tahun 625 H, di dekat Yanbu’,
Hijaz, Laut Merah. Beliau lahir di atas kapal saat kedua orang tuanya bertolak ke Makkah untuk menunaikan
ibadah haji. Sesampainya di Makkah, keduanya membawa putranya berthawaf
mengelilingi Ka’bah dan berdoa agar kelak anaknya menjadi ulama besar.
Masa kecil:
Sejak kecil beliau merupakan pribadi yang sangat mencintai ilmu. Pendidikannya dimulai di kampung halamannya di Qaus, Mesir. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, yaitu Syekh Majduddin Ali bin Wahab yang mengajar fiqh mazhab Maliki dan Syafii. Qaus merupakan salah satu pusat pergerakan intelektual pada masanya. Tercatat ada 16 pusat pendidikan (madrasah) di sana, dan salah satunya milik keluarga Ibnu Daqiqil ‘Ied sendiri yang bernama Darul Hadits.
Beliau memulai dengan belajar membaca dan menghafal Al-Quran sampai mantap, kemudian pergi menuntut ilmu-ilmu syariat dan hadis ke Damaskus dan Iskandariah setelah ia belajar fiqh dan hadis dari ayahnya. Ia juga belajar bahasa Arab pada Syarafuddin Muhammad bin Abil Fadl al-Mursi dan juga kepada ulama-ulama lain. Beliau juga mengikuti pengajian Qadhi Syamsuddin ketika menjadi hakim di Qaus.
Ibnu Hajar dalam kitabnya “al-Durar al-Kaminah” mengatakan, bahwa Taqiyuddin tumbuh di Qaus dalam satu aktifitas saja yaitu diam, hati-hati dalam berucap dan berbuat, sibuk dengan ilmu, konsisiten dengan agama dan sangat menjauhi najis. Tentang hal terakhir ini ibu tirinya pernah bercerita : “Ayahnya menikahi saya ketika dia berumur 10 tahun. Suatu ketika saya melihat dia sibuk mecuci lumpang (sejenis tempat air berukuran kecil) lama sekali. Karena ingin tahu saya bilang pada ayahnya: ‘Apa yang dilakukan si kecil itu’, kemudian ayahnya bertanya pada si kecil, ‘Muhammad, apa yang kamu lakukan?’, dia menjawab : ‘Aku ingin mengisinya dengan tinta, maka dari itu aku mencucinya supaya suci dan bersih.’”
Setelah Ibnu Daqiq ‘Ied mempelajari lintas disiplin ilmu agama di Qaus, Damaskus, dan Iskandariyah, ia belajar fikih mazhab Syafii ke kota Kairo, Mesir kepada Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam. Ada banyak sekali guru yang ia temui selama menuntut ilmu, di antara yang populer adalah Syekh Ali bin Wahab (ayahnya), Syekh Baha’uddin al-Qifthi, dan Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam yang dijuluki sebagai Shulthanul ‘Ulama. Dari sekian banyak ulama fikih yang ia temui, Syekh ‘Izzuddin lah yang paling mempengaruhi Ibnu Daqiq ‘Ied.
Meniti karir:
Ketika di Kairo, beliau juga mengajar di berbagai madrasah. Pada mulanya adalah al-Madrasah al-Fadilah yang dirintis oleh al-Qodhi al-Fadhil Abdur Rahim al-Bisani, di samping makam Imam Husain r.a. Madrasah ini kemudian menjadi bagian Masjid Husain setelah terjadi perluasan. Setelah itu ia mengajar di Madrasah Shalahiyah yang dibangun oleh Shalahuddin al-Ayyubi di samping makam Imam Syafii dan Madrasah al-Kamilah di Nahhasin. Di samping madrasah inilah guru besar nan wara ini tinggal. Madrasah terakhir tempat beliau mengajar adalah Madrasah Shalihiyah yang dibangun oleh Shalih Najmuddin Ayyub, Sultan terakhir Daulah Ayyubiyah. Demikian padatnya kegiatan mengajar, tidak sama sekali membuatnya jenuh atau kesulitan sebab sebelum tiba di Kairo, beliau sudah terbiasa mengajar di Darul Hadits madrasah peninggalan ayahnya.
Pada masa Sultan Lajin (Dinasti Mamluk) beliau menjadi qadhi setelah sebelumnya sempat menolak hal itu, sebagaimana disebutkan oleh al-Asnawi dalam “al-Tabaqat”, sampai orang-orang mengatakan: "Kalau kamu tidak mau menjadi qadhi, maka yang jadi qadhi adalah si fulan, si fulan, dua orang yang tidak pantas menjadi qadhi.” Di sinilah akhirnya beliau luluh dan melihat bahwa menerima jabatan qadhi pada saat ini adalah wajib. Setiap selesai masa jabatannya ia berusaha untuk mengasingkan diri tapi kemudian diminta kembali lagi. Imam Suyuthi mencatat beberapa hal tentang sang qadhi agung ini ketika masih memangku jabatannya : "Para qadhi diberi baju dari sutera, namun Syaikh Taqiyuddin enggan memakai baju pemberian itu dan meminta menggantinya dengan baju dari bulu saja”
Sungguh unik dan mulia pribadi Syekh Taqiyuddin ini. Di saat orang berebut jabatan qadhi ia justru menghindar dan bahkan jabatan itu sendiri yang datang memaksa di pangkuannya. Ketika orang merasa bangga manakala dekat dengan pembesar, ia justru tidak mau bergaul dengan umara dan orang-orang elit. Beliau benar-benar orang besar yang berjiwa besar.
Ia salah seorang cendekiawan pada masanya, luas ilmunya, banyak kitab-kitabnya, senantiasa begadang (untuk salat malam atau menelaah ilmu), senantiasa dalam kesibukan, tenang, berwibawa lagi wara. Jarang sekali mata melihat orang seperti beliau.
Sang ulama yang memiliki kemampuan mengenai ushul dan ma’qul, serta ahli mengenai ilat-ilat manqul (hadis). Menjabat sebagai qadhi di mesir beberapa tahun hingga meninggal dunia. Beliau adalah seseorang yang sangat berhati-hati sekali dalam masalah bersuci dan air.
Karya-karyanya:
Sumbangsih Ibnu Daqiq ‘Ied untuk agama
Islam juga
dapat kita lihat dari produktivitasnya dalam menulis banyak kitab dengan lintas
disiplin ilmu, di antaranya adalah Ihkamul Ahkam; syarah dari kitab ‘Umdatul
Ahkam, al-Ilmam fi Ahaditsil Ahkam, Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah, Sayarh
al-Ilmam, al-Ilmam fi Ma’rifati Ahaditsil Ahkam, al-Iqtirah fi Bayanil
Isthilah, Thabaqatul Huffadz, Arba’ina Haditsan.
Kemudian, al-Arba’una Haditsan fir Riwayah ‘an Rabbil
‘Alamin, Syarah al-Jami’ Bainal Ummahat, Sayarah Mukhtashar Abi Syuja’, Syarah
al-‘Umdah fi Furu’isy Syafi’iyyah, Syarah ‘Uyunil Masa’il, Syarah Mukhtashar
at-Tibrizi, Syarah al-‘Unwan fi Ushuli Fiqhi, Syarah al-Mahshul karya
Fakhruddin ar-Razi, ‘Aqidatu Ibnu Daqiqil ‘Ied, dan lain-lain.
Dibalik
penamaan “Ibnu
Daqiq ‘Ied”:
Julukan ‘Ibnu Daqiq ‘Ied’ sendiri diambil dari nama buyutnya (tepatnya kakek kedua). Konon, sang kakek merupakan orang yang sangat taat beragama. Saat hari raya (hari id), sang buyut memakai jubah berwarna putih sekali seperti warna tepung (Bahasa Arab: daqiq). Orang-orang berkata ia tampak seperti tepung di hari raya (Bahasa Arab: Daqiq ‘Ied). Sejak itu ia dijuluki ‘Daqiq ‘Ied’
Wafat:
Taqiyuddin ibnu Daqiq ‘Ied wafat pada hari Jumat, 21 Safar tahun 702 H. Beliau dimakamkan di lereng bukit Muqattam, Kairo. Beliau meninggal ketika berumur 77 tahun yang beliau lalui dengan kesungguhan dalam mencari dan mendalami ilmu, mengamalkannya, hingga menghasilkan banyak karya yang bermanfaat bagi umat manusia hingga saat ini.
Dari perjalanan hidup beliau yang sangat luar biasa, semoga kita semua bisa
meneladani kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu dan memperjuangkan agama
Islam lewat ilmu dan akhlak. Wallahu a’lam bisshawab
supported by:
Related Posts
There is no other posts in this category.
Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Mengenal Imam Taqiyyuddin Ibnu Daqiq ‘Ied; Sang Zuhud nan Wara’ yang Mempunyai Julukan Nama Unik"
Posting Komentar