Oleh: Aisyah Zahrotul Lailah
Syahza tidak ingat pernah menulis naskah itu. Tapi naskah itu ada, naskah itu tergeletak di atas mejanya. Tipis, tanpa judul, tanpa nama penulis. Kertasnya tampak lama, seolah sudah ada sejak bertahun-tahun lalu. Tapi tinta di dalamnya masih segar. Syahza membukanya pelan dan membaca kalimat pertama.
“Hari ini, Syahza akan kehilangan arah.”
Ia hanya mendesah. Tapi siangnya, hal itu benar-benar terjadi. Jalan pulang yang biasa ia lewati terasa asing. Bangunan berubah, rambu jalan menghilang, sinyal hilang. Ia tersesat selama tiga jam di lingkungan yang seharusnya ia kenal. Malamnya, ia mencoba melupakan kejadian itu sebagai kelelahan semata. Namun, naskah itu kini terbuka di halaman baru.
“Besok pagi, Syahza akan menyadari bahwa kenyataan bisa di manipulasi.”
Dan pagi itu, segala hal mulai berubah. Jam dinding di rumah melambat. Kertas-kertas tugasnya di meja berganti isi. Laptopnya menyala sendiri, menunjukkan pesan-pesan yang tidak pernah ia ketik. “Kau tidak sedang bermimpi,” tulis layar laptop. Panik, Syahza membakar naskah itu. Ia berdiri mematung di depan api, mengira semuanya akan berakhir. Tapi keesokan harinya, naskah itu kembali. Utuh, tanpa bekas hangus. Halaman baru telah terisi.
“Syahza mencoba melawan, tapi cerita tidak bisa dihentikan. Ia hanya bisa dijalani.”
Hari-hari berikutnya, naskah itu seperti bayangan. Tak bisa dibuang, tak bisa dilupakan. Semuanya hanya tertulis menjadi nyata. Syahza berhenti keluar rumah. Ia takut, karena setiap kalimat baru membawa gangguan yang lebih besar. Suara-suara, bayangan di cermin, barangbarang yang bergerak sedikit saat malam. Hingga pada suatu pagi, ia membuka halaman terakhir.
Di sana tertulis: “Akhir cerita ditentukan oleh sang pembaca.”
Tak ada penjelasan. Hanya ada satu kalimat. Dan halaman kosong di bawahnya. Syahza duduk diam selama berjam-jam, menatap halaman putih itu. Tangannya gemetar. Tapi ia sadar, mungkin selama ini ia bukan tokoh. Mungkin ia diberi kesempatan untuk menjadi penulisnya.
Dengan pena hitam, ia menulis perlahan: “Syahza menutup naskah itu. Dan untuk pertama kalinya, naskah itu tidak muncul kembali.”
Ia berhenti. Menatap meja. Tak ada getaran, tak ada suara. Dunia terasa hening dan kembali normal. Ia tertawa kecil karena lega, atau justru lebih takut. Karena ia tidak tahu, apakah ceritanya benar-benar selesai...
Atau baru saja dimulai.
Related Posts
Subscribe Our Newsletter

Belum ada Komentar untuk "NASKAH TANPA PENULIS"
Posting Komentar